Sensibilitas Baru Penyair Muda (2)

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Faruk H.T.*

Kutipan pertama menggambarkan kehidupan kota yang mulai didominasi oleh kebudayaan modern (Barat) dengan meninggalkan kebudayaan tradisional yang ada sebelumnya. Dalam bayangan penyair kedua kutub kebudayaan itu seakan terpisah satu sama lain dengan batas-batas yang jelas. Yang satu datang, yang lain pergi. Namun, dengan optimisme yang tinggi, yang disertai oleh kesaksian Marapi, penyair yakin akan dapat membuat masa lalu datang kembali, kebudayaan tradisional hidup lagi.

Kutipan kedua menggambarkan perubahan yang sama, terutama perubahan hubungan sosialnya. Dalam kehidupan kota Molioboro penyair merasakan hilangnya hubungan personal dan komunal yang hilang, munculnya jarak dalam hubungan antarmanusia akibat pasar beranjak culas dan etalase kaca membentang sehingga si penyiar merasa tertusuk oleh runcing sunyi. Ia ingin membangun kembali komunikasi yang lama, personal dan komunal itu, tetapi ia tidak tahu pasti tentang cara untuk mengatakannya.

Ia masih bertanya-tanya. Beberapa alternatif menutup kemungkinan itu, misalnya puisi yang sudah lungsur terhanyut di gorong-gorong, daun beringin yang kering malah sudah ia buang begitu saja. Kemungkinan terakhir yang ia lihat adalah kesedihan sajak setangkai yang dapat ia ambil sebagai cara untuk membangun kembali komunikasi itu, untuk menyuarakan isi hati yang sunyi. Dengan kata lain, dalam bayangan puisi ini, kebudayaan lama itu sudah sulit untuk dikembalikan ke masa kini karena daun beringin sudah kering dan ia sendiri sudah membuangnya. Yang tersisa tinggal puisi sedih yang mengungkapkan perasaan sunyi yang mendesak di dada. Puisi sedih itulah yang dapat menggantikan kebudayaan masa lalu tersebut.

Kutipan ketiga menggambarkan bagaimana masa lalu sudah tenggelam di laut kota yang sudah berubah itu. Masa lalu tak mungkin dihadirkan kembali. Puisi pun tidak bisa menggantikannya. Yang tersisa hanya nostalgia yang tak akan pernah sembuh selamanya. Dalam puisinya yang lain, yang menjadi judul kumpulan puisi ini, penyair dari puisi ketiga itu menggambarkan situasi kota dan keberadaannya di dalam kota itu sebagai berikut.

“dalam segelas bir; diriku dikuasai kota, senja dan beberapa ingatan. aku bukan pemabuk. hanya seorang yang gelap dari masa lalu. yang tersesat di sebuah toilet umum dan bis kota yang melaju penuh. aku berkata padamu tuhan atau apapun yang kubenci; aku bukan lagi yang kau lahirkan
……
pilihlah sejarah yang ringan untuk kau bawa pulang
sepanjang trotoar yang disibukkan oleh perubahan
lalu aku seperti biksu yang diringkus sepi
kampungku mati; di dalam nadi
tidak pernah ada pemberontakan atau siapa pun
hanya sisa rempah yang terbakar gosong
di pediangan
dan rumah-rumah peribadahan
………………..
dalam segelas bir
kota ini mengirim undangan ke penjuru dunia
tentang pintu dan jendela yang terbuka,
milikilah masa lalu dari sini!
dan para orang tua majenun duduk di bangku-bangku
menyaksikan para syahbandar dan penyanyi aduhai
berkaraoke

dari stasiun-stasiun, para pelancong telah membeli becak
dan mencuri lanskap, wajah, warna kulit, rambut, nafas, dialek,
lidah dan cita rasa juga sejumlah kemiskinan
dalam berkardus-kardus modernitas yang mereka kirim ke toko
dan warung-warung
menjelma bayangan”

Dalam puisi ini, seperti puisi-puisi yang lainnya, penyair menempatkan diri sebagai bagian dari masa lalu. Tapi, masa lalu itu baginya sudah gelap, tak bisa lagi dia kenali dengan baik. Atau, masa lalu itu tinggal seperti asap dupa yang tersisa, hanya bau-bauan yang tak pasti, samar-samar. Atau, ia sendiri sedang mengalami disorientasi, sebagai orang yang tersesat di toilet atau di sebuah kendaraan yang melaju dengan cepat. Yang lebih penting lagi, sebenarnya masa lalu tidak sama sekali lenyap di kota itu. Bentuk-bentuknya masih ada. Tapi, hal itu pun baginya membingungkan karena keberadaannya sesungguhnya tidak nyata, hanya sebuah citra, sebuah bayangan, bahkan telah tersulap menjadi bagian integral dari masa kini, masuk ke dalam kemasan kotak-kotak modernisme, menjadi komoditas ilusi mengenai masa lalu.

***
Tampak ada tiga pandangan yang berbeda mengenai kehidupan kota, masyarakat modern, masa kini, dan masa lalu, serta tiga posisi manusia (penyair) di dalamnya. Pandangan yang pertama memahami masa lalu dengan masa kini sebagai dua hal yang sepenuhnya terpisah dan dapat dipisahkan. Posisi penyair cenderung berada di luar keduanya walaupun ia lebih bersimpati pada masa lalu dan ingin masa lalu hadir kembali di masa kini, bahkan menggantikan masa kini. Pandangan kedua mirip dengan pandangan yang pertama. Kalaupun menganggap masa lalu itu ada di masa kini, keadaannya dibayangkan sebagai sudah kering atau layu.

Penyair merupakan bagian dari masa lalu sehingga keringnya masa lalu itu dan munculnya kebudayaan kota yang baru membuatnya merasa terluka. Namun, bila puisi pertama menjanjikan kemampuan untuk mengembalikan masa lalu seutuhnya, puisi kedua sudah tidak punya optimisme yang demikian. Baginya, masa lalu sudah tidak bisa kembali. Hanya lukanya yang bisa diungkapkan di dalam “kesedihan sajak”. Puisi yang ketiga memandang masa lalu sebagai sesuatu yang gelap, yang sosoknya sudah sulit untuk dikenali, seperti hanya asap dupa yang menyebar.

Kekaburan itu dapat diakibatkan oleh cepatnya perubahan kota yang membuat penyair tidak punya kesempatan lagi untuk mengingatnya dan dapat juga diakibatkan oleh adanya masa lalu semu yang terkomodifikasikan, terintegrasi dengan masa kini. Posisi penyair dalam puisi ini adalah posisi yang terombang-ambing, kehilangan disorientasi, mabuk, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa selain terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang tidak jelas di satu pihak dan tidak bisa menerima masa kini di lain pihak.

Ketiga pandangan dan posisi yang berbeda di atas mempengaruhi cara pengungkapan masing-masing. Puisi yang pertama menggunakan ungkapan-ungkapan yang sangat dikontrol oleh konsep kesatuan imaji, dengan metafora atau perbandingan-perbandingan yang proporsional dengan pemisahan yang jelas antara apa yang menjadi pembanding dan terbanding. Landskap Kota Yogya hadir dalam kesatuan citra yang utuh: tugu, merapi, gamelan, dan bedhaya. Karena penyair lebih berposisi sebagai saksi, perubahan kota digambarkan sebagai sebuah perubahan objektif yang tidak menyentuh perasaan personal penyairnya.


* Faruk Tripoli adalah nama Prof. Dr. Faruk H.T, S.U.  di dunia maya.  Prof. Faruk adalah Guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM dan  Kepala Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasomentri (PKKH) UGM