Sumbangan Rp2 Triliun Bohong, Anak Akidi Tio Akhirnya Jadi Tersangka

Gubernur Sumsel Herman Deru (kiri) menyaksikan dokter pribadi keluarga almarhum Akidi Tio (kanan) menyerahkan bantuan sebesar Rp2 triliun dari keluarga besar Akidi Tio kepada Kapolda Sumsel untuk penanganan Covid-19 di Sumsel, Senin (26/7/2021).
Gubernur Sumsel Herman Deru (kiri) menyaksikan dokter pribadi keluarga almarhum Akidi Tio (kanan) menyerahkan bantuan sebesar Rp2 triliun dari keluarga besar Akidi Tio kepada Kapolda Sumsel untuk penanganan Covid-19 di Sumsel, Senin (26/7/2021).
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Kepastian benar-tidaknya sumbangan senilai Rp2 triliun dari keluarga almarhum Akidi Tio untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan, akhirnya terungkap, Senin siang (2/8/2021). Menurut Polda Sumatera Selatan, sumbangan tersebut hanya bohong belaka alias tidak ada. Terkait hal itu, Polda Sumsel menetapkan Heriyanti, satu-satunya anak Akidi Tio yang tinggal di Sumsel, menjadi tersangka.

BACA: Soal Sumbangan Rp2 Triliun, Polda Sumsel Meralat Pernyataan Anak Mendiang Akidi Tio Jadi Tersangka

Heriyanti akan dijerat dengan pasal penghinaan negara dan penyiaran berita tidak pasti.

“(Heriyanti) Akan kami kenakan UU nomor 1 tahun 1946, pasal 15 dan 16. Ancaman (pidana) di atas 10 tahun karena telah membuat kegaduhan,” ujar Direktur Intelkam Polda Sumsel, Komisaris Besar Ratno Kuncoro, di Mapolda Sumsel, Senin (2/8/2021).

Kombes Ratno mengatakan  saat ini penyidik masih mendalami motif yang melatarbelakangi Heryanti melakukan hal tersebut. Pihaknya juga masih menyelidiki seberapa jauh keterlibatan dokter pribadi keluarga Akidi, Hardi Darmawan, yang menjadi perantara dalam pemberian bantuan secara simbolis kepada Kapolda Sumsel Inspektur Jenderal Eko Indra Heri.

Menurutnya, tim yang dibentuk Kapolda Sumsel sudah bekerja sejak Senin pekan lalu, saat bantuan diberikan secara simbolis. Penyidik menggunakan data IT dan analisis intelejen untuk menyelidiki hal ini.

“Setelah yakin bahwa unsur pidana sudah terpenuhi, kami lakukan penindakan,” ujarnya.
Undang-undang nomor 1 tahun 1946 mengatur tentang Peraturan Hukum Pidana. Pada pasal 15 disebutkan, “Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.”

Sementara pasal 16 berbunyi “Barang siapa terhadap bendera kebangsaan Indonesia dengan sengaja menjalankan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan penghinaan kebangsaan, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya satu tahun enam bulan.”