Sepak Pojok: Menghina

Bagikan/Suka/Tweet:

Rusdi Mathari

Surat itu diterima Uskup Mandell Creighton 3 April 1887. Pengirimnya adalah Lord Acton yang menuliskan keprihatin tentang kekuasaan. Kata Acton, kekuasaan [memang] cenderung korup dalam banyak bentuk dan rupa.

Penggal kalimat dalam surat itu, belakangan tak hanya termasuk bagian dari tesis Acton berjudul “A Study in Conscience and Politics” melainkan merambat ke hampir penjuru dunia, dibaca oleh banyak orang dan menjadi popular, dan orang-orang semakin tahu dan juga percaya, penguasa memang cenderung menyalahgunakan kekuasaannya. Dan Pak Acton benar.

Di negara ini, Jokowi hanya perlu waktu setahun untuk meludahi janji-janji kampanyenya. Dia dengan cepat berseru bahwa kritik tidak dilarang asalkan membangun meski pun saya tergagap: bagaimana mengkritik sekaligus membangun?

Lalu kini muncul usulan agar presiden tidak lagi dihina. Seolah, presiden sebagaimana jabatan kekuasaan lainnya yang cenderung korup itu adalah mulia tanpa dosa dan karena itu tak perlu dihina. Rancangan undang-undangnya telah diteruskan ke DPR, dan sebentar lagi akan menjadi pembahasan sebelum ditetapkan jadi undang-undang.

Dengarlah kemudian kata Jokowi: usulan agar presiden tidak dihina itu demi kesantunan bangsa. Untuk melindungi para pengkritik dari pasal-pasal karet. Memproteksi orang-orang yang kritis. Agar masyarakat yang ingin melakukan pengawasan tidak dibawa ke pasal-pasal karet

Saya tak tahu, siapa yang sebetulnya berkuasa sekarang, tapi Jokowi tampaknya belajar lebih cepat dari Soeharto, penguasa yang pernah terkenal dengan jargon kritik yang membangun dan kesantunan itu.