Feaby|Teraslampung.com
Kotabumi–Sedikitnya terdapat empat tuntutan yang disampaikan para peserta unjuk rasa yang tergabung dalam persatuan petani singkong kepada Pemkab Lampung Utara dalam aksi unjuk rasanya, Senin pagi (23/1/2017).
Keempat tuntutan itu yakni pertama, mereka menuntut pabrik singkong menaikan harga pokok singkong, kedua, mereka meminta pabrik menormalisasi potongan refaksi singkong sebesar 14 persen. Ketiga, mereka meminta Pemkab dan DPRD mengawal kesepakatan antara Pemkab dan pengusaha singkong yang menetapkan harga minimum singkong di harga Rp700/Kg.
Terakhir, mereka menuntut pemerintah pusat untuk menyetop impor singkong dan tapioka yang selama ini menjadi biang keladi terjun bebasnya harga singkong petani lokal.
Di dalam pernyataan sikapnya, persatuan petani singkong menyebutkan bahwa normalnya harga singkong yang diterima petani yaitu Rp1.300 – 1.600/Kg. Sayangnya, di lapangan, harga singkong hanya Rp678/Kg di luar potongan yang ditetapkan pengusaha singkong yang mencapai sebesar 20 persen alias tak sesuai dengan kesepakatan.
Dengan harga Rp678/Kg dan ditambah dengan potongan refaksi 20 persen tersebut, mereka mengasumsikan dalam 1 hektarnya, petani mampu menghasilkan panen singkong sebanyak 20 ton maka yang tersisa hanya 16 ton (dikurangi refaksi 20 persen). 16 ton itu kemudian dikali Rp678/Kg maka hasilnya akan ada di kisaran Rp10.848.000.
Rp10.848.000 itu bukanlah hasil bersih yang diterima para petani sebab masih harus dikurangi dengan biaya upah cabut dan angkut singkong serta biaya tanam yang dikeluarkan petani. Upah cabut dan angkut diasumsikan Rp135 x 20.000 = Rp2.700.000. Sedangkan, biaya tanam yang dikeluarkan petani mencapai Rp6.350.000. Dengan demikian, hasil panen yang diterima petani hanya Rp1.798.000 tiap kali panen (10 bulan). Artinya, tiap bulannya, para petani hanya mampu menghasilkan Rp179.800/bulannya. Dengan hasil yang dihasilkan tak sampai Rp200 ribu/bulannya itu, tentu tak mampu membuat para petani sejahtera.