Sepak Pojok: Reuni

Bagikan/Suka/Tweet:

Tomi Lebang

“Ke mana pulang si ampas kopi? Ke pelimbahan. Ke mana pulang si petualang? Ke cintanya yang tertabah … “

Itu kata dalang mbeling Sudjiwo Tejo.

Seusai Lebaran kemarin, saya pulang ke Makassar. Tentu dengan anak dan istri. Di sana ada ibu, tempat saya selalu pulang.

Lalu seperti biasa, anjangsana ke mana-mana, bertemu kerabat dan kawan lama, mereka yang menetap atau datang juga seusai Lebaran. Berada di satu kota yang sama, tak sedikit yang menggelar halal bi halal, reuni kecil yang penuh canda. Media sosial penuh foto-foto bersama, di semua kota di Indonesia.

Saya hadir di halal bi halal Ikatan Keluarga Alumni Teknik Universitas Hasanuddin, lalu Alumni Teknik Mesin Unhas, pers kampus Identitas Unhas, lalu SMA Negeri 1 Makassar. Pagi, siang dan malam. Lelah tapi mengasyikkan, karena kita semua tenggelam ke masa silam.

Saya ingat selarik kalimat, tapi lupa entah dari mana: pada akhirnya kenanganlah yang akan membawamu pulang. Itulah yang membuat masa lalu selalu dirindukan, kawan-kawan lama selalu diinginkan untuk hadir.

Sebulan lalu, di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, kami juga menggelar reuni besar: Temu Nasional SMA Negeri 1 Makassar. Ada 6.000-an orang hadir dari tahun angkatan yang jaraknya terentang puluhan tahun. Dari yang tamat di zaman Soekarno dan sekolah itu masih di Jalan Maros, sampai yang lulus di era internet di ruang tidur.

Dan reuni memang ruang untuk pulang ke kenangan. 24 tahun berlalu sejak lulus SMA sebagian besar kami tak pernah berjumpa. Mungkin juga memang tak kenal sedari dulu. Tapi semua pernah punya masa-masa indah di tempat yang sama, di satu sekolah, bertahun-tahun dalam suka cita dan juga nestapa. Dan semua punya cerita: tentang kepala sekolah, guru yang galak dan naif, kawan yang beriman atau jail, yang cantik lentik tapi tak terjangkau (ehm), yang pandai segala pelajaran tapi tak sudi dicontek – ah, masa-masa itu….

24 tahun berlalu, dan waktu menggerus ingatan. Kita semua mengingat masa itu, tapi tak mampu merekam semua di dalamnya: nama, muka, tempat tinggal, mungkin juga kisah cinta kawan seiring. Belasan orang memanggil saya, menjabat erat, merangkul: “Tom…. pa kaaaabar. Di mana sekarang? Anak berapa? Masih suka anu, anu dan anu?” Dan saya menyambutnya dengan kegembiraan yang tak dibuat-buat, tapi terganjal di satu masalah besar: nama kawan ini siapa?

Ada yang mengaku pernah sekelas denganku, saya kehilangan memori tentang raut mukanya. Di benak saya berkesiur pertanyaan: monyet ini dulu duduk di bangku deretan mana?

Tapi orang tak mungkin disalahkan jika ia lupa. Waktu telah menggerus ingatan. Dan reuni adalah obat penyembuh lupa, juga terapi untuk mengekalkan kenangan.

Saya selalu menganggap reuni adalah sebentuk panggilan masa silam untuk mengekalkan kenangan. Kenangan yang indah, ketika kita bukan siapa-siapa. Itu sebabnya, di ajang reuni kita bisa melihat seorang komandan kodim, profesor, pengacara besar, dokter-dokter spesialis, walikota, camat, pilot, direktur dan petinggi yang kembali seperti anak sekolahan di parade jalanan: melambai-lambaikan pita warna warni, menabur confetti, menari dan menyanyi. Norak.

Tak ada sekat karena kita memang tidak di dunia kini, tapi tengah memanggil kembali kenangan yang indah itu.

Meski, sepulang dari acara reuni hari itu, saya mengulum senyum sendiri, membayangkan ajudan Dwi Bima Nurrahmat, sekretaris Arman Hanis, atau dosen dan mahasiswa Profesor Maddaremmeng Panennungi dan Profesor Arianto A. Patunru, para pasien dokter Tenriagi Malawat, Ratnawati Muhadi, Shulhana Mochtar, … lurah-lurah di kecamatan Bontoala anak buah Camat Pandjoel — melihat orang-orang ini bertingkah seperti anak sekolahan di parade jalanan. Berteriak-teriak seperti orang gila….

Dalam kenanganku, kawan-kawanku ini tetaplah berseragam putih dan abu-abu. Nakal dan centil.

 Tebet, 23 Juli 2015