Sekitar Paradoks

Ilustrasi
Bagikan/Suka/Tweet:

Slamet Samsoerizal*

slametsamsoerizal”KEHIDUPAN sering menampakkan dua sisi yang paradoks,das sein das sollen.” tulis status Mas Nakurat pagi ini di sebuah kedai kopi. Ketika menjelang tutup tahun, keluarga modern berebut dan beribut dalam menata sejumlah acara dan sejumlah kegiatan; keluarga miskin hanya berkutat dalam pola pikir berjuang mempertahankan hidup. Siapa yang dapat meneropong dengan terang ihwal ini? M. Scott Peck (1936-2005), seorang psikiater dan penulis ternama Amerika dengan arif mengingatkan,  kehidupan bukanlah sebuah persoalan untuk diselesaikan, namun sebuah misteri untuk dijalani.

Positif-negatif hanya bertolak dari cara pandang seseorang. Ketika  Thomas Alva Edison diusir dari sekolah karena dianggap dungu oleh gurunya, apa reaksi orang tuanya? Sang Ibu mendidik Thomas secara home-schooling.  Ternyata kedunguannya justru membuahkan sebuah berita mengejutkan kelak. Lebih dari 1.300 temuan briliannya mengubah dunia menjadi semarak. Lampu pijar dan kinetoskop adalah contoh temuannya yang mengubah wajah dunia.

Berpikir dan berperasaan positif adalah keniscayaan. Ketika manusia sebagai makhluk berbudaya mengalami sebuah peristiwa, ia dapat bertindak dan bertolak dari peristiwa yang dialaminya. Kepailitan yang dialami seorang pengusaha bisa jadi energi besar untuk melakukan terobosan.

Seorang penyair, yang karena rumah dan desanya banjir, menikmati banjir dengan berolah pikir-rasa dan kata-  sehingga ketika penikmatan itu berada pada taraf main-main dan terlontar rima-rima puitis, maka jadilah sebuah puisi nan indah sarat makna. Temuan itu lantas dibudayakan dan ditulis menjadi buku agar idenya dapat tersebar ke segala penjuru.

Ada lagi, seorang pemuda ketika mengalami banjir yang selalu terbenak adalah benda berupa lemari. Mengapa lemari? Karena dengan benda tersebut, ia berimajinasi dapat menyelematkan diri dan menyelematkan barang-barang berharga miliknya. Caranya? Ia ubah lemari menjadi sebuah perahu kecil anti banjir. Hasilnya? Sungguh imajinasi tersebut mengantarkannya sebagai remaja inovatif karena kreatvitasnya, versi sebuah perusahaan rokok ternama.

Berpikir negatif bisa juga mengubah menjadi pola pikir hijrah yang berujung pada sisi baik. Siapa  sangka seorang lelaki dari Jawa Timur yang semula ikut memandang sampah plastik sebagai barang menjijikkan dan sulit terurai, ia manfaatkan sebagai pengisi-pengganjal batako sehingga menjadikannya lebih padat. Dua sisi kita dapatkan. Pertama, ia berhasil memberikan jalan keluar sekaligus menjawab keluhan para pakar (!) tentang sulitnya mengurai benda bernama plastik ini. Kedua, pemanfaat limbah plastik tersebut bukan pakar – misalnya doktor atau emeritus kimia- tetapi wong cilik yang hanya mencoba memanfaatkan barang yang dianggap mubazir.

Sebagai makhluk berpikir, manusia memang berupaya mengatasi fenomena alam. Itu sebabnya, global warming yang sempat diobrolkan di Bali merupakan upaya bersama mengatasi dunia yang semakin panas, seru, dan semarak akibat  ulah mereka sebagai pribadi, bangsa, sekaligus negara. Betapa kita gemar menebang hutan tanpa mereboisasi. Betapa kita gemar omong besar tanpa pikir panjang tentang dampaknya. Betapa kita berupaya melaksanakan Pilpres dan Pilkada secara demokratis, tetapi kita belum siap menang dan kalah.

Mencari solusi selalu menjadi alternatif bagi para cendekiawan. Namun, dialektika yang terjadi pun menampakkan wajahnya yang cukup beringas. Kasus demi  kasus yang mengemuka adalah beberapa contoh. Unjuk rasa  – apalagi karena kekecewaan dan  kekalahan, biasanya berpuncak pada kerusakan material. Gedung dibakar, pot-pot yang ditata apik di taman-taman kota dihancurkan demi memuaskan perikebinatangan.

Kedewasaan, sering disinggung para birokrat, politisi, dan teknokrat. Apa yang terjadi? Sayang mereka  belum konsisten. Kita terbiasa  disuguhi pemandangan wajah-wajah lama yang dulu saat menjabat anggun penuh wibawa, kini hanyalah seorang pesakitan terdakwa korupsi.   Kita juga pernah menonton reality show di sebuah gedung parlemen yang terhormat adu jotos ditayangkan. Para calon teknokrat begitu rajin dan gigih berunjuk rasa, tetapi lupa mengasah ilmunya dengan membaca. Kita pun jadi mafhum, mengapa perpustakaan yang dibangun dengan niat suci dan menelan miliaran rupiah pula, selalu sepi pengunjung.

Ada lagi, ketika di sebuah kota terjadi banjir sampah, mestinya para pengunjuk rasa   tidak  hanya meledek, mengecilkan, dan melecehkan Pemda dalam penanganan sampah.  Mereka mestinya sebagai bagian dari warga terdidik bersama Pemda menyelesaikan masalah tersebut.

Kita  juga jenuh menyaksikan pertunjukan genit-genitan pejabat dan  wakil rakyat yang emoh direcoki pemandangan trenyuh di depan matanya sekalipun. Mereka cuek. Wisata (ke luar negeri) atas nama studi banding pun terkadang menjadi pembenaran atas nama tugas.  Pejabat dan wakil rakyat malah asyik menekuni fasilitas-fasilitasnya tanpa mau menoleh derita duka rakyat.

Mereka seolah  mencueki fakta: jumlah penduduk miskin hingga September 2013 sebanyak 28,55 juta orang, atau mengalami peningkatan sebanyak 480.000 orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 yang mencapai 28,07 juta orang.

Kepala BPS Suryamin menyebutkan, kenaikan jumlah penduduk miskin tersebut akibat inflasi hingga 5,02 persen sebagai buntut kenaikan harga BBM, Juni 2013. Demikian pula dengan kenaikan harga beras secara nasional, turut menyumbang kenaikan jumlah orang miskin. Pada Maret 2013 tercatat jumlah penduduk miskin sebesar 28,07 juta orang atau 11,37 persen dari populasi. Jadi, ada kenaikan sebanyak 480.000 orang miskin.

Selain kenaikan harga BBM, dan beras, kenaikan harga eceran sejumlah komoditas juga menyumbang kenaikan jumlah orang miskin. Sepanjang Maret-September 2013, harga daging ayam ras naik 21,8 persen, harga telur ayam ras naik 8,2 persen, dan harga cabai merah naik 15,1 persen. Ketiganya menjadi faktor peningkatan jumlah orang miskin. BPS juga mencatat selama periode Maret-September 2013, garis kemiskinan naik 7,85 persen, yaitu dari Rp 271.626 per kapita per bulan pada Maret 2013 menjadi Rp 292.951 per kapita per bulan pada September 2013.

Dunia gemerlap kita semakin gemerlap sejak kita tidak hanya memiliki satu stasiun bernama TVRI. Acara demi acara mengharuskan serombongan artis yang jika dipilah dapat berupa:  penyanyi, aktor, aktris, dan pekerja seni (sineas). Konsekuensi logis dari keadaan ini adalah munculnya selebritis baru. Selebritis baru baik yang direkrut secara tertutup maupun terbuka memiliki peluang tambang emas sehingga dapat meraup miliaran rupiah dalam waktu singkat. Ini tidak mengherankan jika sekolah (kursus) musik dan akting tiba-tiba dibuka dan kebanjiran peminat dan mengalahkan pendahulunya yakni Sekolah Stir Mobil atau kursus mengemudi. Siapa mengelak? Budaya instan telah merambah ke pola pikir serbacepat.

Kecentilan dan keganjenan para selebritis bersaing ketat dengan politisi, birokrat bahkan akademisi kita. Lihatlah bagaimana presenter kita menyajikan sebuah infotaiment berita duka kematian tetapi dibawakan dengan gaya santai dan cuek. Simaklah bagaimana miskin hormatnya mereka kepada warisan budaya sendiri, bahasa Indonesia, sebab tuturan mereka dibanjiri diksi dan kosakata bahasa Inggris. Entah siapa yang memelopori, yang pasti wabah ini juga terhinggap pada birokrat, pejabat, wakil rakyat, dan kalangan akademisi kita.

Ketika sebagai bangsa kita baru (menyadari) bangun dari tidur lelap, segeralah ke kamar mandi,  ke sungai yang jernih, ke sendang yang airnya bening muncrat dari mata air atau ke telaga warna-warni dan  bergegas-berbenah lantas songsong menuju Indonesia sebagai warga (terbaik) dunia!

*  peneliti pada Pusat Kaji Darindo