Budi Hutasuhut
Yang sukar saya lakukan dalam hidup ini adalah menjadi santri. Itu sebabnya selama beberapa bulan terakhir saya sering bersama santri: makan bersama, berdiskusi, mengaji, bersholawat, dan hal-hal produktif yang saya pikir luar biasa. Santri juga membuka ruang sempit dalam pikiran saya tentang apa itu istighosa, manakiban, tahlilan, dan yang terpenting adalah kitab kuning.
Sembari berteman, saya ingat pernah membaca Geertz, yang bercerita (dengan teknik menulis gaya reportase) tentang kehidupan masyarakat Jawa. Geertz fokus bercerita tentang santri. Dan saya, karena teknik penulisan ilmiah yang ditampilkan Geertz, tertarik luar biasa pada para santri.
Adalah Aminuddin, santri sebuah pondok di Way Lima, yang saya temui bulan Agustus 2015 lalu. Dia berasal dari Papua, berdarah Jawa. Suatu hari, orang tuanya yang santri mengikuti pengajian di Wamena, yang dihadiri seorang kiyai asal Lampung. Tidak pernah terjadi komunikasi sebelumnya di antara orang tuanya dengan kiyai itu. Tapi, setelah pengajian usai, orang tuanya menemui kiyai itu secara khusus dan menyampaikan keinginannya untuk mengirim Aminuddin sebagai santri ke Lampung.
Pertemuan itu terjadi 2010 lalu. Pada 2013, Aminuddin sudah ada di pondok pesantren di Way Lima, diterima sebagai santri. Ia tinggal di sebuah gubuk kecil berukuran 4×4 meter, hidup berdempet-dempetan dengan santri lain yang datang dari berbagai pelosok negeri. “Kami dipersatukan oleh perbedaan yang begitu beragam,” katanya.
Saya sukar memahami ucapannya. “Dipersatukan oleh perbedaan yang terlalu beragam” tak bisa saya cerna dari kajian sosial-budaya apa pun. Saya pernah membaca Francis Fukuyama, yang bicara tentang kapital-kapital sosial masyarakat. Apakah setiap santri memposisikan diri sebagai kapitalis nilai-nilai sosial, dan sukses memadu-padankan segala perbedaan itu sehingga diperoleh satu nilai kebersamaan?
Saya pikir tidak seperti itu. Dalam banyak kajian, pertautan-pertautan sosial yang terjadi selalu membuat ada yang terabaikan dan menjadi lian. Para filsuf mengakui hal itu. Tapi para filsuf juga punya kepercayaan, bahwa rasa sosial yang tinggi (altruisme) akan membuat sebuah kelompok masyarakat hidup teratur dan tidak mempersoalkan perbedaan di antara mereka. Cuma, pandangan ini tampaknya lemah.
Lalu, apa sesungguhnya yang dialami para santri?
Santri-santri itu masih muda usia. Emosi tak labil, dan mereka hidup di antara dimanika peradaban yang cepat di luar kawasan pondok. Mememang handphone, bermain facebook. Mereka tak bisa lepas dari kemajuan teknologi komunikasi dan informatika. Tapi, mereka nyaris tidak pernah terdengar bertempur, berkelahi, atau peran antarsantri seperti yang menimpa anak-anak sekolah formal umum.
“Semua waktu kami habis untuk urusan dunia dan akhirat. Semua terbagi dengan pembagian yang sama,” kata Aminuddin.
Saya tak paham maksudnya. Tapi, kemudian, setelah berkali-kali bertemu dan berusaha untuk memahami, saya justru semakin tidak paham kenapa para santri ini begitu tenang dan nyaris tanpa beban dalam hidup. Saya baru memahami ketika suatu hari membaca riwayat para santri, yang berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Saya membaca kisah santri-santri Tebu Ireng, dan saya pikir yang mereka miliki adalah apa yang tidak kita miliki selama ini.
Selamat memperingati Hari Santri.