TERASLAMPUNG.COM — Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) terus melakukan langkah-langkah guna menggerakkan roda perekonomian yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Salah satunya adalah dengan menurunkan suku bunga acuan.
Terbaru, BI menurunkan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRR), sebesar 25 basis poin menjadi 4%, pada 15 -16 Juli 2020 lalu. Padahal, belum genap sebulan BI menurunkan suku bunga menjadi 4,25%.
Hal ini dilakukan guna merangsang peningkatan konsumsi masyarakat yang lesu akibat Covid-19. Dengan kian menurunnya suku bunga kredit, pinjaman, KPR, Kredit Kendaraan Bermotor dan kredit lainnya, masyarakat diharapkan makin terdorong untuk mengambil kredit, lantaran bunga yang lebih murah.
Selain mendorong pertumbuhan kredit, pemangkasan suku bunga BI akan mengakibatkan penurunan minat masyarakat untuk menyimpan uang di deposito. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan perputaran uang di masyarakat.
Jika ditarik mundur, BI telah memangkas 7DRR sebanyak 150 bps dari April 2019 hingga April 2020. Namun apakah cara ini bisa secara efektif mendorong pertumbuhan kredit?
Riset Lifepal.co.id menunjukkan, dampak pemangkasan tingkat suku bunga baru terlihat secara signifikan dalam jangka waktu di atas tiga tahun untuk penyaluran dana di bank umum konvensional. Penyaluran dana yang dimaksud berupa kredit yang diberikan ke pihak ketiga dan bank lain.
Uniknya, jumlah simpanan berjangka (deposito) yang ada di bank konvensional juga tetap mengalami pertumbuhan, bukan penurunan.
Pemerintah berkali-kali mengubah suku bunga acuan dalam 4 tahun
Suku bunga pun kembali dinaikkan pada Juni 2018 mulai dari Juni 2018 sebanyak 25 basis poin jadi 4,50%. Hampir setiap bulannya, suku bunga pun terus dinaikkan hingga mencapai 6,00% di Desember 2018.
Suku bunga acuan yang sebesar 6,00% terus dipertahankan hingga Juli 2019, sebelum akhirnya diturunkan kembali secara perlahan hingga menyentuh 4,50% di April 2020.
Harapannya, kredit naik dan deposito turun
Penurunan suku bunga tentunya diharapkan berimbas pada peningkatan kredit. Namun, apakah kebijakan penurunan suku bunga ini langsung mengerek kredit?
Sebut saja, pada tahun 2016, jumlah penyaluran dana berupa kredit pada pihak ketiga maupun bank lain adalah 9,67%, sementara itu di tahun 2017 mencapai 10%. Di tahun 2018, penyaluran kredit naik drastis jadi 14,8%, padahal pada tahun tersebut, tepatnya mulai bulan Juni 2018, suku bunga acuan naik perlahan hingga mencapai puncaknya pada bulan desember dengan 6%.
Seiring dengan berjalannya waktu, Pemerintah akhirnya kembali menurunkan suku bunga di Juli 2019, namun penyaluran kredit bank konvensional di 2019 menurun yaitu 8,12%.
Lantas bagaimana di masa pandemi Covid-19? Terhitung sejak Januari hingga April 2020, penyaluran dana kredit bank konvensional yang tertera di laporan OJK baru mencapai 1,96%. Seperti diketahui, dalam rentang waktu Januari hingga April, Suku Bunga BI sudah dipangkas dua kali, yakni dari 5.00% menjadi 4,50% atau turun 50 basis poin.
Akankah dengan pemotongan 50 basis poin yang terjadi di rentang April hingga Juli 2020, kredit akan meningkat?
Meskipun tumbuh, deposito menunjukkan tren melambat
Dengan adanya pemangkasan suku bunga BI, tentu saja bunga keuntungan dari deposito menjadi berkurang. Jadi, meski jumlah simpanan berjangka tersebut dilaporkan naik, tren pertumbuhannya justru berkurang.
Lifepal mencatat, di sepanjang tahun 2016, persentase simpanan berjangka di bank konvensional tercatat 6,14% sementara itu di tahun 2017 mencapai 6,21%.
Meski demikian, pertumbuhan simpanan berjangka di tahun 2018 justru hanya 4,9%, dan di tahun 2019, hanya 2,9%.
Perubahan tingkat suku bunga tak berdampak langsung pada pertumbuhan kredit
Pemotongan suku bunga BI memang bisa mendorong pertumbuhan kredit, hanya saja dampak dari kebijakan ini tidak akan berdampak langsung setelah kebijakan ini dicetuskan.
Seperti yang sudah kita saksikan pula, Pemerintah RI juga memangkas lagi suku bunga hingga mencapai 4,00% juli 2020. Bisa dikatakan bahwa 4,00% adalah suku bunga terendah dalam empat tahun belakangan.
Pandemi Covid-19 memang menciptakan ketidakpastian dalam sektor bisnis. Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) juga sudah mengumumkan bahwa hingga 27 Mei 2020, ada 3.066.567 warga yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketika sumber penghasilan hilang, maka besar kemungkinan bagi seseorang untuk mengurangi pengeluaran, menunda pembelian aset, dan menunda investasi.
Pengucuran kredit yang dilakukan oleh bank juga harus dengan hati-hati. Sebab, jika seorang nasabah tiba-tiba kehilangan penghasilannya, maka risiko kredit macet yang dialami bank cukup tinggi. Alih-alih mendorong perekonomian, hal ini justru bisa menciptakan masalah baru.
*Catatan: konten ini merupakan kerjasama Teraslampung dengan Lifepal