Surat Terbuka untuk Pak Jokowi dan Pak JK

Bagikan/Suka/Tweet:

 

Pak Jokowi dan Pak JK yang saya hormati. Untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di perdesaan, saya rasa sudah saatnya kita memliki sebuah kementerian yang
dirancang khusus untuk mengatur dan mengurus hal-hal yang berkaitan masalah agraria dan pembaruan perdesaan. Berikut beberapa catatan saya tentang keniscayaan ini.
Pengakuan dan penghomatan atas hak-hak masyarakat desa atau disebut dengan nama lain sejatinya sudah menjadi komitmen sejak awal Negara Republik Indonesia ini didirikan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada Pasal 18B ayat (2) dinyatakan secara tegas bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (baca: desa atau disebut dengan nama lain, pen) beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Amanat konstitusi tidak saja menyangkut soal pengakuan dan penghormatan, tetapi juga mengatuir soal kewajiban Negara untuk MELINDUNGI, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28I ayat (3) yang mengatakan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”; dan ayat (4) yang menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Komitmen itu diteruskan pula dalam bentuk keharusan Negara untuk MEMAJUKANNYA, sebagaimana yang diamanatkan pada pasal Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”; dan ayat (2) yang menyatakan “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.
Persoalannya adalah, hingga sebelum reformasi bergulir pada tahun 1998 yang lalu, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat desa cq. masyarakat (hukum) adat itu secara lebih jelas. Kecuali Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA 5/1960) yang mengandung sejumlah pasal tentang pengakuan dan pengaturan lebih lanjut tentang hak-hak masyarakat (hukum) adat
atas tanah dan sumberdaya alam pada umumnya.
Belum lagi amanat UUPA 5/1960 itu dilaksanakan sebagaimana mestinya, seiring dengan naiknya Rezim Orde Baru, alih-alih melaksanakan perintah UUPA 5/1960, sejumlah Undang-Undang sektoral yang lahir pasca Tahun 1967, hak-hak masyarakat adat itu justru dibekukan! Malah, melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang pasca-reformasi yang direvisi melalui pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999) misalnya, hutan adat ‘dirampok’ dan dijadikan hutan Negara; dan menjadikan hutan adat itu dibawah pengendalian mutlak oleh Pemerintah cq. Kementerian Kehutanan.
Hutan-hutan adat itu pun kemudian, sebagaimana pula yang terjadi pada tanah-tanah adat cq. tanah-tanah ulayat pada umumnya, beralih-tangan pada pihak-pihak lain (baca: investor) tanpa persetujuan dang ganti rugi yang layak bagi masyarakat adat itu. Masyarakat adat pun menjadi pengungsi di tanahnya sendiri!
Pada sisi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa dan perdesaan desa, hak untuk mengatur rumah-tangganya sendiri cq. ‘otonomi desa’ yang dijamin Konstitusi dilanggar oleh pemberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa (UUPD 5/1979) yang menyeragamankan bentuk dan susunan (Pemerintahan) Desa. Tatanan sosial, ekonomi, budaya, dan politik Desa pun porak-poranda. Tatanan kehidupan di desa, atau yang disebut nagari di Minangabau, desa pekraman di Bali, marga di Sumatera Bagian Selatan, ngata di salah satu komunitas adat di Sulawesi Tengah, dan ratusan sebutan lainnya di seantero negeri mengalami krisis sosial dan ekologi.
Lebih ironis lagi, sebagaimana dapat dibaca pada bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang juga menggantikan UUPD 5/1979, disebutkan bahwa UUPD 5/1979 itu tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945!
Saat ini setidaknya ada 11 undang-undang mengatur soal mengatur pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat itu. Meski begitu, alih-alih memperkuat posisi masyarakat adat dalam tatanan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya di Negari ini, yang terjadi justru tetap sebaliknya. Hal ini terjadi karena masing-masing undang-undang memiliki konsepsinya sendiri yang dikembangkan sesuai dengan kepentingan sektor yang bersangkutan itu sendiri. Tak jarang pengakuan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan itu justru sebagai cara untuk menyingkirkan masyarakat adat itu sendiri melalui penerapan kriteria yang a-historis dan cenderung bersifat manipulatif alias ‘pengakuan negatif’.
Akibat pengabaian Negara selama ini terhadap sejumlah amanat konstitusi terkait desa atau disebut dengan nama lain itu adalah tetap terbelakanganya kehidupan dan penghidupan masyarakat desa di seantero negeri. Konflik agraria yang bersifat strukural pun menjadi persoalan akut dan permanen, serta telah mengorbankan kehidupan dan kesejahteraan jutaan warga Negara yang tinggal di perdesaan ataupun daerah-daerah perdalaman. Krisis ekologis pun kehilangan dasar pijak untuk pemulihannnya.
Syukurlah, dan kita harus memberikan apresiasi yang tinggi kepada Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang telah mengambil inisiatif untuk melakukan judicial review atas beberapa pasal UU 41/1999. Atas gugatan AMAN tersebut Mahkamah Konstitusi telah pula mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012. Salah satu hal yang terpenting dari MK 35/2012 itu adalah bahwa Mahkamah Konstitusi telah menetapkan sejumlah kriteria untuk menentukan apakah suatu komunitas tertentu itu adalah masyarakat adat atau tidak.
Perlu dicatat bahwa persoalan kriteria untuk menentukan suatu komunitas itu merupakan suatu masyarakat adat atau tidak telah menjadi perdebatan akademik dan politik yang tidak berkesudahan, dan menjadi kendala bagi operasionalisasi amanat  pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat itu di sepanjang usia Republik. Sehingga, penetapan kriteria dimaksud ke dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diamanatkan oleh MK 35/2012, secara langsung berimplikasi pada adanya keharusan Pemerintah melakukan sejumlah perubahan pada berbagai peraturan perundang-undangan sektoral, dan itu adalah suatu pekerjaan yang sangat mendesak.
Berpedoman pada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dan telah digunakan sendiri oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang tercerminkan dalam Putusan MK 35/2012, pada awal tahun ini, tepatnya tanggal 15 Januari 2014, Presiden telah menandatangani Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UUDesa 6/2014) sebagai SALAH SATU jawaban atas ‘hutang negara’ dalam hal pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ini.
Undang-undang baru ini sejatinya adalah sebuah peraturan perundang-undangan yang membawa semangat perubahan dan pembaruan perdesaan yang mendasar, yang membutuhkan perubahan cara kerja mekanisme dan budaya birokrasi yang mendasar
pula.
Mengingat persoalan-persoalan yang telah disebutkan di atas maka pembentukan sebuah Kementerian yang memiliki tugas pokok mengatur dan mengurus persoalan agraria dan pembaruan perdesaan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Samberdaya Alam; Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang Peninjauan Kembali atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999; serta pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara murni dan konsekuen.
Dengan adanya ‘Kementerian Agraria dan Pembaruan Perdesaan’ itu diharapkan segala kebutuhan akan perubahan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan di tingkat lapangan akan dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga perubahan-perubahan pada ranah agraria dan pembaruan perdesaan ini tidak lagi menjadi sekedar perubahan di atas kertas melainkan terwujud ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Melengkapi usulan
saya di atas, ada ada 3 nama dr sedikit calon yg pantas untuk posisi Menteri Agraria dan Pembaruan Perdesaan ini. Yaitu @Noer Fauzi Rachman, Ph.D, @Arya Hadi Dharmawan, Ph.D, dan @Budiman Sudjatmiko, M.Sc, M.Phil. Ketiganya adalah intelektual muda dan calon negarawan masa depan Indonesia. Semoga salah satu dari ketiga nama tersebut dapat menjadi alternatif masa depan bagi pengaturan dan pengurusan masalah agraria dan pembaruan perdesaan ke depan.

 

Demikian harapan saya. Lebih-kurangnya mohon dimaafkan. Selamat mengemban amanah Rakyat.
Salam hormat dari saya
Yando Zakaria