Sekolah dan Tatap Muka

Guru Besar FKIP Unila, Prof. Dr. Sudjarwo
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Universita Lampung

Tingkat penurunan penyebaran Covid-19 mulai tampak di seantero Tanah Air, persiapan baru untuk aktivitas baru dalam pembelajaran sudah harus disiapkan. Provinsi Lampung melalui Kepala DInas Pendidikan menegaskan bahwa 480 sekolah setingkat SLTA menyatakan diri siap untuk memulai Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Orang tua dan guru sangat antusias dengan akan dimulainya pembelajaran di sekolah, terutama bagi orang tua yang memiliki anak ada di semua tingkatan sekolah atau kelas; karena akan terlepas dari beban mengajar yang selama ini beralih ke pundak mereka.

Sementara anak sebagai peserta didik; tidak begitu menunjukkan luapan kegembiraan. Tentu hal ini perlu ditelusuri alasan dari masing masing komponen yang terlibat dalam pembelajaran. Jika orang tua alasan klasik yang telah diungkapkan pada alinea di atas, juga adalah karena alasan terganggunya aktivitas ekonomi mereka.

Kita menyadari bahwa selama Covid-19 tekanan ekonomi terhadap keluarga begitu besar, sehingga orang tua harus membanting tulang dua kali lebih besar volumenya dibandingkan dengan sebelum Covid-19; kondisi ini akan lebih parah lagi bagi keluarga yang terkena pemutusan hubungan kerja. Sementara beban proses pembelajaran di rumah adalah pekerjaan tersendiri yang memerlukan konsentrasi tinggi bagi mereka. Dengan diberlakukannya Pembelajaran Tatap Muka secara bertahap, paling tidak keluarga akan memeiliki rentang waktu untuk mengais rejeki menjadi lebih longgar.

Sedangkan guru memiliki alasan lebih banyak pada rasa tanggungjawab sebagai motor pembelajaran, karena mereka merasakan jika pembelajaran dilakukan terus menerus secara daring, maka pembelajaran itu tidak akan membangun hubungan paedagogik antara dirinya dengan para pembelajar. Walaupun alasan ini tidak sepenuhnya benar, bisa jadi guru tidak merasa nyaman atau terkendala terhadap penguasaan teknologi pembelajaran; terutama guru guru yang usianya sudah cukup lanjut; karena reflek motorik mereka sudah melemah sejalan dengan bertambahnya usia.

Bagaimana dengan peserta didik? Ternyata tidak semua mereka bergembira atau senang dengan akan diberlakukannya Pembelajaran Tatap Muka; dari hasil wawancara singkat secara tidak tersetruktur pada beberapa anak SLTA, ternyata PTM bagi mereka adalah beban baru yang menurut mereka menjadi terganggu kebebasannya seperti selama ini. Selama belajar dengan cara online ternyata mereka lebih banyak menikmati kebebasan berpikir dan berkreasi sesuka hati. Jika diberlakukan tatap muka, justru mereka khawatir akan kehilangan kebebasan dalam berbuat, menurut ukuran mereka. Kemerdekaan dalam tanda petik, yang mereka maknai sebagai sesuka hati dalam belajar, akan masuk taman labirin disiplin sekolah; ini menurut mereka seolah masuk kedalam kawah panas. Hampir dua tahun mereka tidak mendengar hardikan guru; kini mereka harus bersiap akrab dengan itu.

Atas dasar data yang belum begitu valid di atas, kita dapat melakukan “perbaikan” awal pada saat menggelar proses pembelajaran setelah pandemi. Dengan kata lain guru harus siap mengubah diri dalam mengajar, menemukan metoda baru untuk melakukan rehabilitasi tersetruktur kepada peserta didik, terutama yang berkaitan dengan keberterimaan akan suasana disiplin kelas. Sementara disiplin kelas itu sendiri sudah seharusnya tata aturannya dalam merumuskan harus melibatkan perwakilan siswa.

Model monopoli oleh guru yang selama ini diterapkan, sudah harus diganti dengan model pembelajaran partisipatif dengan siswa. Salah satu bentuk partisipatif itu adalah dalam menentukan garis final atau waktu tempuh belajar; harus dikomunikasikan terlebih dahulu kepada peserta didik, kemudian diambil kesepakatan dalam bentuk kontrak pembelajaran.

Dengan demikian, Satuan Pembelajaran yang disusun guru harus diturunkan menjadi beberapa kontrak pembelajaran yang disodorkan kepada para pembelajar, kemudian diambil kesepakatan; baru tercipta rombongan belajar atas dasar lamanya kontrak pembelajaran yang disepakati. Jadi bisa saja satu topik bahasan, akan disusun menjadi beberapa Satuan Pembelajaran, dan dijadikan sejumlah kontrak pembelajaran. Di sini kemudian ada rombongan belajar.

Semangat kebersamaan dan persaingan akan muncul secara positif antarmereka, karena rombongan mereka merasa malu jika tidak mampu menyelesaikan kontrak secara tepat waktu. Atau ada diantara anggota rombongan yang tidak mampu menyelesaikan tugas rombongannya.

Tingal pelaksanaannya diatur, bagian bagian mana mereka yang harus ketemu bersama dengan guru, dan bagian bagian mana yang cukup mereka mengerjakan, baik secara daring maupun luring. Sehingga sekolah tidak lagi tempat berkerumun, akan tetapi tempat mereka diskusi mengerjakan tugas kontrak mereka, bahkan cara ini bisa meminimalisir penggunaan ruang kelas. Bisa saja pembelajar memilih menyelesaikan kontraknya di kantin sekolah, di taman sekolah. Guru tinggal memantau, dan bisa datang jika peserta didik memang memanggil untuk dimintai pendampingan.

Ini adalah salah satu cara, dari sejumlah cara lainnya yang mungkin lebih baik dan diciptakan oleh guru sendiri. Oleh karena itu dianjurkan kepada guru untuk mencari metoda metoda pembelajaran baru yang sesuai dengan tuntutan daerahnya. Metoda metoda baku yang ada bukan berarti tidak baik, akan tetapi seiring perkembangan dan perubahan tuntutan jaman, maka upaya perubahan untuk penyempurnaan adalah langkah yang kita nantikan bersama. Sebagai mana hukum perubahan sosial mengatakan tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan.

Selamat menyambut datangnya PTM sebagai upaya mencerdaskan anak bangsa.****