Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Saat melakukan perjalanan menjelajah jalan tol Sumatera Selatan, untuk mengisi kekosongan diskusilah dengan teman hidup yang setia mendampingi. Topik berubah sesuai dengan arah mata hati. Dan ‘senggolan’ masuk ke pembicaraan pendidikan orang tua masa lalu. Salah satu penggalannya adalah berikut ini:
Pada waktu sekolah rakyat zaman dahulu di sekitar pertengahan tahun enampuluhan, penulis mempunyai guru mata pelajaran berhitung yang sangat teliti. Beliau mengatakan jika pelajaran itu bisa jalannya benar, tetapi haasilnya salah.
Bisa jadi jalannya salah, hasilnya benar. Tetapi beliau tidak mau tahu, harus jalannya benar baru hasilnya benar. Buku berhitung yang berjudul Kunci Siap Ujian (penernit Djambatan,1959) itu, beliau sangat ngelotok kering setiap halaman dengan rumus-rumusnya. Menjadi ingatan kami satu kelas, jika salah mengerjakan satu soal, maka harus bersiap setor telapak tangan dan mendapat pukulan rotan satu kali. Tetapi kami bahagia dan tetap semangat mengerjakan hitungan, dan kami sedih jika beliau berhalangan hadir karena sakit.
Beberapa puluh tahun kemudian penulis baru menyadari bahwa apa yang diletakkan dasar filosofi beliau benar adanya. Bagaimana sekarang banyak kehidupan yang berjalan seperti apa yang diajarkan dalam Ilmu Berhitung. Banyak jalan sesat dilalui walaupun hasilnya “tampak” benar. Sementara hasilnya salah, walau jalannya benar, juga ada dalam kehidupan ini. Harapan, jalannya salah hasilnya salah, dan jalannya benar hasilnya benar; seolah saat ini sudah menjadi barang langka.
Kemampuan imajinatif personal lebih diarahkan kepada hasil, bukan kepada proses; oleh sebab itu pelanggaran normatif seolah dijadikan pelanggaran teknis. Sementara pelanggaran teknis dijadikan kewajaran, dan bisa diatur sedemikian rupa agar tampak biasa. Bisa dibayangkan hukuman 20 tahun penjara ditimpakan kepada seseorang yang belum cukup bukti melakukan pembunuhan berencana. Menjadikan ingatan melayang kepada kasus “Sengkon dan Karta” beberapa puluh tahun lalu.
Kasus-kasus yang menimpa orang-orang kecil, seolah hilang ditelan bumi, karena tidak se-seksi kasus Mahkamah Konstitusi. Tidak sehebat bicara tentang jabatan presiden, tidak semenarik kursi parlemen. Saat ini waktu membuktikan, kehebohan akar rumput tidak akan menggoyangkan dahan pohon di atasnya.
Untuk mengejar pembayar pajak harus sampai dihalaman stasiun penjualan bahan bakar, tidak sadar bahwa drama koruptor pajak sudah melukai hati rakyat. lebih miris lagi jika speda motor butut rakyat yang berharga tidak seberapa, jika dijual untuk membayar pajaknya-pun tidak cukup; tega harus dikorbankan.
Sementara Robicon yang harganya milyaran milik pegawai pajak yang tidak bayar pajak dibiarkan mengaspal di jalan licin. Rakyat bukan tidak taat bayar pajak, tetapi untuk makan dalam situasi sulit karena kemarau yang berkepanjangan, harus berada pada posisi sulit dalam memilih. Untung masih ada Anggota Legeslaatif yang waras mau berteriak menyampaikan inspirasi rakyat, dan program kejar setoran bisa ditunda pelaksanaannya.
Kemerdekaan ternyata baru dimaknai sebagai keharusan melaksanakan kuwajiban, belum pada tataran pemenuhan akan hak-hak secara baik dan benar. Padahal pembelajaran sudah diajarkan dari awal bahwa Hak dan Kuwajiban itu adalah dua sisi matauang yang saling melengkapi dan meneguhkan masing-masing kebermaknaannya. Kita tidak bisa hanya menuntut kuwajiban tanpa harus memenuhi hak. Demikian juga kita tidak bisa hanya memberikan hak tanpa juga meminta untuk melaksanakan kuwajiban. Semoga kita masih bisa berpikir waras sehingga bisa mendudukkan benar dan salah pada tempatnya.
Salam waras.