Sensibilitas Baru Penyair Muda (1)

Bagikan/Suka/Tweet:
Oleh Faruk H.T.*
Prof.Dr. Faruk (dok pribadi)

Puisi-puisi
ini ditulis oleh penyair-penyair dengan usia yang terbilang muda. Pada umumnya
mereka lahir pada tahun 1980-an dan 1990an. Dengan latar belakang kelahiran
yang demikian jelas bahwa mereka merupakan generasi yang lahir ketika Indonesia
memasuki era globalisasi dalam berbagai bidang, yang berlangsung dengan
kecepatan yang tinggi dan dengan tingkat keanekaan yang tidak kalah pula
tingginya. Era 1980an sampai pertengahan tahun 1990-an itu dikenal sebagai era
boom minyak yang membuat tingkat peredaran uang di negeri itu sangat tinggi.

Pada
saat itu pula bermunculan stasiun-stasiun televisi swasta yang membuat televisi
pemerintah, TVRI, menjadi terdesak dan tidak bias pulih hingga sekarang.
Teknologi percetakan juga membuat industri media massa cetak mengalami
perubahan penampilan, menjadi lebih beraneka warna dengan kualitas gambar yang
semakin tajam. Begitu juga dengan perkembangan landscape perkotaan yang makin
penuh dengan poster-poster ukuran besar. Barang-barang elektronik pun mengalir
semakin deras ke Indonesia sebagaimana halnya komoditas-komoditas global yang
lainnya. Bersamaan dengan munculnya internet dan telepon genggam, arus
informasi global juga semakin deras dan beraneka, yang tidak hanya membawa
citra-citra baru, melainkan juga gagasan-gagasan atau ideology yang baru. Arjun
Appadurai menyebut arus-arus kebudayaan global tersebut masing-masing sebagai
financescape, mediascape, technoscape, ideascape.
Pastilah
terjadi perubahan yang bias terbilang revolusioner dalam lingkungan kehidupan
Indonesia dan di dalam lingkungan yang baru itulah penyair-penyair kumpulan ini
dilahirkan dan dibesarkan. Dengan lingkungan yang berbeda sama sekali dengan
yang sebelumnya itu, pastilah mereka pun mempunyai cara pandang dan cara merasa
(sensibilitas) yang khas terhadap kehidupan sekitarnya, termasuk terhadap diri
mereka sendiri. Tulisan ini dengan cara yang masih impresionistik akan mencoba
melihat bagaimana puisi-puisi di dalam kumpulan ini menggambarkan atau
mengimplikasikan sensibilitas baru tersebut.
Saya
merasa sangat beruntung menemukan adanya puisi penyair yang jauh lebih senior
di dalam kumpulan ini, yaitu I Dewa Putu Wijana yang lahir pada tahun 1956
(tertulis 1965). Dengan adanya puisi itu saya dapat membuat perbandingan antara
puisi penyair senior tersebut dengan penyair-penyair yang lain yang saya
kemukakan di atas. Karena itu, saya akan memulai pembicaraan mengenai
puisi-puisi yang ada di dalam kumpulan ini dengan tiga kutipan berikut, yang
masing-masing berasal dari I Dewa Putu Wijana (kutipan kedua), Abimardha
Kurniawan (kutipan ketiga), dan Dwi Rahariyoso (kutipan pertama).  Penyair
pertama adalah penyair kelahiran tahun 1956, yang kedua 1986, yang ketiga
mungkin seusia dengan yang kedua, setidaknya penyair kelihiran sekitar dekade
1980-an juga. Kutipan-kutipan tersebut berasal dari tiga buah puisi yang secara
sederhana bisa dikatakan berbicara tentang kehidupan kota, khususnya yang
menggambarkan terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi di
dalamnya.
“pagi
ini harus kujelang kembali
tugu
dan monumen kotaku
dengan
disaksi perkasa Merapi
kurajuk
dan kurayu mereka untuk kembali
menabuh
saron, gambang, bonang, memetik siter atau kecapi
melantunkan
penuh percaya diri tembang-tembang dan kidung negeri
menari
bedhaya, bondan, golek, dan serimpi
berharan
anak turunku nanti
tidak
terlena dengan boga, musik, dan tari-tari luar negeri
yang
jauh dari budaya, tata krama, dan tradisi
seperti
kiranya amanat para leluhur kami”
“tapi,
kesetiaan malioboro mengawetkan rindu dan kenanganmu seakan tak berbalas.
setelah pasar-pasar beranjak culas, setelah etalase dan ruang kaca merentang
jurang panjang di antara kita. sampai-sampai, kita tak lagi punya sejumput kata
sederhana untuk bertukar sapa.
lantas,
dengan apa sunyi bisa kunamai, sayangku? dengan manis teh gula tebu yang
kupesan di bawah temaram dian angkringan? dengan pepuntung lisong, ketipak kuda
andong, ataukah dengan helaian daun beringin kering yang sempat kuremas, lalu
kulempar dalam sepi dan tak kutengok lagi?”
“semua
tanya tak bersambut jawab, selama puisi lungsur terhanyut di gorong-gorong, dan
celah gang-gang sempit masih saja menguarkan aroma mesum yang kosong. sementara
di sini, di rongga dada ini, reruncing sunyi terus mendesak ke ulu hati.
mungkin,
lewat kesedihan sajak setangkai semua bisa terurai. sebab kulihat malioboro
mulai lena dalam goda warna, walau tetap beku, seolah sungkan, malu-malu,
menerima pinangan waktu… “
“Di
mana rumahmu? tempat tubuhku mengembalikan kampung
dalam
ingatan pantun, syair, macapat,atau kidung
aku
milik masa lalu; sebuah nostalgia tak sembuh

yang
tenggelam di laut kota itu”


* Faruk Tripoli adalah nama Prof. Dr. Faruk H.T, S.U.  di dunia maya.  Prof. Faruk adalah 
Guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM dan  Kepala Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasomentri (PKKH) UGM