Suwung

Bagikan/Suka/Tweet:

Cerpen Yulizar Fadli

“The Museum”: Van Gogh (wikimedia)

SUWUNG: kelurahan kecil di sudut kota Karangan. Penduduknya tak lebih dari 365 jiwa. Ada yang berprofesi pedagang, pemulung dan (dalam jumlah sedikit) pekerja kantoran. Alkisah, di sinilah sebuah drama sederhana bakal digelar.

Dimulai dari Bawon yang berteriak sambil membanting gelas kopinya yang masih penuh. Pasalnya, lelaki jangkung berambut keriting dan bermata lebar yang baru empat bulan lalu didapuk menjadi lurah itu dituding warga tak cakap melambuk keamanan. Tak hanya itu, warga juga menuntut agar si lurah segera membereskan masalah di tempat pembuangan akhir, yang jika musim hujan tiba, bau gunungan sampahnya menguar ke mana-mana dan menyebabkan pencemaran udara.

“Ada apa toh, Pak? Pagi-pagi kok sudah uring-uringan!” oceh Mariyam, istrinya yang berhidung mancung sembari memungut satu per satu pecahan gelas kemudian mengeringkan ceceran cairan hitam yang masih hangat di atas marmer putih dengan kain pel.

“Sudah, jangan banyak omong. Cepat kamu berkemas dan bawa anak kita pergi ke rumah orangtuamu!”

“Memangnya ada…”

“Haah! Cepat sana!” potong Bawon sembari menggebrak meja kemudian berdiri dan melotot ke arah Mariyam. “Minta anter sopir! Jangan pulang sebelum kujemput!”

Tanpa menjawab, perempuan sintal itu melangkah cepat menuju dapur kemudian masuk kamar membereskan pakaian sekaligus mengajak Nila—anak gadis mereka yang baru selesai mengenakan seragam putih-biru—pergi meninggalkan lelaki jangkung berambut keriting yang sudah kembali duduk di sofa dengan napas tersengal.

Beberapa menit setelah anak-istrinya pergi dan napasnya kembali normal, Bawon menelepon Udin, penasihatnya, untuk segera datang ke rumah.   

Sejak Pak Kayun meninggal, kelurahan Suwung jadi tak aman: rumah-rumah warga dirampok dan kendaraan-kendaraan mereka dibegal di tengah jalan. Warga juga sempat bergunjing perihal kematiannya. Ada yang bilang ia diguna-guna saingannya. Tapi sebagian lagi berpendapat ia bunuh diri karena istri mudanya kabur dengan pemuda lain. 

“Saya rasa dia kena serangan jantung. Maklumlah, sudah tua,” kata seorang warga menutup perbincangan sambil memegang pemukul kentongan pada suatu malam di gardu pos ronda.

Keadaan juga diperkeruh dengan perginya Kang Juman ke bukit Sulahan, tak jauh dari kota Karangan. Ia sengaja mengundurkan diri dari kepoldesannya secara terhormat karena tak sudi dipimpin orang lain selain Kayun. Orang-orang Suwung mafhum akan keputusan Juman, sebab mereka tahu, sejak bujang Juman sudah tinggal di rumah Kayun dan diangkat sebagai anak kesayangan almarhum. Lelaki bertubuh kekar—dari tubuhnya aroma misik hitam menguar—yang tak pernah alpa menyelipkan sepasang golok beracun di pinggang; golok yang konon mampu membelah kepala orang sekalipun ia kebal, tak mempan segala jenis senjata, dan ditakuti di seluruh penjuru kota Karangan itu memang telah berjanji akan membunuh siapa saja yang menjadi lurah berikutnya.

PAGI itu, warga berkumpul di rumah Kang Kasan, lelaki yang ditakuti selain Kang Juman sekaligus yang hapal betul pukul berapa lurah Bawon ada di kantornya. Rambutnya lurus panjang, rambut itulah yang konon menjadi sumber kekebalannya. Kumisnya tebal melebihi Pak Raden. Ia juga didapuk oleh warga, meski belum sah bin resmi, sebagai calon lurah berikutnya. Di rumah itulah mereka berembuk melakukan pembusukan, mencari kelemahan, kejelekan, dan cacat kerja lurah Bawon.

Rapat berjalan seru karena sempat diwarnai adu tinju antara Kaci dan Kisju. Tapi untungnya Kang Kasan bisa segera mengendalikan keadaan. Rapat kembali berjalan damai dan diakhiri dengan satu kesepakatan: apa pun yang terjadi, lurah Bawon harus segera mengundurkan diri.

Usai rapat, dibuntuti matahari jam sembilan pagi, warga berbondong-bondong berjalan kaki mendatangi kantor kelurahan. 

“Sejak dipimpin lurah Bawon, pencurian semakin meraja lela,” kata seorang warga pada warga lainnya.

“Ya. Dulu, zamannya Pak Kayun, kelurahan Suwung ayem tentrem karta raharja. Nggak pernah ada kasus pencurian.”

Yang lain ikut menyeletuk.

“Tempat pembuangan akhir juga nggak parah kayak sekarang.”

“Adanya juga kasus edan. Kasus pencurian hati yang dilakukan para gadis terhadap bujangnya.”

“Ladalah, itu mah sudah terjadi sejak zaman nabi Adam.”

Sebagian dari mereka cekikikan sambil saling tunjuk dan sesekali mendorong pundak. Hal itu mengundang Kang Kasan mengeluarkan bentakan.

“Sssttt! Hehh! Fokus pada masalah! Kita ini mau demon, bukan guyon!”
Semua orang diam karena teringat motor, kambing, dan unggas yang kadung digondol begal dan maling. Dengan mata mencelang, mereka kembali berjalan menuju kelurahan yang sudah mulai nampak bangunannya.

Di bawah tiang besi bendera yang sudah karatan, warga langsung melempari kantor dengan batu sambil terus meninju-ninju udara.

“Mundur sekarang juga!”

“Ya sekarang juga!!!”

Teriakan kasar dari mulut puluhan orang yang seperti dirasuki demit neraka itu makin menambah heboh keadaan. Salah satu dari mereka, Kaci, sudah menyiapkan bensin dan kain yang dibebani batu untuk disulut api kemudian dilemparkan ke bangunan berukuran 20×16 meter itu. Dua kali Kaci melemparnya. Para pegawai yang mayoritas ibu-ibu berteriak-teriak dan menghambur keluar lewat pintu belakang. Ada pula yang nekat lewat pintu depan karena ingin menyelematkan sepeda motornya. Tapi tak jadi. Karena kendaraan roda duanya sudah lebih dulu dilahap api.

Sementara di halaman belakang kantor, beberapa warga sudah berjaga. Mereka tak hendak melukai bapak-ibu itu. Hanya satu orang yang mereka inginkan: Bawon!

“Sulut lagi. Lempar!!!”

Kaci, sambil berdiri di atas dudukan besi tiang bendera, langsung menyulut dan melemparnya untuk ketiga kali ke arah jendela. Bunyi kaca pecah hampir tenggelam oleh suara kerumunan orang yang terlanjur mengamuk. Aduh, apa untungnya membakar kantor? Bukankah merugikan kelurahan sendiri?

“Goblok! Jangan dibakar habis. Memangnya bisa kantor kelurahan dibangun pake gigimu yang merongos itu!” pekik Kasan sambil menyontoloyo kepala Kaci.

“Maaf, Kang. Saya emosi.”  

“Halah, telek!”

Lima orang masuk ke dalam kantor—sempat mengobrak-abrik dan menggasak uang dari laci keuangan—untuk mencari lurah Bawon yang ternyata tak ada di ruangannya. Mereka mengumpat, meninju pintu, dan membanting foto Bawon bersama walikota yang dipajang di atas meja kerja kemudian keluar melaporkan kejadiannya pada Kang Kasan. Mendengar itu, muka Kang Kasan merah padam dan sorot matanya berubah tajam. Ia berteriak sembari mengangkat tangan kanan, memberi tanda pada warga untuk segera menghentikan aksi mereka. Dalam hitungan detik, semua berhenti dan segera menghikmati titahnya.

PASTI Kasan biang keladinya!”

“Terus aku harus bagaimana?”

“Lapor polisi.”

“Aku sudah melapor dan menceritakan semuanya.”

“Mundur sekarang juga atau kabur dari sini.”

“Itu tidak menyelesaikan masalah, Din. Sebentar lagi mereka pasti menuju ke mari dan mengacak-acak rumah ini. Ah, untunglah aku sudah menyuruh istri dan anakku pergi ke rumah orangtuanya di Bandaran.” Kemudian ia mengepalkan tinju, “Hah! Memang bangsat si Kasan! Dia sengaja membuat namaku jelek di mata warga! Padahal dia sendiri otak semua pencurian dan perampokan di Suwung ini. Dia juga yang memaksa pekerja di tempat pembuangan akhir mangkir selama dua bulan.” Kali ini suaranya ditekan, “dan dia juga tahu kalau aku saksi kunci atas pembunuhannya terhadap Pak Kayun. Kalau pun aku mundur, dia tetap akan membunuhku, Din!” katanya sembari duduk di sofa ruang tamu dan sebentar-sebentar menggeser pantat kemudian memanjangkan leher ke halaman depan. 

Salah satu dari mereka tiba-tiba melihat kelebat di depan pintu.

“Siapa itu?!” Bawon bangkit berdiri dan memeriksa keadaan luar.

“Siapa apanya. Aku nggak ngeliat apa-apa.”

“Aku lihat ada orang di balik pintu ini.”

“Jangan ngelantur, Won.”

“Aku lihat dia. Aku lihat dengan mata kepalaku, Din.”

“Ya. Tapi siapa? Buktinya nggak ada apa-apa kok!” Sambil memegang jidat lebar lawan bicaranya, “apa kamu sakit?”

“Aku takut, Din.”

Ketika keduanya selesai mengunci pintu, menutup korden, membalikkan badan, dan berjalan menuju sofa, tiba-tiba mulut mereka menganga dan tubuh mereka seperti pohon ditebang.

“Mundur! Mundur! Mundur!” teriak puluhan orang yang sudah berada di depan pagar rumah Bawon.

“Keluar kamu, Won!”

“Sudah… robohkan atau panjat saja pagar sial ini!

Satu per satu warga memanjat pagar tembok setinggi 2 meter itu dan langsung masuk ke dalam rumah. Salah seorang dari mereka, yang sudah lebih dulu mendobrak pintu dan sampai di ruang tamu, berteriak lantang.

“Bawon dan Udin mati. Kepala mereka terbelah dua!!!”

Tak selang beberapa lama, Kasan bersama warga berkumpul berdesakan menyaksikan secara bergantian betapa kedua orang itu telah tergeletak tak bergerak. Darah mengalir dari belakang kepala dan menggenang di lantai marmer putih. Kasan merunduk dan akhirnya berjongkok di dekat kepala dua mayat itu. Warga sibuk bergunjing satu sama lain, menduga-duga siapa gerangan pembunuhnya. Sebagian lagi mendekat dan memberanikan diri bertanya pada Kang Kasan. Tapi yang ditanya tak menjawab. Ia malah mengernyitkan dahi kemudian mengangguk pelan sambil terpejam ketika dari lubang hidungnya tercium aroma minyak misik hitam menyengat. Pelan-pelan Kasan bangkit dari jongkoknya. Beberapa warga mundur satu-dua langkah untuk memberikan ruang agar berdiri pimpinan mereka leluasa.

“Siapa lagi!” desis Kasan pada diri sendiri sembari mengepalkan kedua tangan, menyunggingkan bibir, dan mengangguk berkali-kali. Tapi anggukannya segera terhenti. Matanya mendelik seperti keselek ratusan duri. Warga sempat melihat dan ingin meneriaki Kasan ketika kilatan golok mengarah ke kepalanya. Tapi teriak mereka terlambat karena tubuh Kasan sudah keburu rubuh di samping mayat Bawon dan Udin. Mereka menjerit ketika melihat otak Kasan keluar dari batok kepalanya yang terbelah dua. Bau anyir dan misik menguar bergantian. Masing-masing warga, dengan gerak cepat, menoleh ke kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah, kemudian lari kocar-kacir meninggalkan ruangan itu.

Sementara di luar, di empat sisi rumah si mati, puluhan polisi sudah mengepung dengan senjata api.

Gunung Terang, Maret 2013

*Cerpen ini telah dipublikasi di Lampung Post, 25 Agustus 2013

_________________
 Yulizar Fadli, lahir di Lampung Timur, 24 Juli 1986. Alumnus Universitas Lampung. Program Studi Bahasa Inggris. Karyanya berupa Cerpen dan cerita anak dimuat di Lampung Post, Koran Sindo, dan Jurnal Nasional. Dua cerpennya termaktub dalam antologi bersama. Diberi judul “Kawin Massal”, Januari 2012. Sehari-hari bergiat di Komunitas Berkat Yakin Lampung.