TERASLAMPUNG.COM — Ketua Setara Institute Hendardi menduga aktor utama atau master main dari aksi 21-22 Mei 2019 lalu adalah pensiunan tentara dan kelompok radikal. Menurut Hendardi, kedua kelompok utama ini hanya menunggangi Pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
“Aktor utamanya atau mastermind aksi 21-22 Mei 2019 hanya ada dua kemungkinan; pensiunan tentara dan jaringan kelompok radikal, yang pada dasarnya simpatisan dan pendukung yang menunggangi paslon 02, untuk kepentingan politik mereka masing-masing. Kalau preman-preman bayaran itu pion saja, hanya dipakai untuk kepentingan mereka,” ujar Hendardi di Jakarta, Jumat (31/5/2019).
Mantan Direktur PBHI itu menilai Prabowo sebenarnya tidak bisa dikatakan mampu mengendalikan aksi-aksi yang dirancang dua aktor utama aksi tersebut. Bahkan, menurut dia, tidak ada faktor yang bisa menghentikan atau mengendalikan aksi-aksi mereka
“Karena mereka pada dasarnya punya agenda masing-masing. Prabowo juga tidak. Di tengah-tengah kelompok itu, Prabowo bukan solidarity maker. Prabowo adalah figur elite yang juga sesungguhnya ‘dipionkan’ sebagai simbol oleh mereka, bahwa ini seakan-akan kontestasi elektoral dalam kerangka demokrasi,” terang dia.
Hendardi mengakui bahwa skenario terbesar di balik aksi-aksi para perusuh pada 21-22 Mei lalu adalah memaksakan kemenangan Paslon Prabowo-Sandi, melalui dua saluran utama. Pertama, kata dia, pseudo-yuridis, dengan memaksakan kehendak kepada Bawaslu untuk mendiskualifikasi Paslon Jokowi-Ma’ruf.
“Kedua, politik jalanan dan inkonstitusional. Mereka memaksakan tindakan rusuh dengan berharap ini akan melahirkan efek domino politik seperti di Suriah. Ada martir yang dikorbankan, harapannya memicu instabilitas politik skala besar, dan diharapkan presiden tidak bisa mengendalikan situasi,” ungkap dia.
Kekhawatiran akan meningkatnya ekskalasi jelang sidang Mahkamah Konstitusi, lanjut Hendardi sesungguhnya sudah bisa dIantisipasi oleh aparat TNI dan Polri. Hal ini, kata dia, terlihat dari narasi aksi-aksi dari dua kelompok ini tidak akan banyak berubah dari sebelum mereka memutuskan ke Mahkamah Konstitusi.
“Begitu juga tujuan politiknya. Kelompok-kelompok itu pun demikian. Tapi situasinya sekarang akan berbeda. Banyak pihak sudah membedah serta menyesalkan terjadinya rusuh 21 dan 22 Mei itu. Aksi dua hari itu gagal total, tidak rapi, dan terlalu telanjang. Kedaulatan rakyat hanya dijadikan mainan label mereka saja. Di samping itu, aparat keamanan jauh lebih siap. Dua hari itu aparat menangani dengan baik, dan ke depan pengendalian sidang di Mahkamah Konstitusi pastinya lebih baik lagi,” pungkas Hendardi.