Soal Ribut-Ribut “Frankfurt Book Fair 2015”

Ahmad Yulden Erwin. Foto: Oyos Saroso HN
Bagikan/Suka/Tweet:
Ahmad Yulden Erwin*
Sebenarnya saya malas merespons “ribut-ribut” soal Frankfurt Book Fair 2015. Tapi, beberapa sahabatFB saya menganggap itu sebagai “ribut-ribut sastra” atau “ribut-ribut sastrawan”. Menurut saya, yang sebenarnya terjadi adalah ribut-ribut soal pameran buku Indonesia di ajang Frankfurt Book Fair 2015. Jadi, ini bukan soal ribut-ribut sastra. Namun, karena saya termasuk bagian dari masyarakat sastra, maka saya mau sedikit angkat bicara atas pendapat saya pribadi.
Menurut saya yang “diribut-ributkan” itu sebenarnya bukan urusan sastra, tapi urusan di luar sastra (politik sastra namanya). Dari jaman dulu, misalnya ribut-ribut antara sastrawan “Lekra dengan Manikebu”, seringkali yang diributkan adalah urusan politik sastra itu.Tapi, kalau dulu ribut-ributnya dalam konteks ideologis, kalau sekarangribut-ributnya seringkali adalah soal personal. Nah, untuk urusan begini, jujursaja, saya malas ribut, sama sekali tak memajukan sastra Indonesia.
Kalau mau berpolitik, ya, terjun langsung saja ke politik, mau perlementer atau ekstraparlementer, jauh lebih keras dan lebih memicu adrenalin. Menurut pendapat saya, perdebatan dalam konteks teori sastra atau estetika, pernah terjadi cukup lumayan pada masa Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Pada tahun 45-an kembali terjadi pergolakan
estetika yang dipelopori oleh Chairil Anwar dan H. B. Jassin.
Pada tahun 60-an muncul perdebatan yang keras antara paham seni realisme sosialis yang diusung oleh Lekra dengan “estetika seni untuk seni” dari kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Pada tahun 70-an, sebagai dampak dari “kalahnya” pertarungan politik PKI, maka yang dominan menguasai “episteme” para sastrawan di Indonesia adalah paham estetika dari Manifesto Kebudayaan. Tahun 80-an muncul  perdebatan “Sastra Kontekstual” yang dipelopori oleh Ariel Haryanto.
Dan terakhir, pada tahun 90-an, muncul isu estetika postmodernisme (sering diplesetkan jadi akronim “postmo”) yang dimotori oleh Nirwan Dewanto dan Afrizal Malna. Dan setelah itu “ribut-ribut” dalam konteks estetika sastra atau “ars poetica” belum muncul lagi hingga saat ini.
Untuk soal Frankfurt Book Fair 2015, saya mau merespon beberapa pemberitaan di media Jerman (DW Bahasa Indonesia) soal Laksmi Pamuntjak, penulis novel “Amba”, yang dianggap bikin heboh dalam ajang Frankfurt Book Fair 2015. Tapi, beberapa pemberitaan itu justru meragukan buat saya kebenarannya. Misalnya, dikatakan bahwa novel Amba best seller di Indonesia. Apa ukurannya? Berapa jumlah novel tersebut yang laku di Indonesia? Kalau novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata saya akui memang best seller di sini, walaupun kualitas penulisan sastranya masih banyak cacat mendasar. Tapi, bila novel Amba dikatakan best seller, rasa saya itu tidak benar.
Kemudian dikatakan juga dalam berita DW Bahasa Indonesia bahwa dua kumpulan puisi Laksmi Pamuntjak yang ditulis dalam bahasa Inggeris mendapat pujian dari para kritikus. Kritikus mana yang memujinya di sini? Setahu saya tidak ada. Dan kalaupun ada, tak ada diskusi sastra yang serius tentang hal itu dalam konteks estetika. Saya rasa model “strategi pemasaran” atau “politik sastra” seperti itu tidak benar, karena didasarkan pada ketidakbenaran.
Manipulasi “riwayat sastra” model begitu tidaklah pantas untuk dimajukan sebagai puncak karya sastra Indonesia saat ini di dunia internasional. Negeri ini terlalu lama dikabuti oleh “manipulasi” riwayat atau sejarah politik dan sosial, jadi janganlah model manipulatif seperti itu disorongkan ke dalam dunia sastra Indonesia juga. Tidak mungkin sastra Indonesia berperan untuk mengungkap kebenaran fakta sejarah hitam “pembantaian 1965” misalnya, bila dilakukan dengan cara-cara manipulatif.* Penyair