Hukum  

Selain Berkasus dengan Warga Bujuk Agung, Ini Kasus PT BNIL yang Sampai Kini “Mak Jelas”

Warga Desa Bujuk Agung mendiriikan tenda di lahan yang sejak 25 tahun lalu dikuasai PT BNIL. Pendamping mereka justru dikriminalisasi. (Teraslampung.com/Mas Gie)
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Konflik antara PT Bangun Nusa Indah Lestari (BNIL) dengan warga Bujuk Agung, Kabupaten Tulangbawang, yang berujung kriminalisasi terhadap beberapa warga, baru-baru ini, hanyalah bagian kecil saja dari konflik lahan di Lampung antara warga dengan perusahaan.

Beberapa perusahaan perkebunan di Lampung memiliki pola kasus dan cara upaya penyelesaiannya pun nyaris serupa. Pertama, warga diajak bermitra dengan menyerahkan lahan untuk dijadikan kebun, lalu setelah kebun panen warga ditinggalkan alias tidak diberi bagian.

Kedua, ketika warga meminta hak tanahnya perusahaan mempertahankan diri dengan cara berkelit. Tak jarang warga pemilik lahan justru menjadi korban kekerasan hingga nyawa melayang. Ironisnya, warga kerap jadi ‘tumbal’. Mereka justru menjadi korban. Sedangkan kasusnya sendiri tidak pernah selesai.

Contoh kasus yang tidak jelas hingga saat ini adalah konflik lahan antara ribuan warga dari Desa Banjaragung dan Banjardewa , Kabupaten Tulangbawang, dengan PT BNIL.  Mereka terusir dari perkebunan sawit setelah perusahaan berhasil diusir paksa oleh PT BNIL dibantu aparat keamanan pada tahun 2000 lalu.

Pada November 2011, mereka gencar berunjuk rasa, hampir bersamaan dengan pascameledaknya Kasus Mesuji dan dan dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji.

Seorang warga Banjaragung  mengaku dia dan ribuan warga lainnya ingin menuntut hak yang dirampas PT BNIL. Menurut dia, tanah 1.350 yang diduduki PT BNIL merupakan tanah ulayat adat masyarakat yang sudah dihibahkan untuk program transmigrasi swakarsa mandiri (TSM).

Selain 1.350 ha milik warga Banjaragung, PT BNIL juga dituduh mengambil 1.110 ha lahan milik warga Banjardewa. Selain itu ada juga lahan milik warga Desa Indraloka dan Menggala yang jumlahnya juga mencapai seribuan hektare.

Sejak pengusiran paksa pada tahun 2000 yang mengakibatkan warga tewas dan ribuan keluarga kocar-kacir, warga transmigrasi asal Pulau Jawa dan Bali itu pun berupaya mendapatkan kembali tanah ulayat melalui jalur hukum.

Data di LBH Bandarlampung menunjukkan, warga memegang bukti bahwa lahan yang disengketakan itu merupakan tanah adat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tulangbawang pernah mempertegas bahwa lahan PT BNIL merupakan tanah adat, bukan tanah register. BNIL mengetahui tanah yang dikuasai merupakan tanah ulayat atau tanah adat, bukan tanah negara.

Ihwal kepemilikan tanah itu bermula pada 1986—1987, ketika tokoh masyarakat Desa Banjarrejo bernama Ujuk Sanusi membeli tanah dari Sutan Tulin seluas 850 ha. Ujuk Sanusi kembali membeli lagi lahan seluas 500 ha dari Raja Alam. Lahan seluas 1.350 ha itu kemudian dibeli pemerintah dan digunakan untuk transmigrasi swakarsa mandiri (TSM) yang disahkan Kanwil Departemen Transmigrasi Lampung Utara (ketika Tulangbawang masih bergabung dengan Kabupaten Lampung Utara.

Sejarah tanah di desa lain yang menjadi sengketa dengan PT BNIL juga sama. Intinya, PT BNIL mengklaim tanah itu sebagai tanah Hutan Register (hutan konservasi milik negara), sementara warga punya bukti otentik bahwa tanah itu sudah diberikan pemerintah kepada warga karena warga mengikuti program transmigrasi swakarsa.

Desa Banjarrejo merupakan hasil pemekaran dari desa Balam Jaya Kecamatan Tulangbawang, Kabupaten Lampung Utara, yang juga dilengkapi dengan fasilitas umum seperti tempat ibadah dan sekolah.

Pada pertengahan tahun 1989 kawasan tersebut sempat dikunjungi oleh Gubernur Lampung Poejono Pranyoto dan dinyatakan Transmigrasi Swakarsa Mandiri di daerag tersebut sukses.

Tempat yang kini dilaim sebagai milik PT BNIL dulu dijadikan pusat percontohan program Transmigrasi Swakars Mandiri yang sukses di Indonesia.

Seorang warga Bandarrejo mengaku,  pada 1991 secara tiba-tiba datang rombongan dari Koramil menggala untuk mengusir paksa orang-orang Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM), sehingga warga merasa ketakutan dan melarikan diri dari kampungnya. Selanjutnya, pada tahun 1998 warga yang belum mendapatkan ganti rugi kemudian kembali menduduki lahan yang menjadi haknya, sehingga PT BNIL mengerahkan Pam Swakarsa untuk mengusir warga untuk kedua kalinya.

Namun, pada 2000, ketika itu warga tetap bertahan sehingga terjadi bentrok fisik antara Pam Swakarsa dengan masyarakat, yang mengakibatkan jatuhnya lima korban jiwa dari warga dan dua orang mengalami cacat seumur hidup.

“Pada tahun 2000, masyarakat Desa Banjarrejo sebagian di pindahkan ke Kecamatan Gedung meneng dan lainnya hak tanah atas nama Ujuk Sanusi dengan selaus 708 hektare, dijanjikan oleh saudara Abeng yang merupakan Bos BW akan dibayar setelah mengosongkan wilayah tersebut,”kata warga tersebut.

“Sampai kini tidak ada realisasi dari PT BNIL. Bahkan saat ini perusahaan milik PT Bumi Waras Group itu telah menanam perkebunan sawit dilahan tersebut. Lahan itu diklaim sebagai milik PT BNIL,” imbuhnya.

Data LBH Bandarlampung dan Walhi Lampung membuktikan bahwa konflik PT BNIL dengan masyarakat itu sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Kasusnya tidak hanya di Kabupaten Tulangbawang, tetapi juga di Kabupaten Way Kanan. Konfliknya sama,yaitu tanah adat yang diserobot oleh perusahaan dengan dukungan aparat keamanan.

Data di LBH Bandarlampung menyebutkan saat ini masih ada 1.200-an kasus tanah di Lampung. Sebagian besar di antaranya adalah tanah adat.