Metro  

Survei Pilkada: Warga Kota Metro Permisif Politik Uang

Bagikan/Suka/Tweet:
Kota Metro dilihat dari atas ketinggian. (Foto ©Yopie Pangkey)

BANDARLAMPUNG, Teraslampung.com – Hasil survei Rakata Institut yang dilansir pada Senin (31/8/2015) menunjukkan bahwa “politik wanipiro” perkirakan masih akan membayang-bayangi pilkada di Kota Metro. Menurut hasil survei Rakata Institute, sebanyak 58,25%  calon pemilih di Kota Metro menyatakan bahwa politik uang adalah sebuah kewajaran dan hanya sebanyak 34,75% menjawab sebagai hal yang tidak wajar. Menariknya, separo lebih pemilih merasa politik uang dapat memengaruhi pilihannya.

Survei yang dilakukn pada 27-29Agustus2015 itu menggunakan metode penarikan sampel acak bertingkat (stratified random sampling) berdasarkan tingkat kepadatan pemilih per kecamatan di KotaMetro, responden 400 orang, tingkat kepercayaan 95 persen, dan margin of error ±5 persen.

Data yang ditunjukkan hasil survei Rakata Institute menggambarkan warga Kota Metro sangat permisif terhadap politik uang. Pilkada yang transaksional pun sangat berpeluang terjadi. Dalam kondisi seperti itu, pasangan calon yang memiliki sumber dana besar dan pantai berstrategi dengan memanfaatkan sumber dana yang dimilikinya sangat berpeluang meraup suara besar.

“Artinya, Tim Gakkumdu (pengawaspemilu,kepolisian,dan kejaksaan) perlu kerja ekstra agar bisa mencegah pelanggaran semacam ini selama pilkada,” kata Direktur Rakata Institut, Eko Kuswanto, Senin (31/8).

Selain fakta itu, survei Rakata Institute juga menyodorkan fakta bahwa calon pemilih di Kota Metro cenderung memilih kandidat jalur parpol sebagai pilihannya dibandingkan kandidat dari jalur independen (perseorangan). Persentase calon memilih untuk memilih pasangan calon yang diusung parpol memperlihatkan angka yang lebih tinggi.

Hal itu tergambar ketika responden diberi pertanyaan “ calon walikota/wakil walikota dari jalur manakah yang lebih dipilih ibu/bapak/saudara?”. Ternyata, 72,72 persen akan memilih calon yang diusung parpol, 20, 75 persen akan memilih calon dari jalur perseorangan, dan 6,50 yang tidak tahu/tidak menjawab.

Fakta ini sebenarnya juga tidak terlalu mengejutkan, karena memang masuk akal. Loginya, calon yang diusung parpol akan lebih berpeluang memiliki ‘mesin politik’ lebih kuat dan jaringan lebih luas dibanding calon perseorang. Dengan catatan,  parpol pendukung calon bekerja maksimal dan tidak “masuk angin”.

Kesimpulan bahwa warga Kota Metro permisif terhadap politik uang sebenarnya bukan fakta baru. Pada Pilkada langsung 2010 lalu hal itu juga terjadi. Saat itu, peta dukungan bisa berubah drastis hanya dalam dukungan hari dan jam.

Seorang kandidat Walikota Metro 2015 mengaku, kerjanya selama berbulan-bulan membangun basis dukungan di kelurahan tertentu hancur berantakan hanya dalam waktu kurang dari seminggu.

“Sebuah kelompok masyarakat di satu kelurahan sebelumnya meyakinkan kami akan mendukung kami. Dalam hitungan kami, di kelurahan tersebut kami akan dapat dukungan minimal 40 persen suara. Nyatanya, suara kami jeblok di situ. Itu karena ‘gerilya’ dari kandidat lain dilakukan hingga menjelang hari H pencoblosan.. Dan ‘gerilya’ itu bukan dengan tangan kosong,” kata sumber tersebut.


Rl