Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial FKIP Unila
Pada masa kecil di sekitar akhir tahun limapuluhan ada kebiasaan perdesaan yaitu memasang lampu minyak atau lentera di pinggir jalan desa. Lentera itu terbuat dari bambu yang dipotong ruasnya dan diberi penutup dari kaleng bekas, kemudian diberi kain bekas sebagai sumbu, yang menjadi media antara minyak tanah atau minyak kelapa dengan api. Jika sumbu ini pendek; maka yang terjadi lentera akan mudah terbakar karena pendeknya jarak antara api dengan bibir permukaan minyak.
Karena pada waktu itu belum ada listrik, maka penerangan ini sangat membantu agar desa menjadi terang dan ronda malam menjadi giat, terutama saat bulan Ramadhan. Kegiatan seperti ini ditingkahi suara anak anak yang pergi pulang ke langgar atau surau untuk melaksanakan shalat tarawih.
Peristiwa lain pada dekade berikutnya yang mirip ini adalah pada saat Bulan Ramadhan biasanya banyak pasar menyediakan petasan lempar, pengganti “mercon bumbung”. Ciri petasan ini adalah memiliki sumbu antara media pembakar dengan mesiu yang akan di ledakkan. Banyak kejadian kecelakaan terkena ledakan petasan karena sumbu petasan yang pendek, sehingga waktu bakar dan lempar singkat sekali. Sekalipun banyak korban karena peristiwa ini, namun masih saja permainan satu ini tetap diminati, sampai akhirnya pemerintah melarang.
Seiring pergeseran waktu makna “sumbu pendek” berubah makna (metafor) menjadi menjelaskan bagaimana seseorang mudah sekali tersulut emosinya. Salah satu kutipan yang diunduh 14 September 2021 di salah satu laman Kompasiana menyatakan begini: “Orang yang begitu sensitif dan reaktif terhadap apa yang dianggapnya tidak pas dengan dirinya, mereka ini biasanya dikenal sebagai manusia sumbu pendek. Ciri-cirinya adalah mudah marah dengan emosi yang tidak stabil. Hal kecil saja bisa jadi pemicu marah bila dia salah terima terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya. Padahal belum tentu apa yang ditangkap dan dipersepsikannya itu sesuai dengan kejadian dan makna yang sebenarnya.”
Manusia bersumbu pendek akan mudah meledak emosinya. Dia tidak punya banyak waktu untuk berfikir dan menguji kebenaran persepsinya, karena pengendalian emosinya yang rendah dan berakibat pada cepatnya reaksi kemarahan terlontar. Sedangkan manusia bersumbu panjang, selalu punya waktu untuk menguji kebenaran persepsi yang terbentuk sehingga jarang terjadi ledakan emosi apalagi hanya karena miss komunikasi dan miss persepsi. Dengan kata lain, manusia sumbu pendek akan meledakkan kemarahan, baru setelah itu berfikir. Sedangkan manusia sumbu panjang, dia akan berfikir dulu baru memutuskan untuk meledakkan kemarahan atau tidak.
Bisa dibayangkan jika kita memiliki teman, saudara, pendamping hidup, bahkan pemimpin yang memiliki karakter sumbu pendek. Baru mendapatkan berita, atau membaca artikel, atau berita hoak yang belum tentu kebenarannya, langsung menyulut emosi dan menimbulkan kemarahan yang besar. Padahal setelah di cek fakta dan kebenarannya tidak seperti yang dipersepsikan. Tentu saja ini membuat malu diri dua kali, malu yang pertama pada diri sendiri karena menunjukkan ketidakdewasaan. Malu yang kedua adalah kepada khalayak ramai, karena telah menunjukkan tingkat kebodohan secara vulgar kepada umum.
Karakter sumbu pendek ini ternyata dapat menyerang siapa saja; bahkan di negeri ini tidak sedikit pemimpin yang memiliki karakter ini, sehingga dengan mudah dan cenderung gegabah mengambil sikap, atau berkomentar terhadap sesuatu yang belum tentu kebenarannya. Jebakan jebakan sosial yang terkadang disengaja oleh pihak pihak tertentu, tidak terbaca oleh yang bersangkutan, dan akhirnya masuk kedalam perangkap Bubu Sosial yang berciri bisa masuk sulit untuk bisa keluar.
Meskipun demikian, bukan juga berarti sumbu panjang itu lebih baik; karena jika terlalu panjang sumbunya, maka reaksinyapun cenderung lambat. Akibatnya tidak memiliki kepekaan terhadap persoalan yang ada. Oleh karena itu, rentang sumbu ini memiliki maksud bahwa dalam merespons segala sesuatu kita harus menggunakan waktu yang cukup untuk menimbang dan memutuskan guna mengambil tindakan.
Adalah tindakan yang bijak jika kita dapat menempatkan keduanya pada porsi yang tepat; jika kita akan menyelamatkan kepentingan orang banyak, maka karakter sumbu pendek sangat tepat jika dikedepankan. Sedangkan kalau untuk kepentingan pribadi atau kelompok, maka karakter sumbu panjang mungkin lebih tepat dikedepankan. Dengan cara ini maka semua keputusan yang diambil melalui pertimbangan pertimbangan konvergensif, sehingga kita dapat meminimalkan dampak negative jika itu ada.
Apalagi jika kita masih berperan sebagai pemimpin, jika karakter sumbu pendek kita pelihara untuk semua keadaan; maka tunggu saja kehancuran yang akan kita jumpai. Terutama kehancuran moral; karena dengan mudah pihak lain memancing di air keruh dengan cara meninggikan tempat jatuh anda agar hancur sehancurhancurnya.
Sebaliknya, jika kita mantan pemimpin, manakala memelihara karakter sumbu pendek; maka kita akan terkena penyakit post power shindrom yang banyak melanda mereka yang tidak siap turun panggung. Akibatnya penyakit jasmani lainnya menunggu untuk antre masuk ke badan kita.
Ternyata mengingat, menimbang, dan memutuskan itu bukan hanya rangkaian administrative persuratan belaka, akan tetapi lebih kepada kemampuan kita meneliti, menemukenali permasalahan dunia ini agar lebih arif bijaksana sebelum memutuskan segala sesuatunya.***