DUA foto yang tergantung di dinding rumah kami di kampung, Kab. Banyumas, saya pandangi dengan air mata membasah. Foto pertama ada saya, Surya Paloh, dan Bambang Eka Wijaya (BEW). Foto kedua, saya dan BEW tengah bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana. Dua foto itu dijepret sekitar dua windu yang lalu.
BEW, saya memanggilnya Mas Bambang, Senin (13/3) tengah hari itu berpulang di RS Abdul Moeloek, Lampung. Ia menghadap sang Khalik di usia 76 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. (Sesungguhnya kami hanya milik Allah, hanya kepada-Nya pula kami akan kembali).
Saya menerima lelayu itu ketika tengah mengikuti sebuah acara di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Di tengah acara itu juga saya intip akun-akun media sosial, khususnya di Lampung, secara serentak mengunggah kabar duka itu.
Media online dengan cepat pula menyebarkan warta duka itu. Berbagai kalangan dari macam-macam institusi, komunitas, dan organisasi mengucapkan duka mendalam. Ia memang tokoh kelahiran Sumatera Utara yang menjadi milik Lampung. Mas Bambang adalah ikon pers Lampung. Ia juga yang menjadi identifikasi Lampung Post. Secara genealogis ia memang ayah dari lima anak, tetapi secara sosiologis ia “bapak” bagi semua.
Meski beberapa kali menjadi “penghuni” rumah sakit, tapi kepergiaannya menggoreskan duka mendalam bagi saya. Saya menerawang ke belakang. Mengingat perkenalannya pada awal 1990-an sewaktu menjadi reporter harian Media Indonesia. Ia salah satu redaktur di harian ini; wartawan yang bekerja amat cepat. Sama pula ketika ia makan. Tulisan saya beberapa kali diedit dengan cepat pula. Sebelum dilarang dokter, ia juga “perokok cepat” alias perokok berat.
Tak ada ekspresi kecewa terlebih marah ketika mengedit tulisan. Tak ada “drama” menyobek naskah tulisan wartawan pemula yang diketik susah payah lewat mesin ketik seperti galibnya banyak cerita pada masa itu. Tak ada “show of force” seorang penjaga otoritas berita. Padahal, Mas Bambang jauh lebih senior dibandingkan beberapa redaktur yang “hobi” merobek-robek naskah berita reporternya seraya menyemprotkan kata-kata amarah.
Ia selalu bilang, “aman” setiap saya tanya bagaimana tulisan saya. Meski sesungguhnya merasa tak “aman”, saya tak mungkin memaksa pria kelahiran Pematang Siantar ini menjawab lain. Ia senior yang terlalu baik. Kalaupun ia bicara soal peningkatan kapasitas dan kompetensi wartawan, ia katakan pada forum yang lebih luas. Tidak pribadi.
Saya penting berguru padanya karena ia wartawan yang berkarakter. Meski hanya lulusan SLTA, bacaannya sangat luas. Ia menulis dengan pijakan teori-teori besar (grand theory) dan sejarah yang kuat. Analisisnya tajam dan dalam. Ia punya pengalaman hidup yang berwarna. Anak seorang pekerja perkebunan di Sumatera Utara, yang jualan koran sejak SMP. Sebelum koran ia jajakan, ia lumat dulu isinya. Panstaslah ia punya wawasan luas sejak muda.
Ia benar-benar “anak koran”. Dari penjaja koran, lalu menjadi wartawan dan redaktur di beberapa media cetak di Medan dan Jakarta. Konon ketika masih di Medan, beberapa skripsi mahasiwa S1, teman-temannya, selesai atas “bimbingan” Mas Bambang. Seorang otodidak yang punya disiplin akademik.
Kliping tulisan opini Mas Bambang di harian Kompas dan media lain, dekade 1980-an ada di meja kerjanya.
Saya dua kali membacanya; terpesona pada kebernasan dan keluasan wawasan dan pikirannya. Bacaan filsafatnya luas. Ia memang punya modal yang dibutuhkan sebagai wartawan: menguasai grand theory tapi juga cinta pada detil.
Tahun 1993 Mas Bambang mendapat tugas memimpin surat kabar Lampung Post, salah satu harian di bawah Media Group. Tak menduga sama sekali, satu dekade kemudian saya menyusul ke Lampung. Geografi yang juga disebut “Jawa Utara”. Saya mendapat tugas sebagai Pemimpin Redaksi Lampung Post. Semula Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi berada di pundak Mas Bambang. Sejak itu berbagi dengan saya.
Serah terima jabatan berlangsung di sebuah hotel di Tanjung Karang, awal Juni 2002. Guberrnur, kapolda, kajati, ketua partai, akademisi, seniman, LSM, angota DPRD, pelaku bisnis hadir. Undangan melimpah. Karangan bunga berjajar. Saya kaget. Karena umumnya di Jakarta alih tugas seperti itu cukup diumumkan secara internal saja. Tapi karena saya dari Jakarta, acara ini sekaligus untuk memperkenalkan kepada masyarakat Lampung. Pembaca Lampung Post.
Seraya melangkah ke tempat acara, Mas Bambang membisikkan sesuatu. “Jangan lupa ketika sambutan tawarkan sesuatu yang baru untuk Lampung Post, katanya ke arah kuping kanan saya. Saya mengangguk sambil berpikir apa yang baru untuk koran terbesar di Lampung itu. Secara spontan saya mengatakan akan menerbitkan rubrik “Bahasa Lampung” sepekan sekali. Alasannya karena bahasa daerah adalah sumber “kearifan lokal”. Penguatan identitas Lampung. Terlebih Lampung punya sistem aksara sendiri. Rubrik ini terbit berkat kerja sama dengan Universitas Lampung.
Hanya iItu pesan dari Mas Bambang. Selanjutnya ia percaya penuh pada saya untuk membawa ke mana arah Lampung Post sebagai institusi pers. Saya sering berdiskusi berdua di ruang kerjanya. Tak ada hal prinsip yang berbeda. Kami sama-sama punya pikiran bahwa pers selain menginformasikan, juga menjadi inspirasi, dan referensi. Ia produk intelektual. Maka wartawan rakus membaca. Kami sama-sama pula sebagai anggota dewan redaksi Media Group, yang waktu itu tengah merumuskan koran sebagai referensi. “Sekarang Anda nahkoda kapal Lampung Post. Saya percaya Lampung Post akan kian besar,” katanya suatu hari.
Hubungan saya dengan Mas Bambang lebih dari sekadar urusan pekerjaan. Bagi saya Mas Bambang adalah guru, senior, orangtua, sahabat, dan lawan bicara yang asyik. Terlebih ia juga punya wawasan memadai akan isu-isu internasional dan perkembangan teknologi. Ia paham pikiran-pikiran besar, tokoh-tokohnya, dan konteks penerapannya hari ini.
Sebagai wartawan, agaknya ia bermotto, “Aku menulis maka akua ada”. Ia adalah penulis kolom “Buras” di Lampung Post setiap hari, selama hampir tiga dekade. Isinya tentang percakapan warga negara yang dihadirkan dengan jenaka. Kejenakaan dan humor memang “alat untuk bertahan manusia”. Selaras apa yang menjadi keyakinan sastrawan Anton Chekov, “Puncak tragedi adalah komedi”. Dengan “Buras” penulisnya diganjar penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) sebagai penulis kolom terproduktif se-Indonesia.
Mas Bambang adalah Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung. Tapi ia sesungguhnya milik semua organisasi profesi pers seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan yang lain. Ia juga anggota dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI); dan berbagai ketua dewan penasihat dari rupa-rupa organisasi profesi di Lampung seperti Asosiasi Dosen Indonesia. Ia memang seorang “pelintas batas”.
Tentang kebaikan Mas Bambang seorang teman mengamsalkan. “Kebaikan Mas Bambang itu terlalu total. Kalaupun ia diminta tanda tangan untuk memecat dirinya sendiri akan ia lakukan juga.” Ia orang Jawa rasa Sumatera yang lentur tapi sesungguhnya tegas.
Kini orang baik “kiblat” wartawan di Lampung itu telah tiada. Mengutip Jenderal Douglas MacArthur yang amat terkenal, “Old soldiers never die, they just fade away”, Mas Bambang juga tidak pernah mati. Ia hanya menghilang dari yang fana menuju yang baka. Untuk meneruskan etape kehidupan selanjutnya. Kehidupan baru yang jauh lebih abadi.
Selamat menempuh hidup baru, Mas Bambang. Semoga bahagia di sana.***
*Djadjat Sudrajat, mantan Pemimpin Redaksi Lampung Post