Oleh: Ahmad Zazali
Sejarah panjang negara Singapura untuk memperluas wilayah daratannya tentu membutuhkan banyak material tanah, bebatuan dan pasir. Bandara Changi Singapura yang dibuka pada tahun 1981 berasal dari rawa seluas dua kilometer persegi dan membutuhkan lebih dari 52 juta kubik material tanah untuk menimbunnnya hingga menjadi daratan dan bisa dikembangkan menjadi bandara internasional seperti yang bisa kita lihat saat ini. Pada tahun 1991, bahkan Singapura meraklamasi lautan yang menghubungkan tujuh pulau kecil di selatan Jurong disatukan menjadi Pulau Jurong.
Hasil reklamasi Pulau Jurong ini telah menjadi pusat industri minyak atau dikenal dengan kawasan industri Jurong. Tahun 1992, Singapura merampungkan proyek reklamasi Marina Center dan Marina South seluas 360 hektar. Kawasan yang dikenal dengan Marina Bay ini sekarang menjadi pusat bisnis properti, hotel dan hiburan di Singapura.
Hingga saat ini, Singapura masih terus berambisi memperluas wilayah daratannya, bahkan pemerintah Singapura berencana menambah 7% hingga 8% daratan negaranya hingga tahun 2030. Menurut data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa program lingkungan menemukan bahwa Singapura merupakan pengimpor Pasir terbesar di dunia pada tahun 2014, yaitu sebesar 14,6 juta ton pasir pada tahun 2010. Diperkirakan sejak 40 tahun lalu atau antara 1978 hingga 2002, Singapura telah mengimpor pasir laut dari Indonesia dalam jumlah yang sangat besar yaitu mencapai 250 juta meter kubik per tahun.
Dampak Penambangan
Maraknya izin penambangan pasir laut di Indonesia pada tahun awal tahun 2000, tentu tidak bisa dipisahkan dari adanya permintaan material untuk menimbun lautan menjadi daratan atau reklamasi yang dilakukan negara Singapura dari waktu ke waktu. Pada saat itu, Singapura membutuhkan banyak pasir laut untuk reklamasi perluasan bandara Changi dan Pulau Sentosa.
Permintaan tinggi Singapura akan bahan reklamasi membuat izin-izin tambang pasir laut bermunculan bak jamur di wilayah laut Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya di sekitar Kabupaten Karimun mengarah ke Selat Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti dan ke arah Kabupaten Bengkalis dan ke arah Kota Tanjung Pinang.
Menarik pelajaran dari dampak langsung tambang pasir laut 20 tahun lalu, aktifitas penyedotan pasir laut dalam jumlah besar dan terus-menerus telah menyebabkan abrasi pantai, laut menjadi keruh berwarna coklat pekat dan menimbulkan busa-busa yang mengambang serta air laut menjadi bau. Aktiftas penyedotan pasir laut juga dipastikan juga merusakan ekosistem laut, tak terkecuali biota laut yang penting bagi tumbuh kembang ikan laut, termasuk merusakan tempat bertelur dan berkembangan biaknya ikan laut. Nelayan traditional yang mencari nafkah dari aktifitas penangkapan ikan merasakan dampak negatifnya, karena ikan-ikan menjadi langka. Begitu juga pemukiman di pesisir pantai akan selalu terancam akibat pengikisan daratan karena abrasi bibir pantai. Aktifitas pelayaran juga menjadi terganggu oleh aktifitas kapal sedot pasir di jalur lintas kapal laut.
Pulau Tenggelam
Dampak ekspor besar-besaran pasir laut ke Singapura mencapai puncaknya pada tahun 2002, dan telah menimbulkan sentimen nasionalisme rakyat Indonesia, karena aktifitas penambangan pasir di Provinsi Kepulauan Riau telah menyebabkan pulau Nipa terancam tenggelam, dan ini ditenggarai akan mempengaruhi batas wilayah laut Indonesia dengan Singapura, mengingat saat itu perundingan garis batas Indonesia – Singapura belum mencapai kesepakatan.
Ketika itu, gerakan masyarakat sipil yang diorganisir oleh Aliansi Tolak Tambang Pasir Laut Riau (ATTAP Laut Riau) melakukan investigasi dan mengahasilkan banyak temuan temuan aktor-aktor yang bermain tambang pasir laut. Aktor bisnis di lingkaran kekuasaan pusat dan daerah merupakan pemilik izin tambang pasir laut yang paling dominan. Izin-izin diberikan satu sama lain tamping tindih tanpa ada pengawasan di lapangan. Nelayan tradisional semakin terpinggirkan dan kadang-kala bentrok dengan kaki tangan penambang pasir. Temuan ATTAP Laut Riau juga menemukan aparat kepolisian perairan yang ikut mengamankan aktifitas penambangan pasir laut.
Ekspos tentang ancaman pulau nipa tenggelam dan temuan investigasi tersebut banyak mendapat liputan media lokal dan nasional sehingga memberikan tekanan kuat kepada Pemerintah Pusat untuk menghentikan penambangan pasir laut. Presiden Megawati akhirnya menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 33 tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, yang bertujuan mengendalikan ekspor pasir laut.
Setelah terbitnya Kepres tersebut penambangan pasir laut di Kepulauan Riau dihentikan total, walaupun tanpa ada upaya pemulihan dampak lingkungan dan dampak sosial ekonomi yang dilakukan Pemerintah. Namun, baru pada tahun 2007, Indonesia benar-benar memutuskan melarang ekspor pasir ke Singapura. Larangan ini muncul setelah terjadi ketegangan antara Singapura dan Indonesia terkait pulau-pulau di antara kedua negara ini. Penambang pasir kabarnya hampir melenyapkan pulau-pulau tersebut. Tahun itu, lebih dari 90% pasir impor Singapura berasal dari Indonesia. Larangan ini menaikkan biaya konstruksi dan memaksa pemerintah mencari sumber pasir baru.
Jauh sebelumnya, Malaysia juga telah melarang ekspor pasir sejak tahun 1997, setelah media Malaysia gencar melaporkan aktifitas penyelundupan pasir ke Singapura. Pada tahun 2009 Vietnam dan Kamboja mengikuti jejak Malaysia dan Indonesia melarang ekspose pasir laut ke Singapura.
Singapura terus mencari sumber pasir untuk memperluas daratannya setelah negara-negara tetangganya menerapkan kebijakan larangan ekspore pasir. Pemerintah Pemerintah Singapura tidak pernah lagi mengungkap sumber pasir impornya saat ini. Kementerian Pembangunan Nasional Singapura mengatakan bahwa pemerintah membeli pasir dari “berbagai sumber yang disetujui”, tetapi menegaskan bahwa rincian lebih lanjut bukan informasi publik.
Sejak beberapa tahun belakangan di pesisir pantai timur Provinsi Lampung juga dihebohkan dengan aktifitas penambangan pasir laut yang menyebabkan dampak serius bagi kehidupan nelayan lokal dan kerusakan lingkungan. Izin penambangan pasir laut di Lampung ditenggarai melanggar Rencana Zonasi Wilayah Peisisir Laut dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang telah ditetapkan melalui Pearturan Daerah (PERDA) Provinsi Lampung.
Risiko dan Pengawasan
Setelah 20 tahun perizinan tambang pasir laut dihentikan dan larangan ekspore pasir ke Singapura dihentikan. Pada tanggal 15 Mei 2023 Pemerintahan Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sendimentasi di Laut (PP 26 tahun 2023) dan mencabut Keputusan Presiden No 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, yang bertujuan mengendalikan bisnis ekspor pasir laut yang merugikan Indonesia.
Penolakan berbagai pihak terhadap kebijakan baru ini banyak disuarakan oleh organisasi masyarakat sipil yang memperjuangankan lingkungan, karena kebijakan ini memberikan peluang perizinan penambangan dan ekspor pasir laut. Dibukanya kembali keran ekspor pasir keluar negeri ditegaskan pada Pasal 9 ayat (2) huruf d dalam PP 26 tahun 2023 yang menyatakan kan bahwa pasir laut dapat diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pengaturan kebijakan ekspor diberikan kepada Menteri Perdanganan setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan ketentuan teknisnya diatur melalui Peraturan Menteri.
Kekawatiran para pemerhati lingkungan, kebijakan ini akan menimbulkan resiko besar bagi kerusakan lingkungan pesisir dan laut dan menimbulkan dampak krisis iklim. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, juga dikawatirkan akan semakin miskin karena ruang hidupnya dan sumber mata perncahariannya dihancurkan. Dibukanya keran pemanfaatan dan ekspor pasir laut juga dipastikan akan memberikan dampak signifikkan pada kerusakan ekologis di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Jika izin penambangan pasir bermunculan dan tidak terkendali seperti 20 tahun lalu, maka dipradiksi akan banyak pesisir yang terkena abrasi, pemukiman di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terancam tenggelam.
Belajar dari maraknya tambang pasir laut 20 tahun lalu, dimana pemerintah mengalami kesulitan dalam pengawasan tambang pasir, dan perizinanan yang diberikan banyak yang tumpang tindih dan berada pada wilayah tangkapan ikan nelayan lokal, serta menyebabkan ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil. Maka, sebelum menerbitkan perizinan baru penambangan pasir, pemerintah diharapkan menerapakan analisis dampak sosial dan lingkungan yang ketat dan transparan serta melibatkan pemangku kepentingan, termasuk harus memastikan adanya rencana pemulihan yang terukur terhadap kemungkinan dampak sosial dan lingkungan yang akan timbul.***
*Ahmad Zazali, SH., MH.adalah Managing Partner AZ law Office & Conflict Resolution Center, anggota Mitra Bentala Indonesia – Lampung