Opini  

Smart City Sebagai Parameter Menilai Kualitas Kota

I.B. Ilham Malik
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: IB Ilham Malik*

Bagi saya, konsep kota cerdas atau smart city sesungguhnya layak digunakan untuk menjadi parameter dalam menilai suatu kota telah memiliki pelayanan yang baik, kondisi yang baik, dan memberikan sarana prasarana kota yang baik. Namun, kota cerdas bukanlah menjadi tujuan. Kota cerdas hanyalah sebuah pijakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan pijakan yang disediakan oleh kota cerdas, maka kita diharapkan dapat mencapai tujuan yang lebih tinggi dari pembangunan dan manajemen perkotaan. Apa itu? Yaitu masyarakat yang bahagia dan semua kebutuhan masyarakat sebagai manusia kota dapat terpenuhi oleh seluruh sumber daya yang dimiliki oleh kota itu sendiri.

Setidaknya ada 10 karakteristik kota cerdas, yaitu: liveable, innovative, climate friendly, environmental,  economic, dynamic, sustainable, resource efficient, resilence, inclusive.

Masalahnya adalah: apakah keinginan mulia dari setiap pengelola kota untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat kota, memberikan pelayanan yang baik, serta menyediakan seluruh kebutuhan masyarakatnya dengan baik, telah berpijak pada konsep dan juga parameter yang disediakan oleh kota cerdas? Kalau misalnya apa yang dirancang oleh pengelola kota, termasuk juga pemimpin kota, belum menjadikan parameter dari kota cerdas ini sebagai pijakan mereka dalam rangka untuk mencapai tujuan mulia tadi, maka menjadi sangat sulit bagi kita untuk memberikan penilaian, apakah kota tersebut memang benar-benar berkomitmen untuk memberikan rasa bahagia atau menghadirkan rasa bahagia pada warganya ataukah tidak?

Kita sangat tahu bahwa untuk mencapai sesuatu yang baik, kita harus memiliki parameter sebagai pijakan atau acuan bagi kita untuk mencapai apa yang diinginkan kan. Misalnya dalam kasus kota ini, kita menginginkan masyarakat menjadi bahagia dan seluruh kebutuhan masyarakat sebagai manusia kota dapat terpenuhi, dan pengelola dapat menyediakannya dengan baik. Kondisi kota kita saat ini saja masih sangat jauh dari apa yang telah dimiliki oleh kota-kota selain yang ada di Singapura atau yang ada di Malaysia dan Australia.

Jika ini saja masih sangat jauh kondisinya, kalau kita melihatnya dari sisi visualisasi dan observasi, maka untuk mencapai level kota cerdas masih sangat jauh. Tetapi bukan berarti bahwa setiap pengelola kota yang ada di Indonesia tidak mampu untuk mewujudkannya. Bukan, tidak dalam konteks seperti itu. Saya meyakini bahwa pengelola kota, manajer kota, atau birokrasi kota, akan mampu mencapai tujuan yang sangat baik tadi, yaitu menjadikan warganya bahagia dan apa yang dibutuhkan masyarakatnya tersedia secara memadai.

Saya sering menjadikan beberapa kota di Jepang sebagai acuan. Penyebabnya sederhana saja: karena apa yang kita inginkan itu adalah apa yang sudah dimiliki oleh warga dan kota yang ada di Jepang. Mereka diberi fasilitas hidup dalam wilayah perkotaan berupa sarana dan prasarana yang memadai secara maksimal. Di sisi lain kebutuhan masyarakat berupa perumahan juga sandang dan papan, termasuk juga pekerjaan telah dipikirkan dan dibuatkan programnya, serta disediakan pekerjaannya oleh pemerintah setempat.

Karena itu, menjadi sangat menarik kalau kota-kota ada di Indonesia dapat atau mampu untuk mewujudkan kondisi kota yang sama baiknya. Atau bahkan lebih baik lagi dari kota-kota yang ada di Singapura, Malaysia, Australia, dan atau bahkan seperti yang ada di Jepang sebagaimana yang tadi telah saya sampaikan juga. Untuk mencapainya tentu saja tidaklah mudah. Ada begitu banyak hal yang harus disiapkan. Mulai dari kesiapan komitmen kebijakan, arah pembangunan kota, dan termasuk juga pembiayaannya.

Kita sangat menyadari bahwa prinsip dasar pengembangan kota cerdas bukan soal ketersediaan dana yang besar. Kita bisa lihat ada beberapa kota yang memiliki dana pembangunan yang sangat besar, tetapi ternyata mereka tidak mampu untuk mewujudkan prinsip-prinsip kota cerdas, sehingga dapat membahagiakan warganya. Fenomena yang muncul bahkan, terjadi persoalan kota yang semakin kompleks di kota tersebut. Padahal, dana pembangunan daerahnya sangatlah besar.

Dokumen rencana pembangunan daerah atau kota dapat menjadikan konsep kota cerdas sebagai parameter yang dapat memberikan arahan ke mana dan apa saja yang harus dilakukan oleh daerah tersebut, untuk mencapai tujuan membahagiakan warga kota. Seandainya saja pemerintah bersama dengan konsultan yang menyusun dokumen perencanaan pembangunan, seperti RPJP dan RPJM mengacu pada prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan sebagai karakteristik dari kota cerdas, maka saya meyakini, tahapan suatu kota untuk mencapai tujuan yang baik tadi yaitu membahagiakan warganya, dan menyediakan seluruh kebutuhan warganya, akan dapat tercapai.

Setidaknya langkah demi langkah yang dilakukan oleh pemerintah setiap tahunnya telah memberikan gambaran tentang apa yang akan terjadi di tentang apa yang akan dicapai di masa yang akan datang

Tentu, kita sangat menyayangkan, karena apa yang terjadi pada saat ini, program pembangunan disusun oleh pemerintah dan pihak konsultan, ternyata tidak dapat terlaksana dengan baik. Penyebabnya, bukan hanya soal ketiadaan komitmen dari pengelola kota. Tetapi bisa juga karena terlalu biasnya penyusunan program dan juga capaian yang diinginkan pada ada setiap era pembangunan yang akan dilaksanakan di kota atau daerah tersebut.

Memberdayakan seluruh sumber daya yang dimiliki adalah kata kunci untuk merealisasikan apa yang akan dicapai. Setiap daerah, tentu saja perlu atau bahkan wajib memiliki mimpi yang tinggi untuk membahagiakan warganya. Tetapi jika tidak ada pijakan terkait dengan identifikasi sumber daya yang dimiliki, serta tidak menjadikan parameter yang telah ditetapkan melalui kota cerdas ini, maka program pembangunannya akan menjadi sangat bias. Tahapan pembangunannya juga menjadi tidak jelas, dan akhirnya yang terbebani adalah pemerintah setempat karena seolah mereka tidak mampu untuk mewujudkan rencana yang mereka susun sendiri.

Di sisi lain, jika hanya mengandalkan daya pikir dan daya nalar kepala daerah setempat, maka hasilnya juga tidak akan memuaskan. Karena setiap kepala daerah memiliki keterbatasan mimpi sebagai dampak dari tekanan politik yang muncul di sepanjang era kepemimpinannya.

Sekali lagi, saya ingin menekankan terkait dengan kota cerdas ini, sebagai suatu konsep dan parameter yang bisa digunakan oleh setiap daerah dalam rangka mencapai tujuan mulia mereka, yaitu membahagiakan warganya dengan menyediakan sarana dan prasarana perkotaan secara maksimal. Sebagaimana yang telah dimiliki oleh beberapa kota di negara lain termasuk juga Jepang yang sehingga beban warga perkotaan dapatlah ditekan.***

*Dr. Eng. IB Ilham Malik adalah Ketua Pusat Studi Kota & Daerah di Universitas Bandar Lampung