Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Pada suatu persidangan parlemen terhormat di suatu negeri, ada anggota yang protes bahwa tatacara memanggil mereka harus dengan kata kata “Anggota Yang Terhormat”, atau “Yang Mulia”. Jika itu tidak dipakai maka diangap melanggar tatakrama atau sopan santun lembaganya. Anehnya, anggota yang mengucapkan kalimat itu sangat tidak sopan dalam berhadapan dengan orang lain, termasuk sesepuh negeri ini yang patut disebut kakeknya . Bisa dibayangkan kalau yang dihadapi itu rakyat yang memilihnya untuk menjadi anggota parlemen. Mungkin dia akan ambil uang untuk diberikan agar si rakyat cepat enyah dari mukanya, karena rakyat dianggap penyakit menular.
Peristiwa lain di tempat yang sama pada waktu yang berbeda, seorang anggota parlemen dengan muka memelas mengatakan bahwa mereka tidak lebih adalah petugas partai. Semua tergantung pada si bos. “Pembantu berdasi” ini kemudian berkomentar mereka tidak lebih suruhan yang disuruh-suruh. Hanya satu hal yang mereka takutkan adalah disuruh berhenti.
Di tempat lain, seorang petani yang memanggul paculnya berjalan di tengah pematang sawah sesekali berhenti untuk membersihkan rerumputan yang menjurai menutup jalan setapaknya. Tampak mukanya tanpa beban, bahkan cenderung gembira. Ia menuju sawah yang luasnya tak seberapa. Itu merupakan harta satu- satunya untuk menghidupi keluarga. Ia menikmati sekali menjadi petani dan rakyat perdesaan. Beliau adalah rakyat sejati yang memerintah diri sendiri, walaupun saat sekarang beliau sering dikecewakan oleh pengelola negeri.
Beda lagi seorang petinggi kepolisian berbintang di pundaknya, begitu dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena mengadu “Cicak dengan Buaya”; kemudian meminta pensiun dini, beliau dengan bangga kembali ke desa memangul Pacul, berkebun Kopi dan durian. Tampak mukanya berseri, seolah ingin menyampaikan pesan bahwa beliau menikmati menjadi rakyat, walau kategori beliau adalah Petani Berdasi. Tampak beliau tidak canggung bahkan tidak takut untuk menjadi rakyat. beliau tampak tanpa beban makan nasi bungkus khas petdesaan di pematang sawah.
Empat fenomena di atas berlangsung sempurna di negeri ini. Ternyata mereka yang memiliki hati bersihlah yang siap menjadi rakyat, karena rakyat memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri, tidak menjadi penyembah materi, apalagi jabatan. Tangungjawab akan apa yang dia pikul merupakan lambang dari bagaimana dia bersikap dan berbuat. Adagium yang mengatakan setinggi apapun jabatan, setinggi apapun kedudukan semua akhirnya akan menjadi rakyat, ternyata benar adanya.
Saat ini adalah masa keemasan jadi rakyat. Sebab, belum pernah terjadi dalam sejarah negeri ini rakyat bisa bicara apa saja melalui media apa saja. Merela tidak perlu takut penangkapan penguasa seperti masa lalu. Bisa dibayangkan seorang pekerja seni yang mengaku sebagai rakyat, bisa dengan ringan protes melalui media sosial mengatakan bahwa dirinya dijadikan semacam pesakitan oleh petugas pajak.
Rakyat yang sekarang diberi gelar baru “nitizen” itu bisa menjadi pewarta dari setiap peristiwa yang ingin dan atau akan diwartakan melalui chanel apa saja. Peristiwa itu bisa dibuat viral sehingga memiliki daya tekan sosial yang luar biasa, kepada siapapun. Banyak contoh sudah terjadi di negeri ini, peristiwa yang diinisiasi oleh rakyat, berakibat peristiwa itu menjadi peristiwa public yang memaksa unsur terkait mengambil langkah, walaupun langkahnya seperti disebut di atas.
Ini menunjukkan bagaimana nitizen dengan leluasa mengkritik atau memuji dan empati kepada apa saja yang sesuai dengan jalan pikirannya.Bahkan mereka yang memiliki nalar tidak sehat pun bisa menggunakan media sosial untuk menyatakan ketidaksehatannya, tanpa harus ada beban apa pun. Bahkan tidak takut untuk digiring masuk ke Rumah Sakit Jiwa; sebab undang-undang menjamin itu semua. Oleh karena itu mengapa harus takut jadi rakyat, apapun kita, siapapun kita muara terakhirnya adalah “jadi rakyat”.
Tampaknya hukum solidaritas sosial yang dikemukakan oleh Emille Durkheim pada masa lalu; saat ini semakin sempurna pembuktiannya. Solidaritas sosial organik bisa beriring jalan dengan ikatan solidaritas sosial mekanik, pada suatu peristiwa sosial yang sama. Bahkan yang semula mekanik bisa mengikat diri menjadi organik, dan sebaliknya. Empu sosiologi ini tampaknya sudah membaca jauh-jauh hari akan terjadinya perubahan sosial yang masif dan revolusioner; karena mengubah tatanan sosial begitu cepat dan meluas.