Selamat Jalan Mas Ahmad Taufik…

Ahmad Taufik bersama massa yang tergabung dalam Forum Advokat Islam Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Kerajaan Saudi Arabia di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta, 23 Oktober 2015. Mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia, Ahmad Taufik pernah dijebloskan ke penjara pada Maret 1995 oleh rezim Orde Baru. (Foto: TEMPO)
Bagikan/Suka/Tweet:

Syofiardi Bachyul*

Kabar itu seperti geledek. Ahmad Taufik meninggal dunia (malam, Kamis, 23 Maret 2017).

Ahmad Taufik yang akrab dipanggil AT, saya memanggilnya Mas AT (yang lain ada yang memanggil Bang AT dan Kang AT) telah masuk RS Dharmais, Jakarta 25 Februari 2017 sore. Ia sakit paru-paru. Cairan terpaksa dikeluarkan melalui slang dari punggungnya.

“Ha… ha… gw aja kayak lelaki pembawa lentera,” tulisnya berseloroh memposting fotonya berdiri bercelana pendek tanpa baju sambil memegang botol infus.

“Lelaki pembawa botol cranberries,” lanjutnya setelah ditanggapi.

Itu percakapan di grup Whatshapp “Rapat ME AJIndo” yang isinya kami berlima, anggota Majelis Etik AJI Indonesia: Mas Ahmad Taufik, Nursyawal, Willy Pramudya, Masduki, dan saya.

Mas AT memperlihatkan bahwa ia tidak menghadapi sakitnya dengan murung. Ia tetap menertawainya seperti biasa. Mas AT, batin saya waktu itu, adalah manusia sesungguhnya yang berhasil menghadapi suka dan duka dengan gembira.

Banyak seloroh kami yang kadang tidak pantas sebenarnya berhadapan dengan orang sakit. Tetapi itu adalah suasana yang ia ciptakan kepada kami agar tidak terlalu khawatir. Seperti ia kemudian memilih meninggalkan Dharmais 13 Maret 2017.
Nursyawal memposting foto anak-anak AJI Bandung yang menggiringnya meninggalkan rumah sakit. Mas AT duduk di kursi roda dengan tangan kiri terkepal, dan senyum manisnya.

Ahmad Taufik (paling kanan) dalam penggodokan SOP Penegakan Etik Majelis Etik AJI Indonesia di Bogor. 2015. (Foto: Syofiardi Bachyul)

“Harusnya sih kemo, tapi mungkin Bung AT jika berkenan kasih kabar apakah sudah punya alternatif selain kemo?” tulis Nursyawal ketika kami bertanya kondisi Mas AT.

Jawaban yang kami terima adalah sebuah jempol kuning dan kepalan lengan hitam legam. AT, yang pernah menggawangi rubrik kesehatan majalah TEMPO, tentu lebih paham dengan penyakit yang dihadapinya, pikir saya. Belakangan saya tahu ia menghadapi kanker paru-paru stadium 4.

Ahmad Taufik, menjelang 52 tahun, lahir 12 Juli 1965 adalah legenda pers Indonesia. Ia pernah dipenjara bersama Eko Maryadi alias Item 2 tahun 7 bulan di Lapas Cipinang, Jakarta Timur karena memperjuangkan kebebasan dengan menerbitkan dan menyebarkan majalah Independen pasca pembredelan majalah TEMPO, Detik, Editor pada 21 Juni 1994.

Peristiwa itu termasuk bola salju setelah deklarasi berdirinya AJI (Aliansi Jurnalis Independen) pada 7 Agustus 1994. Ahmad Taufik, mantan wartawan TEMPO waktu itu, sebagai salah satu tokoh utama AJI menjadi Ketua Presidium AJI periode 1995-1997.

Bola salju itu bergulir dengan dicabutnya UU Pokok Pers dan berlakunya UU Pers No. 40/1999. UU baru ini membebaskan pendirian perusahaan pers dari izin oleh pemerintah dan dihapusnya organisasi wartawan tunggal yang sebelumnya hanya ada PWI.

Kenangan bersama Ahmad Taufik Jufry (duduk di tengah), Mbak Ati Nurbaiti Hadimadja (duduk), Eko Ítem’Maryadi (kanan), saya, Nezar Patria, dan Didik Supriyanto usai pemilihan ketua umum dan sekjen AJI di Kongres IX Bukittinggi November 2014. (Foto: Syofiardi Bachyul)

Ahmad Taufik menjadi salah satu tokoh penting keberhasilan terciptanya pers Indonesia yang bebas.

Ahmad Taufik adalah idola saya. Saya bertemu langsung dengannya ketika Kongres AJI di puncak, pada 2004. Saya hadir untuk peresmian pengesahan AJI Padang. Saat kongres berlangsung, saya berdiri di belakang kursi peserta pada malam terakhir. AT telah berdiri di samping saya. Saya menyalaminya memperkenalkan diri. Tak lama, ia telah lama merangkul saya sambil menyaksikan sidang yang kocak khas AJI.

Saya tak menyangka akan menjadi satu tim dengan AT di Majelis Etik AJI Indonesia periode 2004-2017. Juga tak menyangka ia tidak hanya akan menjadi simbol. Tetapi ia aktif dengan kami berlima mendiskusikan tentang problema etik anggota AJI se-Indonesia.

Saat kami merancang SOP Pengawasan dan Penanangan Etik AJI sebagai produk pertama AJI, kami berlima melawan kantuk diskusi hingga ngotot-ngototan semalaman plus seharian.

Banyak cerita tentang Mas AT yang unik, lucu, dan tentu saja cerdas. Itu ia hadirkan dalam sosok yang rendah hati. Ya, ia seorang tokoh yang rendah hati.

Selamat jalan Mas AT. Damailah di surgamu. Tabah buat keluarga dan kita semua yang ditinggalkannya. Jasamu tak akan pernah dilupakan dan tetap menjadi cambuk untuk kebebasan pers Indonesia. Amin. ***
*Jurnalis, tinggal di Padang