Nusa Putra
Jokowi adalah kontrovesi. Selalu, dan mungkin selamanya.
Mungkin ini rekor yang sulit ditandingi. Mengganti lima menteri dan satu pejabat setingkat menteri, belum satu tahun pemerintahan. Tidak pernah terjadi sebelumnya. Gus Dur sewaktu jadi presiden juga suka gonta-ganti menteri. Tetapi tidak secepat dan sebanyak ini sekaligus.
Kita tahu, tidak mudah bagi Jokowi menyususn kabinet setelah terpilih menjadi presiden dan dilantik. Penundaan pengumuman kabinet terjadi berkali-kali. Jokowi sampai melibatkan KPK dan PPATK. Diduga ia lakukan itu untuk merespon tekanan partai politik pendukungnya. Pastilah banyak tekanan saat menyusun kabinet. Sebab banyak kepentingan yang melekat dalam jabatan menteri.
Kala kabinet diumumkan, memang mengemuka keraguan terhadap sejumlah menteri. Apalagi tidak sedikit di antara menteri itu yang sangat minim pengalamannya dalam tatakelola birokrasi pemerintahan atau tatakelola organisasi berskala besar.
Baru saja kabinet terbentuk, sejumlah masalah yang tergolong krusial dan rumit muncul. Perseteruan KPK dan Polri, serta berlarut-larutnya keputusan tentang Kapolri merupakan ujian yang tidak mudah bagi menteri dalam lingkungan polhukam. Menko Polhukam tampaknya kurang berhasil menunjukkan kepemimpinan dan kinerjanya. Ia sempat jadi bulan-bulanan di meda massa dan media sosial karena ucapannya yang sangat tidak pantas tentang para pendukung KPK. Ucapannya itu sangat bertentangan dengan semangat dan janji kampanye Jokowi-JK tentang pentingnya rakyat dan kedaulatan rakyat.
Begitupun kebijakan yang ditempuh Menkumham menghadapi konflik partai politik. Terasa ada nuansa campur tangan dalam konflik itu untuk mengambil sejumlah keuntungan karena tidak seimbangnya kekuatan di parlemen. Karena Menkumham adalah kader PDIP, muncul tuduhan bahwa sang menteri lebih mengedepankan kepentingan partainya. Para politisi Golkar dan PPP serta pengamat sering mempertentangkan kebijakan Menkumham dengan ucapan Presiden Jokowi.
Ketidaksingkronan terjadi lagi karena terdapat perbedaan pendapat antara Presiden Jokowi dan Menkumham terkait dengan undang-undang KPK. Terakhir Menkumham kembali menjadi buah bibir karena memunculkan pasal penghinaan presiden.
Barangkali inilah alasan utama mengapa Menko Polhukam diganti. Dibutuhkan seorang Mengko Polhukam yang memiliki ketegasan, berbicara jelas, visioner, dan memiliki respon cepat, tepat, akurat. Menko Polhukam adalah tokoh utama yang memungkinkan ekonomi berjalan lancar, produktif, dan berkepastian. Mana ada pertumbuhan ekonomi tanpa stabilitas dan keamanan.
Dalam konteks inilah harus dilihat pentingnya mengganti Mengko Polhukam untuk menciptakan dan memastikan kondisi yang kondusif untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang semakin akut. Tentu saja, langkah itu baru memenuhi satu persyaratan. Persyaratan lain adalah sangat mendesak untuk mengganti Menko Perekonomian yang menjadi pusat masalah. Dibutuhkan seorang yang sangat berpengalaman dan memiliki reputasi yang baik, yang mampu meningkatkan kepercayaan, optimisme dan harapan.
Bila Menko Perekonomian memgurusi dan memastikan uruasan-urasan makro, salah satu bidang mikro yang juga mendesak untuk segera diperbaiki adalah perdagangan. Ada banyak masalah yang muncul selama sepuluh bulan pemerintahan dalam urusan yang satu ini. Melejitnya harga kebutuhan pokok hanyalah salah satu yang paling menonjol.
Lantas, mengapa Menko Kemaritiman juga diganti? Bukankah sejak awal Jokowi telah tegaskan hendak menjadi kekuatan maritim yang diperhitungkan. Tentu saja tidak dalam konteks kekuatan dan hegemoni militer. Tetapi sebagai kekuatan ekonomi, karena kita ditakdirkan merupakan negara maritim yang pernah jaya pada masa lalu.
Mengapa seorang Rizal Ramli? Bila ada yang berpendapat untuk meredam kritik-kritiknya, rasanya pendapat seperti itu adalah recehan. Mana ada pengeritik yang dapat meruntuhkan sebuah pemerintahan. Terlalu cemen jika sebuah jabatan penting, strategis, dan menentukan diberikan kepada seseoarng pengeritik untuk membungkam kritiknya.
Rizal Ramli adalah seorang yang tidak bisa dilemahkan, ditundukkan, dan dibungkam dengan jabatan. Ia seoarng yang sangat berpengalaman dan teruji. Tetap kritis, meski dalam jabatan strategis. Bila ada yang mengatakan ia tidak berlatar belakang maritim, ingatlah seorang menko tidak mengurusi tetek bengek urusan teknis yang harus dikerjakan menteri sesuai bidangnya. Seorang menko adalah konseptor yang harus mampu merumuskan dan menjalankan gagasan-gagasan besar yang memungkinkan program besar berjalan dengan baik dan terukur. Lebih dari itu, ia harus lebih responsif, lebih berani dan atraktif dibanding Menteri Susi yang ada di bawah kendalinya.
Keseluruhannya akan efektif jika didukung oleh seorang yang sangat berpengalaman untuk membangun hubungan dengan berbagai fihak, yaitu hubungan antara para pembantu presiden, interaksi dengan kekuatan politik, komunikasi dengan media dan masyarakat. Dalam kaitan inilah Pramono, petinggi PDIP itu ditempatkan.
Posisi yang strategis ini tidak pantas diisi oleh orang yang hanya cerdas, namun selalu menampilkan wajah satpam pabrik memolototi pemulung saat bertemu dengan para jurnalis, dan mengeluarkan kata-kata ketus saat ditanya. Sungguh sangat tidak elok. Orang yang berada di istana kepresidenan yang merupakan bagian lingkar dalam kekuasaan mestinya harus menyebarkan senyum sumringah, memberikan penjelasan yang tepat padat, dan komunikatif. Pramono diyakini dan diharapkan mampu lakukan itu.
Apa yang dikemukakan di atas adalah konstruksi logis dari pergantian kabinet kali ini. Sebagai sebuah konstruksi tentu saja bisa benar, setengah benar, bahkan salah. Bagian terpentingnya adalah pembuktian empiris dalam beberapa bulan ke depan. Apakah menteri-menteri baru ini bisa tunjukkan kinerja terbaiknya membawa bangsa ini ke arah yang lebih berkemakmuran, maju dan bermakna.
Pergantian menteri yang pertama kali ini menunjukkan sikap tegas seorang presiden. Ia seakan memberi peringatan, siapa pun pada jabatan apapun bisa diganti, kapan saja bila tidak menunjukkan kinerja yang baik. Presiden sepenuhnya memiliki hak untuk lakukan pergantian. Namun, jika pergantian, apalagi bila berulang-ulang dilakukan, tetapi tidak juga membawa perubahan ke arah yang positif, maka gantian presiden yang harus diganti. Inilah mekanisme standar dalam politik kekuasaan.
Kekuasaan, termasuk mengganti menteri, adalah peristiwa politik. Oleh karena itu tidak boleh hanya ditilik dengan indikator-indikator kinerja, kepantasan, dan logika lurus layaknya matematika. Politik adalah soal bagaimana mendamaikan dan mengharmoniskan berbagai kepentingan yang bisa jadi saling bertentangan.
Dalam cara pandang inilah kedudukan Puan mesti dilihat. Boleh jadi ia tidak diganti karena kinerja. Meski kurang suka bicara di depan publik, mungkin saja ia piawai mengkoordinasi para menteri yang ada di bawahnya. Paling tidak, para menteri yang ada di bawah koordinansinya belum pernah memberikan keterangan yang bertentangan dan saling melemahkan dan menyerang.
Namun, ukuran bagi Puan tidak cukup hanya kinerja. Faktanya adalah ia anak Ketua Umum PDIP dan salah satu orang kuat di PDIP, partai yang mengusung Jokowi jadi presiden. Bagaimanapun juga, fakta ini pastilah ikut menentukan.
Beberapa catatan perlu ditambahkan. Sejumlah orang dengan nada pesimis menyatakan bahwa pergantian menteri ini tidak banyak berarti. Alasannya adalah Darmin Nasution diyakini penganut neo liberalisme dan Rizal Ramli dinyatakan penganut sosialisme. Karena itu akan sangat sulit membangun kerjasama dan kekuatan.
Pertanyaannya adalah, apakah dalam konteks global saat ideologi memudar dan kolaps, serta kekuasaan lebih menyebar daripada terpusat, masih relevankah mempersoalkan ideologi sebagai pisau analisis untuk membuat penilaian? Rasanya membicarakan ideologi dalam kotak-kotak yang sempit dan ketat seperti itu hanya bagus untuk diskusi anak SMU yang membutuhkan latihan mengasah kemampuan analisisnya.
Mari kita tilik dengan seksama. Cina yang komunis, bangkit, berkembang dan maju karena kecanggihannya memanfaatkan sejumlah cara kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi. Sedangkan Amerika Serikat yang kapitalis mengadopsi sejumlah praktik sosialisme untuk menjamin harmoni masyarakat.
Negara-negara utama di Eropa tidak ada yang bisa disebut kapitalis atau sosialis sungguhan. Mereka meramu semua cara terbaik untuk mensejahterakan dan memajukan masyarakat.
Sadarilah, zaman keemasan ideologi telah lama berakhir. Kita semua ditantang untuk mencarirumuskan cara-cara baru yang kebih baik untuk membuat masyarakat sejahtera dan maju. Karena itu,
JANGAN MENUNGGU, AYO KERJA!