Isbedy Stiawan ZS
SLILIT mimpi masih tersisa di sela waktu pagi ini. Seperti sisa makanan di sela gigi–slilit–memang menjengkelkan. Rasanya ingin marah-marah, apalagi tersangkut di lubang gigi. Sakitnya tuh di sini, di dalam perihnya (bukan hati).
Begitulah slilit mimpi tersangkut di sela waktu. Mimpi politik, fitnah, dan politik bagi kue dan sembako.
Politik intimidasi. Ya, karena diintimidasi dengan ancaman tungku dan periuknya, kawan saya sampai sakit gigi. Tak mau lagi protes, melawan, membongkar kebobrokan sang Bos Politik.
Sungguh kawanku layanya anjing tersiram air amat dingin. Mengkerut. Tak sanggup menggonggong lagi.
Padahal sebelum rapat dimulai, ia paling nafsu untuk membongkar kebobrokan sang Bos Politik, dan siap mempermalukan di hadapan rakyat Negeri Politik Amburadul.
Dia siap menjadi tokoh utama, primadona, dalam rapat besar Negeri Politik Amburadul.
Tapi kenyataannya, tatkala rapat dimulai dia hanya satu sesi bicara. Itu pun amat hati-hati dan takut sekali. Seperti ada banyangan bakal dimutilasi jabatannya di Amtenar. Seakan sudah terbayang ia bakal dimutasi ke ujung berung; hanya ngurusi monyet, beruk, kodok, pacet. Belantara senyap dan anyep.
Itu masalahnya, kawan, kata temanku usai rapat. Dia takut. Sudah ada intimidasi dari sang Bos Politik.
Lalu kau simpan di mana keberanianmu, kegahahanmu seperti kaugemborkan dulu sebelum rapat?
Sekarang sudah berubah cuacanya. Ibarat musim, dulu musim panas kini penghujan.
“Jangan-jangan kaupun sudah disuap, atau dijanjikan jabatan?” selidikku.
Temanku hanya tersenyum. Seperti slilit atau taik gigi alias jigong, memang menjengkelkan.
Idealis itu, kata dia, seperti slilit. Boleh kapan pun ditanggalkan jika sudah tak membuatmu nikmat dan malah menyengserakanmu.
Begitu pula slilit mimpi. Lupakan. Jangan pernah berharap mendapat kebaikan atau manfaat dari sisa mimpi.
Slilit tetap kotoran. Buanglah… *