TERASLAMPUNG.COM — Tim Kampanye Nasional Joko Widodo atau Jokowi – Ma’ruf Amin menyatakan siap menghadapi gugatan sengketa hasil Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Tim ahli hukum TKN yang bertugas dalam Sengketa Pilpres di MK, I Gusti Putu Artha mengatakan, kekuatan gugatan yang paling utama ada pada posisi kasus. “Dengan selisih hasil Pilpres yang sangat jauh, itu kekuatan utama TKN,” kata Putu Artha saat dihubungi Tempo pada Jumat, 24 Mei 2019.
Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan KPU, pasangan calon nomor urut 01, Jokowi – Ma’ruf mendapat 85.607.362 suara atau sebesar 55,50 persen. Sedangkan, pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno mendapat 68.650.239 suara atau sebesar 44,50 persen.
TKN, kata Putu, diuntungkan oleh konstruksi Undang-Undang Pemilu yang sejak awal didesain dengan penyelesaian pelanggaran kualitatif diproses dalam tiap tahapan. MK menurut UU Pemilu Pasal 475 ayat 2, bertugas menyelesaikan keberatan atau gugatan hanya terhadap hasil Pemilu yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
“Maka fokus MK sekarang baik Pilkada dan Pemilu adalah penyelesain keberatan atas selisih suara,” ujar dia.
Kubu Prabowo Subianto – Sandiaga Uno akan menggugat hasil pemilu ke MK sekitar pukul 20.30 malam ini. Prabowo-Sandi menunjuk mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto sebagai ketua tim kuasa hukum untuk menangani gugatan sengketa hasil Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi.
Kuasa hukum Jokowi – Ma’ruf, Yusril Ihza Mahendra menyebut pembuktian kecurangan perkara pemilihan presiden, bukanlah hal mudah. “Jadi misalnya kalau dinilai ada 11 juta kecurangan, ya silakan dibuktikan. Kami mau dengar juga seperti apa kecurangan itu. Gimana cara bawa kotak (C1), kami juga mau lihat itu,” ujar Yusril di Posko Cemara, Jakarta pada Selasa, 21 Mei 2019.
Yusril menyebut, sejak 2004, semua permohonan sengketa Pilpres ditolak karena memang pembuktian kecurangan pemilu bukanlah perkara mudah. “Perkaranya simpel, tapi membuktikannya berat sekali,” ujar dia.
Pakar hukum tata negara itu menyebut, berdasarkan pengalamannya bolak-balik menangani perkara pemilu, paling banter bisa memohon pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah TPS, itu pun hasilnya kebanyakan tetap tidak menang.