Seratus Sembilan Puluh Tahun

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Malahayati Lampung

Beberapa hari ini ada kerisauan yang menyeruak di dalam hati, membaca satu caption di layar salah satu televisi di negeri ini. Berita yang ditayangkan adalah pemerintah menyetuji investor yang akan berinvestasi di Ibu Kota Negara (IKN), mendapat konsesi selama 190 tahun.

Menerawang kedepan berarti konsesi itu baru akan kembali pada masa buyut saya sudah berbuyut. Berikut ini silsilah kekerabatan sampai dengan generasi ke-10 dalam keluarga Jawa 1. Bapak/ibu, 2. Simbah, 3. Buyut, 4. Canggah, 5. Wareng, 6. Udheg-udheg, 7. Gantung siwur, 8. Gropak senthe, 9. Debog bosok.10. Galih asem.

Dengan kata lain, pada periode udheg-udheg dan periode gantung siwur-lah konsesi yang dimiliki investor itu baru kembali kepangkuan ibu pertiwi.

Pada sisi lain, orang tua-tua dulu pernah berpesan: jika kalian ingin membangun janganlah dimulai dari menjual. Sebab, jangan-jangan yang kamu bangun itu sekadar memenuhi keinginan, sementara yang kamu jual adalah kebutuhan. Adagium sederhana ini serasa masih terngiang ditelinga, namun apa daya berhadapan dengan “kedigjayaan” pemimpin masa kini, sering melampaui “kedigjayaan” Tuhan.

Pada era Orde Baru pembangunan dimulai dengan cara berhutang ke luar negeri, dan pada waktu itu bahasanya diperhalus menjadi “bantuan”. Tahun 1998 terjadi krisis ketidakmampuan bayar hutang yang jatuh tempo. Akibatnya krisis moneter dilanjutkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Akhirnya pemerintah gulung tikar, meninggalkan hutang dan bunganya harus dicicil oleh anak-cucu bangsa ini.

Jika kita membangun harus dengan cara “menjual”; berarti kita melakukan kesalahan yang sama dengan cara yang berbeda. Sebab, bebannya juga akan beranak-pinak kepada keturunan kita nantinya, bahkan lebih parah karena ini menyangkut pemanfaatan lahan. Kebermanfaatan akan lahan tidak jarang akan menuai persoalan di belakang hari; menyimak dari kasus-kasus jaman dahulu, seperti tanah perdikan, tanah bengkok, Tanah VOC; dan masih banyak lagi.

Tampaknya membangun dengan menggali ke depan sudah semacam model, dan itu selalu dilakukan saat-saat menjelang akhir masa pemerintahan; apakah ini merupakan pengalihan beban kepada penerus, hanya pelaku dan Tuhan yang mengetahui. Dan, jika niatan itu yang ada di dalam hati pelaku, maka sebenarnya itu merupakan kedholiman yang luar biasa. Apalagi jika niatan itu juga untuk menyelubungi niat pribadi lainnya, tentu saja ini akan menjadikan persoalan tersendiri di belakang hari.

Menanggungkan beban kepada mahluk yang belum lahir, sebagai penerus generasi memang tidak ada undang-undang yang dilanggar. Namun apakah hal itu elok, dan pantas; apalagi kalau itu hutang. Kesopansantunan dari manusia sebagai mahluk yang terpuji, seyogyanya mampu memberikan label tersendiri pada apa yang akan kita perbuat. Hutang jangka panjang dapat menjadi alat yang berguna untuk mencapai tujuan finansial besar, tetapi juga memerlukan perencanaan dan pertimbangan yang matang.

Belum lagi jika pendekatan agama yang dipakai; dalam nukilan ajaran agama Rasullullah tidak mau menyolatkan jenazah yang masih berhutang. Jika hutang-hutangnya dilunaskan atau ada penanggung yang akan membayarnya, beliau baru mau menyolatkan jenazahnya. Pertanyaannya bagaimana penanggungnya belum lahir, masih entah di mana; apakah jenazah yang meninggal dan meninggalkan hutang berantai tadi layak disholatkan. Tulisan ini tidak membahas itu, namun sekedar meninggalakan pekerjaan otak untuk memikirkannya.

Untuk jawabannya penulis serahkan kepada pembaca, untuk merenungkan, memperdebatkan, memasakbodohkan, atau bahkan membeci kepada penulis-pun dipersilahkan. Karena semua itu akan berpulang pada generasi cicit dari cicit kita yang akan datang.

Selamat berakhir pekan!