Sastra  

Semarak Sastra di Lampung, Kantor Bahasa Bisa Jadi Harapan Para Sastrawan

Isbedy Stiawan ZS, Ari Pahala Hutabarat, dan Iswadi Pratama pada acara sarasehan yang digelar Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Jumat (15/10/2021).
Isbedy Stiawan ZS, Ari Pahala Hutabarat, dan Iswadi Pratama pada acara sarasehan yang digelar Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Jumat (15/10/2021).
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Pada masa mendatang Kantor Bahasa Provinsi Lanpung (KBPL) bisa jadi “sandaran harapan” untuk menyemarakan kembali sastra Indonesia di Bumi Ruwa Jurai. Itulah benang merah dari sarasehan sastrawan Lampung merayakan Bulan Bahasa 2021, Jumat (15/10/2021).

Sarasehan dengan mengusung tema Sastra di Lampung hari ini menghadirkan pembicara Kepala KBPL Eva Krisna dan tiga sastrawan Lampung, yaitu Iswadi Pratama, penAri Pahala Hutabarat, Isbedy Stiawan ZS.

Isbedy mengatakan Lampung pernah disebut Nirwan Dewanto adalah Lumbung Penyair. Sementara F. Rahadi di Kompas mengatakan daerah yang bisa menyamai Lampung adalah Bali.

Pendapat kedua budayawan Indonesia itu saat para penyair Lampung diundang Dewan Kesenian Jakarta mengikuti Cakrawala Sastra Indonesia di TIM, September 2005.

Para penyair Lampung yang tampil atas kurasi Isbedy Stiawan ZS itu adalah Ari Pahala Hutabarat, Iswadi Pratama, Inggit Putria Marga, Oyos Saroso HN, Dahta Gautama, Lupita Lukman, Jimmy Maruli Alfian, dan Isbedy Stiawan ZS.

Dikatakan Isbedy, setelah CSI muncul penyair Fitri Yani dan Agit Yogi Subandi. Setekah kemunculan kedua penyair ini yang juga sangat kuat, terjadi stagnan atau transisi kepenyairan (kesastrawanan) di Lampung.

“Saya tak lagi mendapati puisi yang kuat dari Lampung. Workshop juga terasa kurang, ditambah media koran yang satu demi satu menghilangkan ruang sastra atau malah gulung tikar,” katanya.

Serbuan media sosial seakan “membangkitkan” sastra dari koran/majalah ke media online. Ditambah dengan berbagai festival sastra yang kurasinya sangat longgar, karya yang lahir bagai sosialita.

“Lalu maraknya penerbitan antologi berbayar, orang pun berbondong ikut agar disebut sastrawan. Tak terkecuali di Lampung,” ungkap Isbedy.

Di tengah stagnasi, lanjut Isbedy, masih ada kebanggaan bahwa terbit buku puisi “Sebait Syair untuk Tuhan” karya Solihin Utjok. “Puisi-puisi Utjok yang liris dan penuh perenungan, pantas disebut puisi yang jadi dan Utjok layak menyandang penyair Lampung asal Metro.

Ke depan, tentu berharap Solihin makin melahirkan puisi yang lebih baik dan menggedor masyarakat sastra Indonesia.

Dalam prosa, Isbedy menyebut Arman AZ sebagai terdepan hingga sekarang. Cerpenis ini sudah teruji di tingkat nasional.

Ari Pahala Hutabarat kehidupan sastra di Lampung tengah mengalami sedikit kurang enak badan.

“Ada transisi setelah Inggit, Fitri Yani, dan Agit. Sebab yang muncur sekadar disebut. Seharusnya selain karya yang bagus, juga memiliki jiwa heroik,” kata sutradara di KoBer Lampung itu.

Iswadi Pratama lebih menyorot penulis naskah teater. Di mana saja, penulis naskah drama seperti ada nanun tiada. “Tiada tapi sebenarnya ada.”

Ia berhaharap bagi calon seniman hendaklah hidupkan kecintaan yang sungguh-sungguh pada profesi dan kreativitas.