Ahmad Yulden Erwin
Dua belas tahun lalu, saya diundang datang ke negeri yang amat saya benci—sendirian saja. Saya dianggap sebagai calon pemimpin masa depan (wah!) dan amat perlu “belajar” bagaimana penegakan hukum “yang benar” dalam konteks pemberantasan korupsi di negeri adikuasa yang mengundang saya itu. Saya ingat, ketika saya membaca surat undangan yang ditandatangani oleh duta besar negara itu saya pun tertawa dalam hati.
Sendirian berangkat (merasa benar-benar jadi orang asing dalam pesawat Southwest Airlines), melintas di atas samudera Pasifik selama hampir 22 jam, transit semalam di bandara internasional San Fransisco; barulah besok siangnya saya tiba di DC, ibu kota negara itu. Saya menyusuri trotoarnya yang basah untuk pertama kali—hal yang bahkan tak pernah sekali pun hadir dalam mimpi-mimpi silam saya—tetap dengan rasa benci yang kukuh. Di dalam hati terus membara niat bahwa saya tidak datang untuk menikmati, saya hanya datang untuk tahu bagaimana “realitas” sebuah negara adikuasa bisa terus bungkam dan membiarkan dua juta penduduk suatu negeri yang jauh, negeri tempat sekian generasi keluarga saya tinggal, dibantai atas nama demokrasi. Saya meludah, sekali saja, saat kaki saya pertama kali melangkah di trotoar ibu kota negara itu.
Sekian minggu berlalu terasa seperti kilat pada senja berhujan, saya akhirnya tiba di bagian tengah negeri itu, sebuah kota dari butiran salju: Omaha. Setelah pertemuan terjadwal dengan para aktivis organisasi masyarakat sipil yang tengah menggalang dana bagi penderita sakit jantung, setelah menyaksikan dari balkon berkaca satu rapat paripurna parlemen lokal untuk memutuskan bill—semacam peraturan daerah bila di Indonesia—tentang trotoar khusus bagi penyandang cacat, setelah menghadiri kampanye seorang calon walikota di sebuah gereja yang kemudian dIprotes oleh seorang jemaat gereja tersebut dengan pertanyaan: “Apa alasan Anda merasa berhak melakukan kampanye politik di mimbar suci tempat pendeta berkhotbah?”, setelah makan siang di sebuah restoran kecil di tepi sungai Mississippi dengan menu fried catfish segemuk lingkar lengan orang dewasa, akhirnya, saya bisa menghadiri sebuah acara peluncuran buku puisi dari seorang penyair “slam” di sebuah kafe yang sepi.
Dalam satu majalah lokal, saya membaca artikel tentang acara peluncuran buku puisi itu. Saya akhirnya tahu bahwa puisi slam adalah semacam gerakan puisi protes—melanjutkan tradisi puisi beat pada tahun 60-an—di Amerika Serikat. Para penyair slam biasa mengorasikan puisi-puisinya di panggung-panggung terbuka acara sastra, di kafe-kafe, di taman-taman publik. Mereka membaca puisi seolah ingin menembus suasana penyap dan bungkam setelah “revolusi” generasi bunga tahun 60-an menjadi sedingin salju.
Peluncuran buku puisi yang diadakan di kafe itu terasa biasa saja, bahkan sedikit membosankan bagi saya. Di atas panggung kecil saya lihat penyairnya, seorang lelaki jangkung yang kala itu saya duga seumur saya, seorang dosen sastra di Omaha, dengan gaya orator membacakan puisi-puisi protesnya dalam satu kumpulan puisi yang baru saja ia luncurkan. Saya sedikit kecewa dengan pembacaan puisinya, sebab saya ingat betapa berdenyut jantung saya tatkala menyaksikan Rendra membacakan puisi terkenalnya, “Blues untuk Bonnie”, dengan teknik vokal dan gestur teaterikal yang memesona: “Beatsy, Beatsy, di manakah engkau, Betsy?”
Usai acara pembacaan puisi, saya pun berkenalan dengan sang penyair yang, dari satu artikel majalah lokal, saya tahu adalah pelopor slam poetry di negara bagian Nebraska. Setelah basa-basi perkenalan yang singkat, saya ditanya olehnya bagaimana kesan saya setelah berkeliling beberapa negara bagian di AS. Saya tersenyum dan menjawab: “Biasa saja. Saya bertemu dengan sekian banyak orang, dan saya tahu mereka adalah manusia, sama seperti saya.”
Ia nampak sedikit terkejut mendengar jawaban saya itu sebelum akhirnya ia tersenyum dan bertanya pelan: “Apakah Anda seorang penyair?” Saya tertawa. Lalu kami pun terlibat pembicaraan akrab yang lebih tentang puisi, khususnya tentang slam poetry, tentang revolusi yang telah tak ada lagi, tentang suasana kepenyairan pada era puisi beat—yang ia rindukan, tetapi juga telah tak ada lagi. Sebelum saya kembali ke hotel, ia memberi saya dua kumpulan puisinya yang telah terbit. Saya mengucapkan terima kasih dan ia menatap mata saya, lama.
“Maafkan kami…” katanya lirih.
Saya tak mengerti dan spontan berkata, “Atas apa? Saya justru berterima kasih telah diundang dalam acara peluncuran buku puisi ini.”
“Atas tragedi pembantaian…. tiga puluh sembilan tahun lalu, di negeri Anda.”
Saya tercekat.
“Anda tahu maksud saya. Sebagai seorang aktivis dan penyair, saya yakin Anda tahu maksud saya,” katanya lagi.
Saya mengangguk. Mata saya berkaca-kaca. Inilah saya dengar kali pertama seseorang secara langsung meminta maaf atas tragedi pembantaian itu, tidak oleh para penguasa di negeri saya, tetapi oleh seorang penyair di negeri yang bertahun amat saya benci.
Beberapa waktu lalu saya membaca sepotong kalimat pada teks berjalan di layar satu televisi swasta bahwa Presiden Jokowi tak akan meminta maaf kepada PKI, kepada keluarga korban pembantaian 65. Saya tersenyum dan mahfum, sangat mahfum, dan saya hanya mampu berkata, lirih saja, di dalam hati: “Benar, Tuan Presiden. Benar sekali. Revolusi memang telah tak ada lagi.”
Dan, pagi ini, saya hanya ingin membaca ulang, berkali-kali, satu puisi yang saya tulis beberapa tahun lalu dan saya persembahkan bagi seorang penyair slam bertubuh jangkung, Matt Mason, seorang penyair di negeri yang pernah amat saya benci:
SLAMP POETRY
Di sini, seseorang telah mencipta puisi dari serbuk
getah poppy. Ia mengira dirinya penyair terkutuk,
yang mangkir pada detik terakhir, dan terbatuk.
Di sini, seseorang mengukir dingin pada batu cincin
berkilat bagai sebiji mata kucing lilin; kenangan ini
menggigil dalam angin. Di sini, kepedihan tanpa kata
membangun kuil, tak lain bekas kafe yang sepi,
di Omaha: kota dari butiran salju. Penyair itu
menyapaku sebelum gugup mengutip selarik puisi
meluncur dari sela giginya yang patah, meski cuaca
nyaris tidak sedang bergairah. ‘Di sini, jelas tak ada
revolusi, tak ada lagi,’ katanya, ‘hanya sebait dharma
mematuk lidah Jack Kerouac.’ Lalu di tepi jalan sepi
ia ingat kisah seorang bapak membajak ladang jagung
dengan mesin beroda; dan mendadak seorang pemuda
terkantuk di pokok oak, bermimpi asap selinting ganja
memeluk patung ular—di Leningrad yang terbakar.
‘Kami membenci darah, tapi bukan sejarah,’ katanya.
Lalu ia menambahkan: ‘Begini kami sebut slam poetry.’
Di panggung mataku, seorang penyair membaca puisi,
begitu lirih, memendam selaung anarki di ufuk matanya
yang letih: ‘Di sini kami, tak lain, sebutir salju yang sedih.’
……………………………….
Dan kini, dalam nada dasar sebuah elegi, pelan-pelan saya pun mulai menyadari, bahwa mungkin takdir puisi pada abad ke-21 ini bukan untuk mengubah sejarah, tetapi untuk “membangunkan” manusia-manusia yang ada dalam dialektika sejarah itu dari setiap mimpi mesianiknya, dari setiap utopianisme. Atau, bila perihal begitu masih terlalu ideal, setidaknya sepotong puisi masih bisa menyentuh lubuk hati terdalam kita, lubuk hati yang tak hendak terpolusi oleh hiruk-pikuk sekian kepentingan politik sesaat dan hampa. Dan, rasa saya, itu cukup.
Puisi dan Prosa @ Ahmad Yulden Erwin, ditulis: 2012 – 2016