Sumpah Pemuda: Setan dan Gila yang Disukai

Bagikan/Suka/Tweet:

Nusa Putra*

Setan pastilah dibenci dan dimusuhi. Sebab ia adalah makhluk yang kerjanya hanya satu, menggoda manusia agar masuk neraka bersamanya. Segala cara dilakukan setan agar manusia tergoda melakukan kejahatan dan kemaksiatan. Karena itu, meski sangat sering disebut dalam kitab suci. Namun semua sebutan itu bersifat negatif dan menghujat.

Akibatnya, setan memiliki citra dan arti yang sepenuhnya negatif. Segala yang jahat diberi cap setan. Di Amerika Serikat, para pemuja setan yang melakukan ritual dengan cara-cara mengerikan yang diramaikan dengan seks bebas serta narkoba, dianggap sebagai ungkapan tentang sisi buruk manusia. Setan adalah keburukan, kejahatan dan kemaksiatan. Setan adalah makhluk yang paling dibenci.

Namun kini nama setan semakin populer. Bedanya popularitas setan kali ini justru disenangi dan dicari. Setan sungguh digemari dan disukai. Banyak orang yang menjadi penggemarnya. Setan dimaksud adalah rawon setan. Jenis makanan yang berasal dari Jawa Timur dengan gaya baru. Kata setan digunakan untuk menunjukkan kualitas rasa pedas rawon. Nama rawon setan benar-benar populer. Penggemarnya sangat banyak.

Tidak hanya setan. Gila juga kini disukai dan dicari-cari. Banyak orang rela antri untuk merasakannya. Gila yang dicari ini adalah nasi goreng gila. Meski harganya sangat mahal jika dibandingkan nasi goreng biasa dan spesial, namun penggemarnya sangat banyak. Nasi goreng gila berisi macam-macam campuran. Ada baso, sosis, daging ayam dan kambing, juga jeroan. Masih ditambah dengan macam-macam sayuran. Rasanya campur aduk.

Ada pula ayam lepas, bebek nangis, bakso nuklir, tahu petasan, sop janda, es pocong, piscok (pisang coklat) meller. Istilah meller selama ini dikaitkan dengan ingus yaitu lendir yang keluar dari hidung, terutama saat flu. Kini istilah itu dilekatkan dengan makanan. Penggemarnya bukan saja tidak terganggu dengan istilah meller itu, malah sangat menyukai dan menikmatinya.

Mungkin saja penggunaan nama-nama makanan yang tergolong tidak biasa dan aneh ini sengaja dibuat untuk menarik perhatian. Sebagai bagian dari promosi di tengah banyaknya produk sejenis. Membuat nama yang beda, aneh, dan ekstrim boleh jadi bisa menimbulkan kejutan dan rasa ingin tahu serta ingin mencoba.

Namun, perlu juga dicari tahu, mengapa yang dipilih adalah nama atau istilah yang cenderung negatif seperti setan, gila dan meller? Dulu orang memberi nama makanan dengan cara mengaitkan maknanan dengan tempat asalnya seperti sate Padang, martabak Bangka, somay Bandung, soto mie Bogor, gudeg Jogja, mie Aceh, dan sejumlah nama lain. Meski ada bingka Ambon yang ternyata dibuat di Medan.

Kini nama yang muncul adalah setan dan gila. Ada apa gerangan?

Bahasa dapat menunjukkan realitas atau keadaan suatu zaman. Dulu, seorang lelaki merasa berdosa karena memimpikan seorang wanita. Kita bisa temukan dalam lagu Aryati karya Ismali Marzuki,

Dosakah hamba
Mimpi berkasih dengan tuan
Ujung jarimu
Kucium mesra tadi malam
Dosakah hamba
Memuji dikau dalam mimpi
Hanya dalam mimpi.

Pada waktu itu, sopan santun memang masih sangat terjaga. Apalagi dalam hubungan perempuan-lelaki. Perempuan disapa dengan tuan, sebentuk penghargaan yang menunjukkan penghormatan dan kemuliaan.

Coba bandingkan dengan lagu berikut,

Surti dan Tejo
(Jamrud)

Surti remaja anak bapak kades
Dan si tejo jejaka baru aja mudik
Berdua saling mencinta sejak lulus sd
Hingga kini beranjak gede

Surti sumringah arjunanya pulang
Tiga tahun berpisah nyari dana di kota
Mereka melepas rindu di pematang sawah
Hingga malam selimuti desa

Jemari tejo mulai piknik
Dari wajah sampai lutut surti
Tanpa sadar sarung merekapun jadi alas
Mirip demo memasak
Tejo mulai berakting di depan
Surti masang alat kontrasepsi

Surti menjerit serentak menutup matanya
Surti menangis kecewa arjuna berubah

Hilang tejo yang dulu ngampung, dekil, lugu tapi surti suka
Berganti tejo yang gaul, yang fungky yang doyan ngucapin “embeeer”

Surti berlari kayak kesurupan
Dan si tejo ngelamun menahan konaknya
Diacungkan jari tengah ke arah surti
Penuh dendam bilang “Fuck you”

Bukan saja apa adanya, juga dengan sangat gamblang menunjukkan perilaku sangat buruk lelaki terhadap perempuan. Dalam lagu itu juga terdapat kata kasar yang berupa makian. Kata yang biasanya muncul di jalanan di antara mereka yang kurang mengenal sopan santun. Namun, itulah realitas kekinian kita.

Perhatikan cara bicara para petinggi dan politisi di telivisi dan media sosial. Sering kita kaget dan terheran-heran. Apa mereka lupa bahwa omongan dan perilaku mereka ditonton anak-anak yang dengan susah payah kita ajari dan tunjukkan nilai-nilai luhur di rumah dan sekolah?

Cermati pula sejumlah stasiun televisi yang dengan sengaja menyajikan acara yang penuh dengan ledekan, saling ejek menggunakan pilihan kata yang sama sekali tidak pantas dan memamerkan perilaku yang pasti bisa merusak anak-anak yang menonton, sebagai sajian utama pada jam tayang terbaik. Saling maki dan pukul justru merupakan menu pilihannya.

Pun, jangan lupakan berbagai ungkapan sekaligus gambar beragam iklan yang juga menunjukkan cara ungkap yang sangat mengarah pada pemaknaan yang cenderung negatif. Iklan macam-macam produk.

Pastilah yang paling parah dan mengerikan ungkapan yang muncul di media sosial. Semua kata kasar, vulgar, caci maki, hujatan, fitnah, dan semua yang kotor serta menjijikkan muncul setiap saat. Bila dengan cermat memperhatikan perbincangan di media sosial sungguh akan menimbulkan rasa ngeri. Perubahan apa yang terjadi dalam masyarakat kita sehingga orang-orang bisa seenaknya menggunakan bahasa yang tidak pantas untuk berkomunikasi?

Perubahan rasa bahasa yang tercermin dari perubahan cara ungkap seperti yang kini mengepung kita semua, boleh jadi merupakan salah satu indikator bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai utama dalam masyarakat kita. Bahkan pada komunitas tertentu, mungkin telah terjadi pembalikan nilai-nilai.

Sejak lama, masyarakat kita mengenal tabu dalam bahasa. Artinya ada larangan untuk mengucapkan kata-kata tertentu karena dirasakan kurang atau tidak sopan. Fakta itulah yang mendorong penghalusan ungkapan. Kita akan mohon permisi ke belakang, jika ingin buang hajat. Kita menyebutkan si fulan, sebagai nama pengganti bagi orang yang diduga melakukan tindakan yang kurang baik. Ini dilakukan untuk tetap menghormati si pelaku.

Kita juga diminta sangat berhati-hati bila berkomunikasi dengan anak-anak atau bila ada anak-anak ada di sekitar kita. Ada kata-kata yang sebaiknya tidak didengar oleh anak-anak. Aturan-aturan kebahasaan ini tidak ada hubungannya dengan feodalisme atau adanya tingkat-tingkat kelas dalam masyarakat. Tetapi sepenuhnya terkait dengan kesantunan berbahasa sebagai bentuk saling menghormati antarsesama.

Kita juga tidak akan pernah lupa bahwa Orde Baru di bawah komando Suharto melakukan manipulasi bahasa untuk membangun citra baru tentang realitas. Salah satu caranya adalah memanfaatkan penghalusan bahasa. Itulah sebabnya pada zaman Orde Baru tidak pernah terjadi kenaikan harga-harga, yang terjadi adalah penyesuaian harga. Mereka dengan canggih mengubah makna banyak kata, tentu saja memanfaatkan ahli-ahli bahasa. Siapa pun yang berbeda pendapat dengan pemerintah disebut “mbalelo” atau pembangkang. Lebih parah lagi mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah dituduh pengkhianat. Mereka yang mengeritik kebijakan pemerintah disebut menghina kepala negara dan banyak yang masuk penjara.

M. Natsir, Ali Sadikin dkk yang melakukan kritik terbuka secara tertulis terhadap berbagai kebijakan dan keputusan politik Suharto sebagai presiden, dituduh mengancam dan mengkhiananti Pancasila dan negara. Rupanya Suharto telah mengidentikkan dirinya dengan Pancasila dan negara. Nyaris mirip Fira’aun yang merasa dirinya adalah Tuhan.

Orde Baru juga menciptakan istilah ekstrim kiri dan ekstrim kanan untuk mengkategorikan siapa pun yang dianggap berbeda pendapat dengan pemerintah. Ekstrim kiri merupakan istilah untuk melabel siapa pun yang dianggap memiliki ideologi kekiri-kirian yaitu komunis. Sedangkan ekstrim kanan merupakan kategori untuk para pengeritik yang berbasis agama terutama Islam.

Rekayasa bahasa pada masa Suharto menunjukkan betapa otoriternya Orde Baru. Mereka dengan sengaja menciptakan berbagai istilah yang maknanya ditentukan secara sepihak untuk menggerus habis siapa pun yang tidak sejalan dengan mereka. Mereka menciptakan istilah pekat, singkatan penyakit masyarakat. Tetapi tidak ada istilah untuk menunjukkan penyakit pejabat yang korup dan sangat merugikan masyarakat.

Kini keadaanya berubah. Masyarakatlah yang aktif menciptakan beragam istilah dengan makna baru. Pada satu sisi ini menunjukkan kebebasan yang sangat luas bagi individu dan masyarakat untuk berkreasi dan bereskpresi. Namun, digunakannya sejumlah istilah yang makna dasarnya telah terbentuk negatif seperti setan, untuk sesuatu yang tidak biasa dikaitkan dengan setan, dan menimbulkan makna yang lebih positif, juga menunjukkan telah terjadi perubahan cara berfikir dan merasa. Maknanya mereka menghayati hidup dengan nilai dan cita rasa baru.

Panggunaan kata-kata dan istilah yang diarasakan kurang pada tempatnya dalam komunikasi keseharian, termasuk lagu, juga menunjukkan perubahan dan arahnya. Masyarakat kita tampaknya sangat menikmati kebebasan berekspresi dan mendorong sebagian dari mereka jadi berbuat sekenanya dan seenaknya.

Perubahan dalam penggunaan bahasa, paling kurang menunjuktegaskan bahwa telah terjadi perubahan penghayatan terhadap nilai dan cara fikir tertentu.

BAHASA MEMANG DAPAT MENUNJUKKAN BANGSA.

* Dr. Nusa Putra adalah dosen UNJ