Dewi Ria Angela/Teraslampung.com
JAKARTA— Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai Presiden dan kabinetnya pada akhir masa jatbatannya justru melanggar UU untuk menyenangkan kelompok tertentu. Pelanggaran itu dilakukan dengan memberikan kelonggaran pengusaha pertambangan untuk mendapakan kelonggaran dalam pelaksanaan UU Mineral dan Batubara (Minerba).
Keputusan pemerintah memberikan kelonggaran kepada pengusaha pertambangan dinilai Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) sebagai ketidakberdayaan presiden dan kabinetnya berhadapan dengan koorporasi, khususnya Freeport dan Newmont. Alasannya, kelonggaran itu diberikan hanya soal PHK.
“Padahal permasalahan PHK juga akan dialami semua perusahaan. Begitu juga dengan renegosiasi kontrak karya (KK) yang tidak berujung, juga ditenggarai ulah dua perusahaan ini. Kedua, tambahnya, perusahaan ini seperti mendapat tempat khusus di hati para pengurus negara saat ini, sehingga boleh-boleh saja mengabaikan dan melanggar peraturan yang berlaku,” kata Koordinator JATAM, Hendrik Siregar, di Jakarta, Senin (11/2).
Menurut Hendrik tidak adanya tindakan keras bagi para pelanggar, akan menjadi masalah besar jika hal ini dibiarkan oleh rezim yang akan berakhir ini. Sudah cukup banyak kasus-kasus pelanggaran terkait dengan industri tambang, namun tidak ada tindakan tegas oleh penegak hukum dan pejabat negara.
Hendrik mengatakan Menteri ESDM, Jero Wacik, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (29/2), mengakui kelonggaran ekspor mineral tanpa pemurniaan telah melanggar UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Kabinet, Sabtu (11/1), di Cikeas yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Pernyataan Jero Wacik yang menyebut adanya pasal multitafsir dalam UU Minerba, semakin menegaskan bahwa UU tersebut memiliki kelemahan mendasar. Akibatnya, pelaksanaan UU tersebut bisa dilakukan seenaknya tergantung siapa yang memiliki kuasa menafsirkannya demi meloloskan suatu kebijakan. Setali tiga uang, Komisi VII yang notabene sebagai komisi yang menghasilkan UU Minerba, tidak bersikap tegas untuk meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran UU tersebut,” kata Hendrik.
Jika UU Minerba yang menyebutkan tentang kewajiban pemurnian saja boleh dilanggar, menurut Hendrik, maka kewajiban-kewajiban lain dalam UU tersebut pasti bisa dilanggar. Dalam prakteknya, sebenarnya itu bukan cerita baru. AMDAL, izin pinjam pakai hutan atau prosedural administratif lainnya sudah banyak dilanggar, belum lagi hak-hak masyarakat yang dirampas oleh pertambangan. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya jaminan bahwa produksi tambang akan berkurang dengan adanya kebijakan pemerintah yang mewajibkan perusahaan-perusahaan tambang membangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter).
“Penambangan akan tetap berlangsung, dan kerusakan akan terus berlanjut. Pembangunan smelter pun juga memiliki risiko terhadap lingkungan, oleh karenanya diperlukan studi kelayakan. Walaupun begitu, tetap terbuka peluang terjadinya pelanggaran yang melibatkan para pengambil kebijakan pusat dan daerah,” ujarnya.