Oleh Juwendra Asdiansyah
1. Debat bukan pidato
Rancak pidato belum tentu mahir berdebat. Meski Anda sering berpidato, memberi sambutan, atau berorasi bahkan di hadapan ribuan orang, tiada garansi Anda piawai berdebat. Seorang kepala daerah, tokoh, pemimpin yang biasa berpidato dengan gilang gemilang berjam-jam, bisa saja terseok-seok saat berdebat.
Pidato, sambutan, orasi hanya satu arah. Jika Anda tokoh, pejabat, atau orang penting apa pun labelnya, umumnya audiens mungkin bakal manut, manggut-manggut takzim saat Anda berpidato. Mereka akan bertempik sorak saat Anda menyampaikan retorika-retorika hebat apalagi dengan gaya nan flamboyan, meledak-ledak, dengan suara menggelegar laksana halilintar.
Bahkan, kalaupun Anda tak begitu cakap berpidato, buruk sekalipun¸ hadirin akan tetap bertepuk tangan karena mereka adalah orang-orang yang Anda pimpin. Mereka tetap mengelu-elukan karena Anda adalah sang idola. Sebagian lainnya tetap bersorak demi sekadar menyenangkan hati Anda, atau malah takut.
Namun, debat sama sekali berbeda dengan pidato. Anda tidak sedang bicara satu arah, tidak sedang “sendirian”. Dalam debat, Anda sedang berbagi panggung dengan para “lawan”. Dia atau mereka yang bisa jadi sering Anda hindari untuk banyak kesempatan. Dia atau mereka, para pendekar tangguh yang setiap saat siap “menikam” dengan pernyataan, pertanyaan, dan argumentasi nan tajam-mematikan.
Dalam debat, di muka panggung, di depan Anda, sederet manusia bukan melulu pendukung, bawahan, atau anak buah. Mereka bukan cuma pemuja Anda. Sebagian dari mereka adalah tim hore dan die harder lawan Anda. Di antara mereka mungkin juga ada yang membenci Anda, yang gemar mencaci Anda, dan bersiap menunggu Anda melakukan kesalahan, juga menunggu jagoannya “menerjang” hingga Anda “tersungkur mencium kanvas”.
2. Bersiap dan berlatih
Oleh karena debat bukan selayaknya pidato, maka persiapan yang matang tak bisa ditawar. Latihan yang sering tidak bisa tidak. Persiapan dan latihan akan sangat menentukan kualitas Anda berdebat di panggung.
Sudah bersiap dan berlatih pun belum tentu unggul, apalagi jika tidak ada atau kurang persiapan dan latihan.
Persiapan bisa dilakukan dengan mengumpulkan materi-materi terkait topik perdebatan, membacanya dengan cermat, memahaminya dengan penuh, lalu mendengarkan dengan seksama masukan para ahli.
Latihan bisa dilakukan dengan serangkaian simulasi. Di sini Anda perlu sparing partner. Naikkan terus levelnya hingga Anda menjadi cukup tangguh untuk berdebat dengan pendebat terbaik.
Idealnya, latihan terbaik tentu saja merupakan proses panjang yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Ingat, guru terbaik adalah pengalaman. Sekolah terbaik adalah waktu.
3. Biasakan diskusi
Debat, sejatinya adalah level advance dari diskusi. Debat pilkada yang didesain KPU pun sebenarnya lebih cocok disebut sebagai diskusi. Diskusi yang sedikit dipertajam, atau debat yang agak malu-malu.
Seperti naik sepeda, kemahiran berdiskusi, adalah soal kebiasaan. Orang yang biasa berdiskusi, tak akan canggung berdiskusi. Orang yang mampu berdiskusi dengan baik (meski cuma di majelis kongkow), cenderung tampil piawai di panggung-panggung diskusi.
So, jika Anda bermimpi menjadi pemimpin nomor wahid, mulai biasakan berdiskusi. Jangan cuma sibuk ngumpulin “janda bolong” atau ikan cupang.
Diskusi melatih Anda berpikir dengan logis, berbicara dengan keren. Diskusi mengajarkan beragumentasi, menyusun narasi, mengujinya dengan nalar, menyampaikannya dengan cara yang hebat, lalu mempertahankannya dengan gigih.
Diskusi bukan untuk menang sendiri. Jangan terus menerus bicara. Ada kalanya harus mendengar pendapat orang, dan menerima pendapat itu jika memang benar atau lebih baik daripada pendapat Anda.
Jika Anda sudah biasa berdiskusi, berdebat cuma soal menaikkan level dengan sedikit menambah beberapa teknik lain.
4. Grogi boleh, gugup jangan
Grogi itu manusiawi. Mohon maaf, saya yang sudah entah berapa kali naik panggung, tetap grogi setiap kali hendak menjejak panggung berikutnya. Tapi, grogi jangan lama-lama. Karena grogi yang awet akan mengundang gugup. Gugup akan membuat darah mengalir lebih cepat, jantung berdegup tak beraturan, asupan oksigen ke otak menjadi tak normal.
Fase berikutnya, otak ikut gugup. Ia memberi perintah yang terbata-bata, bahkan keliru, kepada lidah, sehingga lidah menjadi kelu. Apa yang sudah dipelajari bisa lenyap seketika, atau mengendap saja di otak tapi tak sampai ke lidah. Anda yang pernah berhadapan dengan calon mertua untuk meminta putrinya Anda nikahi mungkin lebih mudah memahami apa yang saya maksud.
5. “Tikamlah” dengan pisau terbaik.
6. Jangan masuk gelanggang dengan kemarahan.
7. Kendalikan emosi selama berdebat. Emosimu awal kekalahanmu.
8. Percaya diri, tapi jangan meremehkan.
Kenapa poin 5 sampai 8 cuma pointer tanpa penjelasan panjang lebar seperti empat poin sebelumnya?
Maaf pemirsah, penyakit malas saya tiba-tiba kumat. Lagi pula jika semuanya saya jelaskan gamblang, malah Anda yang nanti ketularan malas. Malas mencari, malas mikir. Tinggal comot narasi saya tumplek-blek, plek plek, lalu sim salabim, berkhayal jadi pendebat hebat. Enak amat. Tidak segampang itu Tuan Baron Araruna.
Lalu apa poin ke sembilan? Di judul katanya 9 kiat kan?
Oh iya, hampir lupa.
9. Sesekali undang dan traktir saya ngopi.
Loh apa pentingnya poin ini?
Ya memang tidak penting. Tapi mungkin saja nanti sambil ngopi saya kasih beberapa trik kunci dan jurus-jurus andalan berdebat. Dengan catatan, jika saya sedang tak malas. Kalau pas malas, ya wassalam.***
*Juwendra Asdiansyah adalah moderator 16 debat pilkada di Lampung, termasuk Debat Kandidat Pilgub Lampung 7 April 2018. Calon moderator debat pemilihan wali kota – wakil wali kota Bandar Lampung, 14 Oktober 2020