Seorang Hantu Mati di Waktu Fajar

Isbedy Stiawan ZS
Bagikan/Suka/Tweet:

Isbedy Stiawan ZS

SETIAP menjelang salat subuh, akhir-akhir ini, kebiasanku adalah menyibak sedikit gordyn jendela ruang tamu, lalu menatap ke halaman luar. Ekor mataku melangkah dari depan pagar, taman, hingga persis ambang pintu.

Fajar masih kelam. Suasana di kampungku begitu sunyi. Aku selalu tak berani keluar, sebelum dari menara masjid kudengar adzan. Setelah muadzin memanggil, aku berkemas untuk salat subuh berjamaah di masjid.

Sejak dua bulan terakhir ini di kotaku kerap muncul berita-berita aneh. Dari peristiwa yang juga aneh dan tak masuk akal. Misalnya, seperti cerita warga di kampung nun jauh dari rumahku, bahwa ada warga setempat menemukan berkotak-kotak paket—yang ternyata setelah dibuka satu kotak—berisi gula putih, mie instan, teh, kopi, dan lai-lain. Jangan sampai lupa, dua lembar uang Rp100 ribu.

“Juga disertakan di dalamnya gambar wajah calon raja,” kata warga itu yang kemudian dikutip media lokal.

Media massa memang senang banget memberitakan hal-hal yang dianggap tidak lazim menurut ukuran akal masyarakat umum. Sebab, media punya pemikiran: kalau sekali dayung bisa dua-tiga pulau dapat direngkuh, kenapa tidak?

Hanya modal sedikit, istilah bacot satu kata, bisa mengeruk keuntungan berlipat-lipat. Bayangkan kalau di satu pulau memiliki sumber daya alam dan sumber kehutanan berlimpah-limpah. Nah, kalau dua atau tiga pulau dikuasai, berapa bisa dipeluk keyakaan alam dan bumi?

Artinya, saya memisalkan diri sebagai pemilik modal media massa, kita menghajar seorang calon pejabat atau pejabat yang prilakunya menyimpang dari ukuran kelaziman umum. Lalu si calon pejabat atau pejabat itu mendatangi kantor redaksi, obrol sana obrol sini, katabelece, basa-basi. Dan, ketika mau pulang member segepok uang.

“Tolong pak, saya berharap, apa yang saya katakana tadi sebagai klarifikasi atau hak jawab, bisa dimuat esok hari, pas hari… Terima kasih kerja samanya yang baik, beginilah indahnya kalau ada saling pengertian. Damai itu inah ternyata,” kata sang calon pejabat atau pejabat sambil senyam-senyum bagai kuda yang syahwat.

Keesokan hari mdia lokal yang ada memberitakan ucapan sang calon pejabat atau pejabat itu. Bahkan, dengan berbagai foto beragam gaya: termasuk dengan anak-anak dan isteri. Weleh weleh, masyarakat pun menganggap bahwa ia adalah calon pejabat atau pejabat yang bersih, suci, sayang keluarga, harmonis dan seterusnya dst. dst….

ITU bagian dari laku media massa, tentu tidak semua. Masih ada media massa yang independent; berada di atas fakta. Tidak bergantung pada satu orang, tetapi tidak pula menginjak kaki seluruh pejabat. Netral saja.

Nah, kembali ke cerita awal. Setiap menjelang subuh, artinya masa fajar, aku selalu membuka sedikit gordyn jendela sebelum melangkah ke kamar mandi untuk istinjak lalu mensucikan diri untuk selanjutnya salat fajar.

Pagi ini aku benar-benar terkesima. Persis di dekat pintu pagar rumahku, tergeletek tumpukan kotak. Terkesima sekaligus gamang. Betapa tidak, aku terkesima karena apa yang selama ini saya anggap hanya rumor, gosip, yang diembuskan masyarakat menjelang pemilihan umum (pemilu) demi meramaikan suasana, kini benar-benar nyata adanya.

Dikatakan gamang, sebab aku berpikir: jangan-jangan tumpukan kotak kardus itu ternyata berisi sampah, dan bukan sembako beserta gula, teh, dan lain-lain seperti yang diceritakan tetangga sebelah. Kalau benar sampah, tak masalah. Paling hanya susah sedikit untuk mengumpulkan lalu menunggu tukang sampah.

Kalau bom? Kalau kepala-kepala bayi? Ari-ari bayi? Usus dan kotoran hewan?

Inilah yang tidak aku suka. Ini pula penyebabnya kenapa aku gamang. Aku galau. Aku bimbang. Aku ragu.

Pagi ini menjelang pemilu digelar, fajar yang kelam. Tidak ada bulan, hanya sedikit langit dihiasi bintang. Lampu jalan di kampungku padam. Akhir-akhir ini memang, PLN suka sekali memadamkan listrik, alasannya kematian bergilir. Kapan saja, PLN bisa memadamkan arus litriknya ke warga: mau siang, pagi, malam, tengah malam, tengah siang, sore, ataupun jelang fajar seperti sekarang.

Aku pun penasaran. Setelah salat fajar aku melangkah ke masjid untuk solat subuh. Setengah menengok, ekor mataku menatap tumpukan kotak paket itu. Belum aku sentuh, aku khawatir jemariku akan terdeteksi oleh kepolisian jika barang-barang itu hasil curian. Aku paling malas berurusan dengan pihak polisi, sungguh!

Tetapi, hatiku menggelitik. Pikiranku menari-nari. Intinya menghasutku untuk membuka satu kotak, selepas solat subuh. Kebetulan jamaah yang melintasi depan tumahku tak ada, jadi hanya aku seorang. Artinya, kalaupun kotak-kotak itu bukan paket sembako, aku tak mau ditertawakan warga.

Keinginanku tertunda. Begitu ampai di depan rumahku, kotak-kotak kiriman itu sudah tak ada lagi. Betapa sigapnya mereke bekerja. Hanya tak lebih 30 menit, seluruh paket sudah raib. Pasti sebuah truk liwat depan rumahku. Tetapi, kenapa isteri dan anakku tidak mendengar? Tentu suara truk itu “wus wus….. nyaris tak terdengar” sebab mobilnya, boleh jadi, masih baru dan mesinnya belum disentuh mekanik lokal yang acap bukan memperbaiki malah merusak.

Tetapi, aku ternganga. Di siring depan rumahku, seseorang tergeletak bersimbah darah. Ia sudah tak bernyawa.

Aku berteriak. Warga kampung keluar sambil mengucek-ucek kedua matanya. Mereka, kuyakin, terbangun karena teriakanku. Bukan sebab suara muadzin. Segera kami mengangkat orang yang sudah tewas itu. Warga lain mengontak kepolisian.

Di dada lelaki itu terdapat sepucuk surat yang ditulis dengan spidol besar dan anti air. “TOLONG TERIMA WARGA INI DAN KEBUMIKAN SELAYAKNYA ORANG MENINGGAL. DIA ADALAH HANTU, YANG SELAMA INI BERGENTAYANGAN MENGIRIMKAN PAKET-PAKET SEMBAKO BERISI GULA DSB.NYA.”

Sungguh, aku teringat pada sebuah puisi, ampun beribu ampun aku lupa siapa penyair dan judulnya, tentang seseorang yang mati di pagi menjelang pemilihan umum. Karena ada yang lebih penting, aku pun melupakan judul dan sang penyair, sebab lelaki ini mesti segera diurus.

“Jangan-jangan ini akhir dari cerita seorang hantu selama sosialisasi, kampanye, dan hari tenang menjelang pemilu. Penyerang fajar, dan diserang oleh penyerang fajar dari kandidat lainnya,” gumamku.

Apakah cerita ini akan menjadi fakta? Entahlah. Yang pasti pagi itu aku menikmati hal hal yang tidak menjadi kebiasaanku. Aku kembali tidur. Tidak menyeruput kopi dan menikmati sebatang rokok seperti pagi-pagi lain sebelum mandi untuk bersiap-siap bekerja. Padahal, pukul 08.00 hingga pukul 12.00 hari ini, pemilu digelar. Aku tidak ingat apa-apa, juga mimpi tentang anggota Dewan  dan pemimpin yang baru….

Baca Juga: Hantu Pilek