Sidang Perusakan Alat Peraga, Tiga Mahasiswa Unila Tidak Tahu Masa Pilkada

Bagikan/Suka/Tweet:

Zainal Asikin/Teraslampung.com

Ketiga terdakwa mahasiswa Unila perusak alat peraga kampanye (APK) saat jalani persidangan di Pengadilan Negeri, Tanjungkarang, Selasa (3/11) sore.

BANDARLAMPUNG – Ketiga terdakwa perkara pengrusakan Alat Peraga Kampanye (APK), Ditho Nugraha, Taufik Imam Ashari dan Nuri Widiantoro ketiganya mahasiswa jurusan Administrasi Negara (Fisip) Universitas Lampung (Unila) mengaku tidak mengetahui jika mereka mencuri dan merusak APK merupakan masa kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Hal
itu menjadi alasan ketiga terdakwa, dalam menjawab perntanyaan hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Selasa (3/10).

Menurut ketiga terdakwa, pencopotan dua banner pasangan calon Walikota Bandarlampung itu digunakan untuk alas tidur dalam acara malam keakraban mahasiswa baru. Mereka mengaku tidak tahu bahwa mencopot APK itu dilarang dan melanggar hukum.

Dalam pencopotan tersebut, mereka menjelaskan, tidak mengetahui jika hal tersebut dilarang.

“Kami tidak tahu kalau sekarang adalah masa Pilkada, selain itu juga kami ngambil banner Idul Adha dan nggak tahu sekarang sedang tahap kampanye,” kata Ditho Nugraha saat menjawab pertanyaan hakim Nelson Panjaitan, Selasa (3/11).

Dia mengutarakan, inisitif dari panitia malam keakraban muncul untuk mengambil banner ketika seksi perlenngkapan pada acara tersebut, Taufik Imam mengatakan jika perlengkapan alas tidur kekurangan. Sehingga ketiga terdakwa mencari banner yang ada di pinggir jalan menggunakan mobil seniornya.

“Setelah itu kami pergi menuju Jalan Pramuka, disitu ketemu dua banner. Lalu Taufik dan Nuri menarik Banner itu dan memasukkannya ke dalam mobil. Kalau yang menunggu di mobil, itu Ditho. Setelah itu kami berjalan lagi, dan ketemu banner yang sudah di buang dan rusak, baru kami pulang,”ujarnya.

Saat perjalanan ke lokasi Makrab di Natar, Lampung Selatan, kata dia, ia kembali menemukan banner Idul Adha. Selang beberapa waktu, ketiganya kemudian ditangkap warga setempat yang juga menghakimi ketiga terdakwa.

“Saat dihakimi, kami langsung meminta perlindungan ke Polsek Natar, Lampung Selatan, tetapi kami malah diproses di Polsek. Namun kami tidak tahu fungsi banner di Jalan Pramuka itu di pasang dan untuk apa,”ungkapnya.

Sementara dari keterangan Taufik mengatakan, ketika mencopot dua banner tersebut, ia tidak sempat
membacanya dan tidak mengetahui jika banner yang terpasang itu untuk kepentingan proses Pilkada.

“Kami tidak tahu dan tidak membacanya apa yang ada di banner itu. Kami tahunya kalau sekarang masa Pilkada ketika sudah ditangkap dan diperiksa,”kata dia.

Hal tersebut membuat hakim Ahmad Suhel heran. Menurut Suhel, di banner tersebut telah tertulis dengan jelas jika banner tersebut adalah pasangan calon Walikota Bandarlampung.

“Dari banner itu saja kan sudah jelas, tertulis dengan huruf yang besar Calon Walikota dan Wakilnya seharusnya kalian itu membacanya,” kata hakim dalam persidangan.

Sebelumnya mendengarkan keterangan terdakwa tersebut, persidangan didahului dengan pembacaan dakwaan oleh jaksa, Rama Erfan, Tri Wahyu Agus Pratekta, dan Adi Wibowo. Dalam sidang yang sempat di skor selama tiga jam itu, jaksa menjelaskan terdakwa sekitar pukul 02.00 WIB Sabtu (3/10) lalu melaksanakan malam keakraban mahasiswa. Kemudian ketiga terdakwa bersepakat mengambil alata peraga kampanye (APK).

Ketiga terdakwa berjalan menggunakan mobil Xenia, lalu terdakwa berhenti di Jalan ZA Pagar Alam, Pramuka melihat dua banner pasangan nomor urut 1 dan 2 yang terpasang di tembok. Melihat banner itu, Taufik dan Nuri menarik banner tersebut.

Namun ketiga perjalanan pulang, terdakwa diberhentikan oleh warga yang melihat perbuatan ketiganya. Sehingga, warga membawa ketiganya ke Mapolsek Natar untuk dilakukan pemeriksaan.

Atas perbuatannya itu, ketiga terdakwa terkena ancaman dalam Pasal 69 huruf g UU No.8 Tahun 2015 Jo Pasal 187 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.

Terdakwa yang didampingi penasehat hukumnya, Wahrul Fauzi, Hanafi Sampurna dan Chandra itu kemudian dilanjutkan ke dalam pemeriksaan saksi. Jaksa menghadirkan empat orang saksi, yakni Veri dari KPU, Ali Yusuf dari PPK, PPS Rajabasa, dan Nur Rahman dari Divisi Pencegahan.

Dalam persidangan, Nur Rahman menjelaskan, hingga saat ini APK yang mengalami kerusakan dan hilang dari lokasi pemasangan ada sekitar 200 lembar APK dan hanya tiga terdakwa tersebut yang di proses.

“Tiap Kecamatan itu, ada 20 APK yang terpasang dan ada 200 yang hilang dan rusak. Tetapi tidak ada pelaku perusak APK yang tertangkap,”ujarnya.

Pengacara terdakwa, Hanafi Sampurna,  menjelaskan, pencopotan APK tersebut bukan didasari kepentingan politik, karena tidak ada perintah dan paksaan dari pihak manapun.

“Pencopotan APK ketiga mahasiswa itu bukan didasari kepentingan politik, sudah dipastikan terkait pencopoton APK tidak akan mengganggu tahapan Pilkada di Kota Tapis Berseri,”jelasnya.