Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Saat menghadiri wisuda pada perguruan tinggi tempat penulis hijrah, ada moment yang sangat mengharukan, yaitu: wisudawan diwajibkan sungkem kepada orang tuanya, dan membawa seorang anak yatim untuk disantuni. Memang waktu menjadi panjang, tetapi apalah arti waktu manakala itu berurusan dengan keilahian.
Bisa dibayangkan, wisudawan setelah menerima ijazah dari Rektor dan didampingi Dekan, selanjutnya menuju samping kiri podium di sana sudah menunggu orang tua wisudawan didampingi anak yatim. Kemudian wisudawan sungkem kepada orang tua, jelas pecah tangis haru, bahagia, gembira menjadi satu. Betapa dahsyatnya peristiwa “langit” itu terjadi di bumi ini, ditengah kegembiraan tetap diserati rasa syukur yang diwujudkan berbagi pada sesama yang kurang beruntung. Menurut orang nomor satu di perguruan tinggi ini, beliau pernah mewawancarai wisudawan, ternyata banyak diantara mereka yang baru kali itu sungkem diatas dengkul orang tuanya, selama ini justru budaya cipika-cipiki yang berkembang, dan semua kita mengetahui bahwa itu bukan budaya atau kebiasaan anak kepada orang tua pada masyarakat kita.
Tradisi sungkem sendiri dalam telusuran sejarah dimulai sejak berasal dari kata sungkem yang artinya bersimpuh atau duduk jongkok sambil mencium tangan orang yang dituakan. Umumnya, sungkeman dilakukan oleh anak-anak kepada orang tua atau orang muda kepada orang yang lebih tua. Sungkeman bertujuan untuk meminta maaf atas kesalahan ucapan atau tindakan yang dilakukan agar dosa dan kesalahan dapat terhapus serta mengharapkan doa kebaikan dari orang yang dituakan. Terbayang saat penulis kecil harus belajar menggunakan bahasa jawa kromo inggil guna sungkem kepada Bapak-ibu pada saat Lebaran Idhulfitri. Gembira, senang, haru bercampur menjadi satu saat itu, bergerombol teman sebaya keliling kampung mengujungi orang-orang tua; walaupun alasan utamanya adalah minum sirup yang pada waktu itu barang langka dengan kacang goreng. Pada orang-orang tertentu dan kami mempunyai peta cognitive map sering memberi uang satu rupiah pada waktu itu atau paling tinggi dua setengah rupiah, bahasa waktu itu disebut seringgit, uang kertas berwarna merah. Senagnya bukan main jika mendapatkan itu dan sering jadi kebanggaan. Indahnya waktu kecil yang tinggal kenangan itu.
Tradisi sungkeman ini dalam catatan sejarah dimulai pada masa pemerintahan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkunegara I (1757-1795). Setelah Shalat Idulfitri, Mangkunegara I berkumpul bersama keluarga dan saling bermaafan. Diawali sungkeman para istri dan putra dalem dilanjutkan para kerabat, punggawa dan rakyat. Tradisi ini menggambarkan kedekatan raja dengan kerabat, punggawa dan rakyat.
Tradisi ini kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dan masyarakat umum. Hingga sekarang masyarakat Jawa masih melanjutkan tradisi ini sebagai wujud tanda bakti terhadap orang yang lebih tua. Sungkeman dilakukan dengan cara berlutut atau berjongkok didepan orang tua yang duduk di tempat yang lebih tinggi. Lalu kedua tangan mengapit tangan orang tua dengan kepala menunduk sambil mengucapkan kalimat sungkem dengan bahasa seperti dijelaskan di atas. Setelah selesai, diakhiri dengan mencium tangan orang tua.
Jika budaya yang ditegakkan oleh univeritas ternama seperti tempat penulis sekarang, dan kebijakkan rektor yang menghidupkan muatan local, rasanya tidak berlebihan jika budaya ini merupakan potensi untuk dikembangkan lebih jauh lagi. Selama ini di sekolah-sekolah sudah dikembangkan, namun tidak maksimal. Sementara pada masyarakat akademik budaya ini justru sudah tergerus karena dianggap ortodoks, tidak modern. Justru masih kental dan diterapkan lebih banyak pada pesantren-pesantren, oleh sebab itu adab mereka lebih mewarnai ahlak mereka.
yangnya pada tataran formal perilaku adab seperti ini sudah mulai tergerus, sehingga tampak sekali bagaimana pemimpin pengganti selalu merasa lebih dari yang digantikan. Mantan orang nomor satu di provinsi ini pernah mengeluh dan mengeluarkan isi kebun binatang dari mulutnya, gara-gara telpon berkali-kali kepada penggantinya, tidak diangkat. Beliau berceloteh, sebelum jadi waktu saat pencalonan meminta restu berkali-kali datang kekediaman beliau, bahkan sedang tidur pun ditunggu. Sekarang mau menerima telpon pun sudah ogah. Apa lagi mau bersalaman untuk sedikit menundukkan kepala. Pasti tidak akan bisa melakukan.
Berbeda dengan almarhum BJ.Habibi. Begitu beliau seleh keprabon, langsung berucap “Saya tidak akan mau ikut campur tangan kepada pengganti, justru sebisa saya memberikan nasihat jika diminta”. Sampai akhir hayat beliau prinsip ini tetap dipegang. Semua pengganti beliau akan hormat dengan tegap di hadapan Sang Maestro.
Semoga kita tidak bosan-bosannya memelihara dan melestarikan adat ketimuran “meninggikan seranting pada yang lebih tua, membimbing sepandan kepada yang muda, memberi contoh kepada yang masih belia”.
Salam waras.