Sidang Sengketa Pilpres di MK: Prabowo-Hatta Raja Klaim Menang dengan 67 Juta Suara

Bagikan/Suka/Tweet:

Bambang Satriaji/Teraslampung.com

Prabowo dan Hatta Rajasa didampingi kuasa hukumnya dalam sidang di MK, Rabu, 6 Agustus 2014. (dok MK)

JAKARTA — Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) nomor urut 1 Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa menilai hasil rekapitulasi suara yang disahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu pada 22 Juli lalu tidak benar. Yang benar, menurut tim hukum Prabowo-Hatta Rajasa, pasangan nomor urut 1 memenangkan Pilpres dengan meraup suara sebanyak 67.139.153 suara. Sedangkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla hanya memperoleh 66.435.124 suara.

“Kami akan membuktikannya dengan seluruh formulir C-1 yang kami miliki sekitar 52.000 TPS, yang kami peroleh sesuai aturan hukum dan etika berdemokrasi,” kata kuasa hukum Prabowo-Hatta, Maqdir Ismail, dalam sidang sengketa Pillres 2014 di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (6/8).

Sebagaimana diketahui, pada 22 Juli 2014 lalu KPU sebagai termohon dalam perkara ini telah menetapkan pasangan nomor urut 2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pasangan capres dan wapres terpilih dalam Pilpres 2014.

Berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional, Jokowi-Kalla unggul dengan 70.997.883 suara atau 53,15 persen, sedangkan Prabowo-Hatta memperoleh 62.576.444 suara atau 44,85 persen.

Maqdir mengatakan, berdasarkan hasil rekapitulasi formulir DA-1 dan DB-1 di seluruh provinsi dan kabupaten/kota, terdapat penggelembungan suara untuk pasangan nomor urut 2 sebanyak 1,5 juta dan pengurangan suara Pemohon sejumlah 1,2 juta suara yang terdapat di 155.000 TPS.

Menurut Maqdir, KPU sebagai termohon telah melakukan penggelembungan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). “Menurut data Pemohon, KPU telah empat kali melakukan perubahan jumlah DPT melalui keputusan KPU pada 15 Februari 2014, 28 Maret 2014, 13 Juni 2014, dan 9 Juli 2014,” kata dia.

Dari keputusan KPU tersebut, kata Maqdir, penambahan DPT sejak 15 Februari 2014 sampai 9 Juli 2014 berjumlah sebanyak 6.019.266. “Hal ini melampaui tingkat pertumbuhan penduduk per tahun yang wajar. Adapun pertambahan jumlah DPT yang sangat spektakuler terjadi antara 13 Juni sampai 9 Juli 2014, yaitu sebesar 3.573. 310,” ujarnya.

Kejanggalan lain yang dipersoalkan adalah adanya mobilisasi pemilih yang besar. Hal ini dibuktikan dengan jumlah seluruh pengguna hak pilih tidak sama dengan jumlah surat suara yang digunakan yang terjadi di 422 kabupaten/kota, 4063 kecamatan, 10.617 kelurahan, dan 18.670 TPS. Kedua, jumlah surat suara yang digunakan tidak sama dengan jumlah surat suara sah dan tidak sah, hal ini terjadi 202 kabupaten/kota, 560 kecamatan, 921 kelurahan, dan di 1.286 TPS.

“Pengguna hak pilih dalam daftar pemilih khusus tambahan (DPKTB), pengguna KTP atau identitas lain atau paspor tambahan, atau paspor lebih besar dari daftar pemilih khusus tambahan yang terjadi di 466 kabupaten/kota, 3.750 kecamatan, 10.276 kelurahan, dan di 20.288 TPS,” urainya.
Kurang Bukti-Bukti

Dalam persidangan tersebut Hakim Konstitusi, Ahmad Fadlil Sumadi, menyarankan Pemohon untuk menguatkan dalil-dalilnya dengan melampirkan nomor bukti yang diajukan dan nama saksinya. Senada, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati pun menyarankan hal yang sama.

“Untuk memudahkan pemeriksaan antara dalil dan bukti yang diajukan, mohon dituliskan dalam dalilnya bukti nomor berapa dan kalau ada saksi dicantumkan namanya,” kata dia.

Sementara Hakim Konstitusi Aswanto meminta Pemohon untuk memberikan argumen konkret terkait adanya kecurangan penyelenggaraan Pilpres yang terstruktur, sistematis, dan masif.

“Contohnya, dalil yang menguraikan bahwa ada indikasi money politic. Anda berbicara indikasi, padahal di petitum anda minta putusan yang konkret,” katanya.

Adapun Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengingatkan para pihak, baik Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait untuk melengkapi tanda tangan kuasa hukumnya.

“Untuk Pemohon ada 31 kuasa yang belum menandatangani, surat kuasa untuk KPU juga satu orang belum tanda tangan, dan Pihak Terkait juga ada 36 kuasa yang belum. Kalau tidak ditandatangani, lebih baik (nama kuasa hukumnya) dibuang saja,” imbaunya.