Suka Duka Menuntut Ilmu di Tanah Rantau

Kampus Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa (Foto: dok Edumor)
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Aku berasal dari pulau kecil yaitu pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Ketika masih duduk di bangku SMA, aku berpikir mungkin suatu saat aku bisa kuliah di luar kota seperti orang-orang lain. Dengan tekad kuat, akhirnya aku bisa mewujudkan cita-citaku. Aku pun berangkat untuk melanjutkan pendidikanku di Yogyakarta pada  2018 lalu.

Sekarang aku melanjutkan studi di salah satu universitas swasta di Yogyakarta yaitu di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST). Universitas ini didirikan oleh  Bapak Pendidikan kita yaitu Ki Hadjar Dewantara.

Banyak yang bilang UST adalah universitas buangan atau universitas yang tidak terkenal dan murah. Anggapan ini bagiku aneh, karena  nilai sebuah universitas tidak ditentukan dengan kemahalannya. Buat apa mahal jika tidak dapat membentuk karakter anak bangsa menjadi lebih baik?

Banyak yang tidak kenal dengan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Padahal, seluruh penduduk Indonesia tahu siapa itu Ki Hadjar Dewantara. Ya, Ki Hadjar Dewantara adalah pendiri Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ini. Kampusku juga dijuluki sebagai kampus nasional.

Dengan memegang teguh ajaran Ki Hadjar Dewantara dalam membentuk karakter anak bangsa yang baik, aku bangga menjadi salah satu mahasiswi di kampus yang didirikan Bapak Pendidikan Nasional. Aku merasa ini seperti mimpi.

Selama aku hidup di Yogja aku merasa kota ini benar-benar sangat istimewa. Di sini aku bisa menemukan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Papua, NTB, NTT, Kalimantan, Palembang, dan Belitung, dan banyak lagi. Di sini, aku mulai merasakan yang namanya hidup mandiri. Aku harus melakukan semuanya sendiri. Awalnya aku berpikir jni akan sangat sulit karena aku jauh dari orangtua. Aku merasa akan sulit dalam masalah keuangan.

Mungkin itu sesuatu yang umum yang dialami oleh anak rantau. Aku baru merasa bahwa hidup di tanah rantau jauh dari orang tua itu tidaklah enak. Perlahan sikapku yang keras hilang. Aku sadar aku tidak mungkin hidup manja dan keras kepala seperti di rumah. Di sini bukan kotanya yang keras. Ini adalah  Yogyakarta, sebuah kota tua di Pulau Jawa yang  semua warganya bersikap ramah dan baik.

Aku mulai termotivasi akan kelembutan dan kesopanan orang di sini. Ini bukan berarti di tempat asalku orangnya tidak sopan. Cuma di tempatku terkenal dengan cara bicara yang keras dan kasar.

Aku hanya pulang kampung  satu tahun sekali. Ya memang setiap semster pasti ada libur, apalagi kampusku jika libur pasti lama. Setiap 6 bulan sekali ada libur semester, tapi aku memilih untuk tidak pulang karna biaya terbang dari Jogja ke Bangka tidaklah murah. Jadi, aku tetap memilih untuk menghabiskan waktu libur di Jogja saja, bukan berarti tidak rindu dengan keluarga tapi aku tidak ingin menjadi beban kedua orang tuaku, walaupun ayah dan ibuku sering menyuruhku pulang, aku hanya punya inisiatif sendiri untuk tidak pulang. Cukup 1 tahun sekali  aku pulang untuk  menyambut hari raya Idul Fitri saja.

Rasanya ketika pulang sebelum hari raya itu ada kesan tersendiri. Aku dan keluargaku menyambut rindu yang tertunda selama 1 tahun tersebut. Rasanya sedih ketika bulan Ramadhan tiba  dan aku sebagai anak rantau tidak bisa melaksanakan ibadah puasa bersama keluarga. Namun di sinilah aku  bisa belajar arti hidup yang sesungguhnya, dengan selalu bersabar dan bahagia.

Perubahan itu terjadi jika kita memang berniat untuk berubah. Aku selalu ingat nasihat orang tuaku: Jadilah mahasiswa yang bijak di tanah rantau, jangan bawa sifat dan tingkah laku yang tidak baik di kotamu ke kota orang. Ingatlah orangtua mu susah mencari uang buat biaya kuliah dan kebutuhanmu di tanah rantau.

Semoga kita menjadi orang sukses yang bisa membuat tangis bahagia untuk kedua orang tua kita.

Bela Fitia, mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta