Bisnis  

“Showroom Sapi” di Lampung Tengah, Sukses karena Kemitraan

Parjono dan 'show room' sapi miliknya (teraslampung/oyosshn)
Parjono dan 'show room' sapi miliknya (teraslampung/oyosshn)
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Tidak tampak rumah bedeng ukuran kecil beratap asbes atau seng seperti halnya  sering kita jumpai di daerah transmigrasi di Indonesia. Di sebelah kiri dan kanan jalan beraspal mulus yang membelah Desa Astomulyoyang tampak adalah rumah-rumah bagus berukuran besar, berasitektur modern,  dengan halaman yang rata-rata luas. Itu bukanlah deretan rumah pengusaha besar atau rumah pejabat daerah. Rumah-rumah bagus itu adalah rumah warga Desa Astomulyo, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah, yang sehari-hari berprofesi sebagai peternak sapi.

Beternak sapi memang sudah menjadi kebiasaan warga Astomulyo sejak nenek moyang mereka datang dari Pulau Jawa dan Bali pada awal tahun 1900-an. Yaitu saat para perintis Desa Astomulyo datang ke Lampung ikut program kolonisasi (transmigrasi) pada zaman penjajahan Belanda.

Selama pemerintahan Orde Baru, Desa Astomulyo pun sudah dikenal sebagai daerah penghasil sapi di Lampung. Namun, kala itu cara pemeliharaan sapi masih konvensional, yaitu dengan menggembalakan sapi di lapangan. Pasokan makanan tambahan didapatkan dengan cara mengarit atau mencari rumput.

Dengan pola pemeliharaan yang konvensional seperti itu, penghasilan para peternak menjadi terbatas. Sebab, sapi potong yang mereka gemukkan tidak mencapai bobot yang maksimal pada saat hendak dijual.

Sejak tahun 2001 pola konvensional itu sudah mulai ditinggalkan. Sejak itu para peternak sapi di Desa Astomulyo bermitra dengan PT Great Giant Livestock (GGL) yang kala itu sedang memperkenalkan Pola Inti Rakyat (PIR). PT GGL merupakan salah satu perusahaan penggemukan sapi  terbesar di Lampung, dengan kapasitas kandang sebanyak 30 ribu ekor. Sapi-sapi yang digemukkan PT GGL sebagian besar diimpor dari Australia.

Ada ratusan peternak sapi anggota Kelompok Peternak Sapi yang menjalin kerjasama PIR dengan PT GGL. Kini, setelah 11 tahun bermitra dengan PT GGL, sebagian besar peternak sapi di Desa Astomulyo yang sukses dan hidup makmur.

Mereka tidak lagi menjadi peternak tradisional, tetapi peternak modern dengan penghasilan yang lumayan besar. Desa Astomulyo yang dulu mengandalkan tanaman padi kini sudah berubah menjadi ‘show room sapi’. ‘Show room sapi’ itu terletak di halaman belakang rumah-rumah penduduk.

Selain sapi potong, warga Astomulyo juga memelihara sapi bibit. Menjelang Hari Raya Idul Adha, Desa Astomulyo pun selalu ramai karena banyak calon pembeli sapi untuk dipotong dalam acara Idul Adha. Para peternak dari daerah lain yang ingin mencari sapi bibit, banyak yang membeli di Desa Astomulyo.

Parjono, 44, Ketua Kelompok Peternak Sapi Limousine, mengatakan pada tahap awal program kemitraan berjalan, tiap kelompok peternak sapi mendapatkan 9 ekor sapi jenis Brahman Cross.
Sapi itu dibeli kelompok peternak dari PT GGL. Setelah digemukkan selama 3 bulan, sapi itu dijual lagi ke PT GGL dengan harga jual sesuai dengan harga pasar.

Melalui kemitraan, peternak menerapkan pola budidaya semi intensif. Peternak yang mendapat sapi bakalan dari inti tinggal memberikan pakan konsentrat, kulit nanas yang sudah difermentasi, dan obat-obatan yang juga sudah dijamin penyediaannya oleh PT GGL sebagai inti. Selaku plasma, peternak menanam rumput gajah.

GGL  menerapkan subsidi pada harga pakan konsentrat sehingga harganya terjangkau oleh plasma. Harga konsentrat Rp1.000/kg, dan kulit nenas Rp60—R65/kg. Dengan harga pakan murah, dari seekor sapi, peternak masih memperoleh keuntungan setelah dipotong harga sapi bakalan, pakan/konsentrat, dan obat-obatan.

Pelan dan pasti, pola kemitraan itu telah bisa mewujudkan mimpi para warga Astomulyo untuk memiliki ‘showroom’ sapi. Termasuk mimpi Parjono.

“Kini para peternak yang mulai bermitra sejak 10-an tahun lalu sudah tak ada lagi yang punya hutang di bank.  Mereka sudah memiliki sapi belasan hingga puluhan ekor per orang. Selain diinvestasikan untuk menambah sapi peliharaan, para peternak juga menginvestasikan keuntungan beternak sapi dengan membeli sawah, kebun sawit, kebun karet, dan rumah toko,” kata Parjono.

Menurut Parjono dengan mengikuti program  mengembangkan usaha, selain ada jaminan mendapatkan pasokan pakan berkualitas dengan harga murah, keuntungannya pun jauh lebih besar dibanding dengan pemeliharaan sapi dengan pola tradisional yang dikerjakan sendiri.

“Dengan ikut kemitraan, saya bisa memelihara ratusan sapi tanpa harus saya gembalakan,” kata Parjono.

Mukhsin, 45, salah satu anggota Kelompok Peternask Sapi Limousine, mengaku meskipun secara pribadi belum pernah mendapatkan dana dari bank tetapi karena menjadi anggota Kelompok Peternak Sapi akhirnya bisa meningkatkan produktivitas sapi peliharaannya.

Ketika mulai memilahara sapi pada 1991 Mukhsin punya 3 ekor sapi. Kini jumlah sapi Mukhsin mencapai 50 ekor. Selain bisa menyekolahkan dua anaknya di perguruan tinggi di Yogyakarta, Mukhsin juga bisa membeli 4 hektare kebun sawit dan 2,5 hektar sawah.

Parjono mengaku dulu ketika para peternak menggemukkan sapi sendiri-sendiri dengan pemeliharaan tradisional selama 3 bulan, keuntungan peternak dari seekor sapi potong yang di bawah Rp 500 ribu. Kini, keuntungan rata-rata dari tiap ekor sapi Rp 1 juta.

“Itu karena para peternak sekarang menggemukkan sapi dengan pasokan pakan yang berkualitas. Peningkatan bobot sapi harian rata-rata (average daily gain-ADG) 1,5 kg. Sapi yang bobot awalnya rata-rata 350 kg setelah dipeliara 3 bulan menjadi  berbobot 435 kg hingga 440 kg,” kata Parjono.

Oyos Saroso HN