Esai  

Seperti Sebuah Puisi Lirik

Albert Einstein
Bagikan/Suka/Tweet:

Ahma Yulden Erwin

Makalah ilmiah Teori Relativitas Khusus karya Albert Einstein itu cuma 30 halaman. Disertasi John Nash tentang Teori Permainan cuma 28 halaman. Makalah ilmiah Teori Ketaklengkapan karya Kurt Godel hanya sekitar 35 halaman. Buku Tractatus Logico Philosophicus karya Ludwig Wittgenstein hanya 60 halaman. Semua karya tulis itu merupakan puncak-puncak pencapaian sains pada abad modern.

Semuanya ditulis secara ringkas. Pembuktian argumennya menggunakan bahasa formal logika dan matematika. Padat, kaya makna, dan luas dalam jejaring koherensi teoritik adalah beberapa ciri penting karya-karya saintifik dan filosofis di atas. Untuk menuliskan kedalaman dan keluasan persoalan terkadang Anda sama sekali tak memerlukan seribu halaman buku, melainkan hanya puluhan lembar halaman saja, atau malah hanya beberapa lembar halaman saja–seperti sebuah puisi lirik.

Makin mendalam pikiran seorang manusia, maka akan makin tak deskriptif, tetapi makin simbolik. Bahasa orde tinggi dari logika dan matematika sepenuhnya simbolik. Bahasa simbolik itu bukanlah deskripsi dari gambaran, tapi abstraksi dari gambaran. Seperti sebuah lukisan abstrak, kita tak akan melihat gambar pemandangan di atas kanvas, tetapi kita dapat mencipta berbagai kemungkinan gambar pemandangan di dalam pikiran kita dengan melihat komposisi bentuk dan warna yang ada di kanvas sebuah lukisan abstrak. Sebuah abstraksi, paradoksnya, adalah representasi dari aneka gagasan secara simultan, secara serentak–seperti sebuah puisi lirik.

Matematika dan logika simbolis pada akhirnya membuktikan bahwa dunia bukanlah perihal yang kita ketahui ada, melainkan “ada” yang kita sepakati untuk kita ketahui. Begitu pun halnya dengan bahasa. Pada awalnya bahasa adalah cara manusia untuk menyatakan sesuatu itu ada. Namun, pada akhirnya, bahasa tiada lain cara manusia untuk menyampaikan sesuatu yang kita sepakati untuk ada–seperti sebuah puisi lirik.

Kata batu bukanlah batu itu sendiri. Anda sama sekali tak akan merasa sakit bila kepala Anda hanya saya lempar dengan “kata” batu. Anda bisa membuktikan hal itu dengan “pembuktian peristiwa”. Kata batu hanyalah cara kita untuk menunjukkan benda yang bernama batu, bukan batu itu sendiri. Bahkan kita sama sekali tak mengetahui apa sebenarnya batu itu hanya dengan memahami kata batu. Begitulah, pada akhirnya, logika simbolis membuktikan bahwa kata batu hanyalah kata yang kita sepakati tentang batu, dan sama sekali tak berkorespondensi dengan benda bernama batu. Demikian pula untuk semua kata lainnya, termasuk kata Tuhan itu sendiri. “Tao yang bisa dikatakan bukanlah Tao,” begitu kata Lao Tzu dalam kitab Tao Te Ching ribuan tahun lalu di Cina. Tafsir atau pemahaman Anda tentang Tuhan, bukanlah Tuhan itu sendiri. Tuhan hanyalah kata yang kita sepakati untuk hal yang tak kita ketahui, mungkin juga, sebuah misteri. Adalah sebuah kontradiksi bila Anda berkata bahwa Anda mengetahui sesuatu yang tidak Anda ketahui. Anda, saya, dia, mereka sama sekali belum memecahkan “misteri” itu. Meski demikian, misteri itu tetap ada–seperti sebuah puisi lirik.