Cerpen Cindy Pitaloka
“Acha, sakit ayahmu kambuh lagi!”
Seruan itu benar-benar masih terngiang di kepalaku. Aku sama sekali tak percaya mendengar kabar buruk itu. Mengingat badan Ayah yang kekar dan berotot, rasanya sangat tak mungkin untuk sakit. Pagi-pagi sekali, Mbak Siti mengantarku ke stasiun kereta, menyuruhku untuk pulang dan segera menemui Ayah.
Awan mendung ikut menghantarku, sementara matahari pagi mulai memancarkan sinarnya. Pandanganku tak tentu arah, terkadang pada angin yang tertawa, atau pada debu yang bersedih. Rasanya, baru kemarin ayah mendaftarkanku sekolah, mengantarku sampai di pintu kelas, seraya berkata, “Belajar yang benar ya, Nak!”
Rasanya, baru kemarin Ayah mengajariku cara menulis. Juga cara berhitung. Tak kenal lelah dan tak pernah marah akan kebodohanku.
Rasanya, baru kemarin Ayah mengambil raporku. Memarahiku jika mendapat nilai rendah atau memberiku selembar uang sepuluh ribu rupiah jika nilaiku tinggi.
Aku merasa beruntung memiliki sosok berambut hitam legam itu, dia baik dan amat pengertian. Aku selalu berharap, bahwa Ayah akan tetap menjadi ayah, ayah yang sayang padaku dan tak pernah meninggalkanku. Tapi mana mungkin semua itu, bukankah umur setiap tahun semakin bertambah?
Aku selalu membanggakan Ayah, tiap detik selalu kugunakan untuk membanggakan sosok pecandu kopi hitam itu. Pernah sekali, saat guruku memberi tugas menceritakan idola, betapa bangganya aku menceritakan sosok ayahku. Teman-temanku tertawa, tertawa melihat wajah ayah yang kugambar dengan kumis tebal diatas bibirnya, tapi tidak denganku! Karena aku tahu, ayahku adalah ayahku.
Ayah bekerja sebagai badut keliling. Sudah sepuluh tahun Ayah melakukan pekerjaan mulia itu. Semenjak kepergian Ibu, Ayah memilih menjadi seorang badut keliling. Alasannya hanya satu, ayah ingin membahagiakan ibu. Dahulu, ibu sangat suka dengan badut, bahkan setelah menikah, ibu selalu pergi ke taman hanya sekedar untuk melihat badut.
Lima tahun yang lalu, Ayah menguliahkanku ke kampus ternama di tengah kota. Sebenarnya, aku sangat tidak setuju dengan keputusan Ayah. Itu karena Ayah yang sudah tua, dan mulai sakit-sakitan membuatku berat untuk meninggalkan Ayah sendiri.
“Pergilah, Acha! Ayah bisa mengurus diri di sini!”
Hanya itu yang masih melekat dikepalaku. Kata-katanya yang sangat lembut membuatku berat untuk menolak keputusan ayah. Setelah berpamitan, aku pergi mencari ilmu dengan kegelisahan di hati.
***
Waktu terus berjalan, hingga saat rasa rinduku meluap-luap, aku pergi menemui Ayah. Keadaan Ayah masih sama, hanya saja rambut hitamnya sudah mulai memutih.
Ayah begitu senang mendengar kedatanganku. Dengan langkah tergopoh-gopoh dan air mata rindu yang mengalir dia berlari ke arahku. Kukira, begitu ayah berhadapan denganku, ia akan langsung memelukku erat. Tapi tidak, Ayah menghentikan langkahnya. Ayah menatapku dengan tatapan tajamnya, tangannya mengepal kuat, seperti orang yang terbakar amarah.
Ayah marah, mengeluarkan banyak nasihat padaku. Semuanya ayah komentari, terutama cara berpenampilanku. Mata tajamnya serasa menusuk hatiku, rasanya jika aku tidak punya otak, aku akan membalasnya dengan tatapan sinis.
“Acha! Meskipun kamu tinggal di kota, kamu jangan mengikuti budaya sana, Nak!” teriak ayah mengomentariku.
Di depan rumah, kami bertengkar, membiarkan seluruh pasang mata menatap kami penasaran. Suaraku bergetar saat berkata-kata dengannya.
“Seharusnya ayah bangga sama Acha! Acha bisa mengikuti budaya di sana! Jika Acha tidak mengikutinya, apa ayah bisa jamin kesuksesan Acha? Acha ingin jadi orang sukses yang tinggal di tengah kota, Yah,” Aku menghela napasku.
“Acha tidak ingin seperti ayah! Lihat, ibu meninggal karena Ayah. Ayah nggak bisa bawa ibu kerumah sakit karena ayah nggak punya uang ‘kan! Acha tanya, apa kerja ayah saat itu?”
Air mata ayah mengalir. Begitu pun dengan air mataku. Aku tahu, kata-kataku sudah menggores hati Ayah, tapi perkataan Ayah pun telah menggores hatiku. Aku yang merasa belum puas dengan pembelaanku kembali menyayat hati Ayah.
“Merokok dan ngopi saja yang ayah tahu!”
Aku berlari menjauh dari ayah dan kerumunan pasang mata, masuk dalam rumah dan membanting pintu kamarku. Aku menangis semalaman, hatiku merasa lega mengatakan hal yang seharusnya didengar Ayah, tidak ada penyesalan saat itu. Aku merasa bebas saat mengatakan semua tentang Ayah.
Pagi-pagi sekali, kulihat Ayah sedang membakar tumpukan rokok dan bungkus kopi. Entah apa tujuannya. Dengan langkah gontai, kulewati Ayah dengan tas koper di tanganku. Tanpa memperdulikan teriakan ayah, aku pergi, menjauh dari geribik yang dulu sempat kuanggap istana.
Kini baru kusadari semua itu salah. Dalam kereta yang mengantarku menemui Ayah, gambaran pertengkaran kami masih tergambar jelas. Sekarang aku menyesal karena telah mengatakan hal buruk tentang ayah.
Tidak seharusnya ayah mendengar perkataan kasarku, apalagi setelah mendengar itu Ayah menderita sakit parah. Aku masih tak perduli, rasa khawatirku serasa terpendam oleh egoku, aku kembali melanjutkan pendidikanku, meraih gelar sarjana tanpa ada si pecandu kopi hitam.
***
“Mbak nggak turun?”
Suara petugas kereta menyadarkanku dari lamunan. Dengan senyum tipis dibibir, aku melangkah keluar kereta. Angin malam menusuk tiap lapisan kulitku, jalan raya hampir sepi, hanya ada pedagang yang bersiap menutup tokonya, atau bahkan jeritan orang yang kehilangan asa ditengah jalan. Aku tak memperdulikan mereka, yang aku perdulikan saat ini adalah ayah.
Langkahku terhenti pada sebuah geribik diujung kampung, kalau saja ada angin besar, dapat kuyakini bahwa geribik kecil ini akan roboh.
“Acha! Kamu sudah sampai?”
Aku menolehkan kepalaku setelah beberapa saat menunduk. Kulihat Mbak Ayu dengan senyum merekah di ujung bibirnya.
“Ayo masuk!”
Aku membalas dengan senyuman. Kubuka pintu kamar Ayah. Suara derit engsel berkarat terdengar. Aku menangis melihat ayah terbaring lemah di kasur reyotnya.
Tangan kurusnya mengajakku mendekat. Dengan sisa tenaga yang sejak tadi terkuras, aku mendekati ayah. Tanganku merayapi wajahnya, banyak guratan-guratan usia di sana. Ayah semakin tua.
“Apa kabarmu, Cha?” tanya Ayah dengan suara yang nyaris berupa bisikan.
“Baik, Ayah. Ayah sendiri?” Aku terlihat bodoh menanyakan hal ini, tapi semua ini kulakukan demi menutupi kecanggunganku.
Ayah tertawa lirih, kemudian menarik selembar kertas di atas meja nakasnya, “Ini!”
“Untuk apa, Ayah?”
Ayah tak menjawab. Kulihat pelan-pelan mata ayah terpejam. Pada detik ke sekian, kelopak mata Ayah benar-benar tertutup. Senyumnya perlahan memudar.
Kupeluk tubuh ringkih ayah sambil menggenggam tangan Ayah. Tetapi tidak ada reaksi. Ayah hanya diam. Aku pun kaget bukan kepalang ketika kusentuh nadinya sudah tidak ada detak.
Jutaan anak panah rasanya menancap di punggungku ketika mendapati kenyataan jantung Ayah tidak berdetak. Aku ingin berteriak keras-keras,tapi mulutku terasa terkunci. Tenggorokan terasa tercekik. Semua tulang belulangku terasa dilolosi sungsumnya.
***
Sia-sia para tetangga mencoba menghiburku. Sudah hampir satu minggu aku menangisi kepergian ayah. Aku menyesali diriku sendiri, kalau saja— ah… tak baik mengingat-ingat masa lalu. Aku meraih kertas dari Ayah, membukanya dan membaca sebuah surat dari sana.
Aku begitu terkejut. Air mataku mulai mengalir. Tak kusangka, bahwa selama ini Ayah yang cuma bekerja sebagai badut telah menyiapkan sebuah rumah untukku.
Aku kembali menyesali tiap perkataanku. Aku menyesali semua tentang hidupku. ***
*Cindy Pitaloka adalah siswa Kelas XI SMAN 7 Bandarlampung, peserta program Pelatihan Menulis Puisi dan Prosa Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) Provinsi Lampung 2017.