Oyos Saroso H.N.
Pada sepenggal waktu perjalanan era reformasi di Indonesia, ada seorang bupati sangat populer di daerahnya dan (konon) dicintai rakyatnya. Saking terkenalnya (dan dicintai rakyatnya), sampai-sampai ketika pilkada langsung akan digelar banyak calon yang sudah keder duluan sebelum mendafardi KPU.
Dan memang, ketika pilkada digelar dan suara dihitung hasilnya tidak meleset dari perkiraaan. Ia sukses meraup suara mayoritas.
Tentu ia senang. Namun, yang lebih senang lagi adalah wakilnya. Sebab, sang wakil sebelumnya bukanlah siapa-siapa. Setidaknya, jika dibandingkan sang bupati, populer pak wakil kalah jauh.
Menangapi kemenangannya, sang bupati cuma bicara enteng: “Waktu pilkada kemarin, dipasangkan dengan monyet pun saya akan menang!”
Jangan suuzon dulu. Komentar pak bupati itu cuma candaan enteng saja. Ia tidak bermaksud meremehkan wakilnya. Ia hanya ingin menggambarkan bahwa keterkenalannya plus kecintaam rakyat terhadapnya sulit untuk ditandingi. Tentu ada pengecualiannya, yakni bila saja pada waktu itu ada orang superkaya yang jadi bandar dan dengan uang tak berseri mengebom kantong-kantong suara gemuk dengan uang kertas berkarung-karung.
Tidak. Pada zaman itu belum ada orang kaya senekat itu. Rakyat di wilayahnya pun masih tampak baik hati dan mau mengingat kebaikan orang lain. Itulah sebabnya, modal sosial yang pernah ditanam pak bup yang flamboyan itu masih terkenang-kenang di sanubari rakyat. Dan, ketika mereka berada di dalam bilik te-pe-es, yang tergambar cuma sosok pujaannya.
***
Kini musim pilkada datang lagi. Naga-naganya tidak ada monyet ikut pilkada. Di enam kabupaten dan dua kota di Lampung yang akan menggelar pilkada pada Desember 2015, semua calonnya adalah manusia. Tentu mereka juga terkenal, baik hati, pintar, taat beribadah, dan rajin menabung…. hehehehe….
Kita layak bersyukur tak ada monyet yang ikut pilkada. Sebab, jika itu terjadi, maka pertarungan tidak akan seru karena bosnya monyet (baca: calon kepala daerah yang sangat populer dan kans menangnya sangat besar) pasti akan menang mutlak.
“Nggak ngair!” kata kawan saya, Markesot.
“Ora nglawan!” kata Mat Serabi, bos mak nyus dari kampung sebelah.
Tapi saya tetap percaya, meskipun tidak ada monyet yang ikut pilkada, usai pilkada akan muncul sosok-sosok yang diposisikan seperti monyet dalam istilah pak bupati yang jadi tokoh kita di awal tulisan ini. Ya. Mereka adalah sosok-sosok wakil yang keberadaannya acap seperti ban serep yang terkadang dibutuhkan dan terkadang dianggap bikin ribet.
Pengalaman jadi serupa monyet, eh, ban serep itulah sepertinya yang membuat para wakil kepala daerah beramai-ramai ingin menjajal ‘kesaktian’ untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Ada yang beruntung. Tetapi banyak juga yang buntung.
Kita juga layak bersyukur pada musim pilkada kali ini tidak ada lagi orang sakti serupa Prabu Bandung Bondowoso, yang karena kesaktiannya bisa mengaspal jalan jadi mulus dalam tempo semalam. Gara-gara anak Prabu Bandung Bondowoso ikut pilkada, pernah terjadi APBD suatu daerah minus karena uangnya mengalir ke daerah lain karena di sana anaknya Prabu Bandung nyalon jadi kepala daerah…
***