Sumpah Pemuda, Indonesia, dan Keindonesiaan

Frieda Amran
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Frieda Amran

Nama saya Frieda Amran. Saya adalah Warga Negara Indonesia yang memilih untuk pindah dan tinggal menetap di negeri Belanda, demi cinta. Kini, hampir separuh umur saya sudah dihabiskan di negeri mantan penjajah Indonesia ini.

Beberapa waktu lalu, ketika Ine Waworuntu dari Stichting Hibiscus meminta saya berbagi cerita dalam webinar, saya terdiam sejenak. Sumpah Pemuda? Memang, 28 Oktober, setiap tahun, di mana pun saya berada, saya teringat pada peristiwa itu.

Tetapi, apa sebenarnya makna Sumpah Pemuda untuk saya pribadi? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak Anda sekalian kembali ke masa lalu. Sembilan puluh dua tahun yang lalu. Ketika itu Jakarta masih disebut Batavia. Pada tahun 1928, Belanda sudah ‘berkenan’ membuka kesempatan bagi para ‘inlanders’ atau pribumi untuk menempuh pendidikan tinggi. Di Batavia sudah ada STOVIA yang merupakan singkatan dari School Tot Opleiding van Indische Aartsen. Juga sudah ada Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) dan Sekolah Tinggi Botani di Batavia. Ketiga centers of excellence itu terdapat di daerah segitiga di antara Prapatan, Cikini, dan Salemba.

Tidak mengherankan bahwa para mahasiswa—yang kebanyakan datang dari luar Batavia, bahkan juga dari luar Pulau Jawa, banyak mencari tempat tinggal—indekos—di rumah-rumah warga di sekitar jalan-jalan itu. Rumah di Jalan Kramat Raya 106 merupakan rumah indekos yang disukai. Pada tahun 1928, rumah di Jalan Kramat Raya itu tidak akan menarik perhatian orang karena tak tampak istimewa. Hampir semua rumah di daerah itu dikelilingi kebun yang hijau. Di beranda depan, biasanya orang duduk minum teh sore atau berkelakar. Di dalam, terdapat ruang tamu, ruang makan dan ruang keluarga. Kamar-kamar tidur terdapat di sebelah kiri dan kanannya. Dapur, kamar mandi/wc dan kamar-kamar pembantu terdapat di belakang bangunan induk.

Seringkali dibangun paviliun dengan kamar mandi dan dapur tersendiri. Awalnya, orang membangun paviliun untuk tempat tamu menginap, tetapi kemudian untuk disewakan kepada orang-orang yang belum menikah, keluarga kecil atau mahasiswa.

Tidak semua mahasiswa yang tinggal di rumah itu berasal dari keluarga berada. Untunglah sebagian besar menerima beasiswa dengan ikatan dinas. Uang itu cukup untuk membayar biaya indekos dan makan—kira-kira sebanyak 7 gulden 50 sen per bulan.

Pada mulanya, hanya mahasiswa anggota Jong Java saja yang indekos di rumah itu. Pada tahun 1927, rumah itu menjadi tempat pertemuan pemuda nasional dari berbagai daerah. Gedung itu diberi nama Indonesische Clubgebouw atau Indonesisch Clubhuis (Gedung Pertemuan Indonesia, disingkat IC). Walaupun pemerintah Hindia-Belanda tidak menyukai istilah ‘Indonesia’, nama itu ditulis dengan jelas di atas sebilah papan putih yang dipancang menantang di halaman depan.

Di dalam, terdapat ruang baca. Di sana tersedia juga meja biljar untuk menghilangkan kebosanan belajar. Ruangan ini menjadi jantung rumah, tempat para pemuda berkumpul, belajar bersama dan berdiskusi politik. Di belakang rumah, terdapat kamar-kamar kos. Moh. Yamin, Amir Sjarifuddin, Asaat, Abu Hanifah, AK Gani, F. Lumban Tobing, dan Mokoginta merupakan beberapa penghuni yang namanya tidak terdengar asing di telinga.

Kelompok seni Langen Siwo dan kepanduan juga berlatih di sana. Terbayang ramainya gedung tua itu oleh segala kegiatan di sana. Makan malam selalu berjam-jam karena setelah makanan habis disantap, tak ada yang beranjak. Diskusi seru menggeser obrolan ringan. Lama-kelamaan yang berdiskusi tidak terbatas pada yang indekos saja. Pemuda-pemuda yang latihan kesenian dan kepanduan, ikut menarik kursi mengitari meja makan. Seandainya meja makan itu masih ada, alangkah banyak yang dapat diceritakannya mengenai perdebatan dan seloroh anak-anak muda itu.

Akhir Oktober 1928 diadakan tiga kali rapat umum pemuda. Yang pertama, di gedung Katholieke Jongelingen di Lapangan Banteng, tanggal 27 oktober 1928; yang kedua di Oost-Java Bioscoop di Medan Merdeka Utara, pagi-pagi tanggal 28 oktober. Yang terakhir, malam hari di Jalan Kramat Raya 106. Dalam ketiga rapat umum itu, selain para pemuda juga hadir khalayak ramai, polisi dan dinas intelijen Hindia-Belanda. ‘Pemuda’ yang hadir memang betul-betul muda. Moh Yamin baru setahun menjadi mahasiswa. Banyak yang lebih muda lagi. Pandu-pandu yang menjaga keamanan malam itu berumur di antara 11-18 tahun!

Dalam ketiga rapat umum itu, beberapa orang rupanya belum fasih berBahasa Indonesia! Mereka berpidato dalam Bahasa Belanda dan Moh Yamin menerjemahkannya. Namun, rasa nasionalisme tetap menggebu-gebu rupanya. Mulanya kelompok kepanduan ingin berarak-arakan tetapi pihak kepolisian tidak mengizinkannya. Larangan menjengkelkan ini semakin meningkatkan solidaritas pemuda. Ketika WR Supratman mengalunkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya tampak banyak mata berlinang di ruangan itu.

Menjelang akhir acara, ketika Sunario SH menyerukan para pemuda untuk menjadi penggerak persatuan Indonesia, Moh. Yamin, sekretaris di acara itu, menyodorkan sehelai kertas kepada Sugondo, ketua rapat. “Saya punya rumusan resolusi yang elegant,’ katanya.

Sugondo segera memberi paraf setuju setelah membaca rumusan di kertas itu. Amir Syarifuddin membacanya dan juga segera menandatangani kertas itu. Rumusan sederhana di kertas itu, Sumpah Pemuda, kemudian dibacakan dengan lantang: “Kami, putra dan putri Indonesia, mengaku … ” (and the rest is history! Kata orang yang tidak berbahasa Indonesia).

Pada tahun 1928, para pemuda dan pemudi di kongres itu sudah menyebutkan Indonesia, akan tetapi barangkali pada saat itu hampir semua orang baru berani mengangankan gagasan mengenai kemerdekaan dan negara Indonesia yang mandiri dan bebas-merdeka dari penindasan penjajah. Akan tetapi, pada waktu kongres itu mereka sudah menjentikkan bara api yang diperlukan untuk mengobarkan semangat perjuangan kemerdekaan di kemudian hari. Sumpah Pemuda itu memberi kesadaran adanya identitas bersama sebagai satu bangsa, yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi di tanah Indonesia. Satu bangsa yang memiliki bahasa persatuan bersama, bahasa Indonesia.

Kembali ke pertanyaan saya di atas tadi: apa sebenarnya makna Sumpah Pemuda untuk saya? Apa maknanya untuk saya yang tinggal jauh dari rahim Ibu Pertiwi?
Yang penting untuk saya sebetulnya bukan peristiwa sejarah diucapkannya Sumpah Pemuda itu sendiri. Bukan tanggal 28 Oktober yang penting. Yang penting, yang bermakna bagi saya adalah inti sumpah itu: Saya mengaku berbangsa Indonesia.
Inilah yang membedakan saya dengan liyan, dengan orang lain yang bukan bangsa Indonesia. Pengakuan itulah yang memberikan identitas hakiki kepada saya, seorang perempuan Indonesia, yang tinggal di negeri orang.

Tetapi, bagaimana halnya dengan orang-orang lain, yang berlatar belakang sama, yang tinggal di negeri ini? Bagaimana halnya orang yang bukan lagi warga negara Indonesia? Bagaimana halnya bagi orang yang tercerabut dari tanah air seperti para eksil dari Papua, eksil dan penyintas peristiwa September 1965? Apakah mereka juga masih berbangsa Indonesia?

Tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Ketika Kongres Pemuda II itu diselenggarakan, ketika Sumpah Pemuda diikrarkan dan lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan, tak seorang pun yang hadir dapat mengatakan bahwa dirinya adalah Warga Negara Indonesia! Tak seorang pun memiliki paspor Republik Indonesia karena semuanya, tanpa kecuali, merupakan warga kelas dua Hindia-Belanda!

Sumpah Pemuda tidak berbicara mengenai kewarganegaraan. Kebangsaan, ke-Indonesia-an, identitas jati diri yang hakiki, datang dari hati dan tidak dapat dipaksakan datang atau pun pergi karena ada atau tidak adanya secarik kertas!

Dengan lantang dan tegas, saya katakan:
Saya, putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia;
Saya, putri, Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia;
Saya, putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Saya berbangga hati mengikrarkannya.

*****

* Frieda Amran adalah seorang arkeolog alumni Universitas Indonesia, tinggal di Belanda.

**Tulisan ini dibuat untuk webinar berjudul “What is Indonesia?” yang diselenggarakan oleh Stichting Hibiscus, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Kedutaan Besar Republik Indonesia @ Den Haag pada tanggal 20 Oktober 2020.