Belum juga usai kita semua merayakan 77 tahun usia Republik Indonesia, kita mendapatkan berita pahit: KPK menetapkan Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Dr Karomani (KRM) sebagai tersangka kasus suap proses penerimaan mahasiswa baru jalur khusus yaitu Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila). Pendidikan yang merupakan hal dan hak dasar yang wajib diperhatikan oleh negara jika kita menginginkan kemajuan dan kesejahteraan serta Janji kemerdekaan di bidang pendidikan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi realitasnya 77 tahun negara merdeka semua itu tak juga kunjung tertunaikan.
Berita korupsi di lingkungan pendidikan adalah kabar yang sangat menyedihkan, saat biaya pendidikan tiap tahun meninggi. OTT yang di lakukan KPK terhadap Rektor Unila bersama empat tersangka lainya ini, semakin menunjukkan sistem pendidikan kita sangat komersial dan hanya menjadi lahan bisnis semat. Pendidikan bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU dan sebagaimana cita-cita para pendahulu bangsa.
Bila kita melihat situasi pendidikan kita lebih jauh, situasi ini makin membuat kita pesimis bahwa Indonesia emas yang di gadang-gadang akan terjadi pada tahun 2045 akan terwujud. Berdasarkan survei Sosial Ekonomi Nasional oleh biro pusat statistik (BPS), masih ada sekitar 4,5 juta anak indonesia yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah. Dan sebagian besar alasannya karena kemiskinan.
Kemudian, menilik situasi pendidikan tinggi misalnya jumlah angka partisispasi kasar (APK) pendidikan tinggi kita masih sangat rendah dan merupakan yang terendah di ASEAN yakni 31,75 persen pada tahun 2017 yang hingga saat ini belum ada perubahan secara signifikan bila dibandingkan dengan Malaysia misalnya mereka angka partisispasi kasar (APK) sudah 50-60 persen. Artinya, dari jumlah penduduk indonesia usia 19-24 tahun, baru 31, 75 persen yang berhasil menyentuh bangku pendidikan tinggi.
Saat ini ada sekitar 4.600-an perguruan tinggi di Indonesia. Sebanyak 4.200 atau 91 persen diantaranya adalah perguruan tinggi swasta (PTS). Ironisnya, kendati jumlah PTS mencapai 91 persen tetapi daya tampung mahasiswanya hanya 63 persen. Karena orientasi
hanya sekedar meraup untung, banyak PTS beroperasi dibawah standar layanan akademik. Bahkan, banyak kampus abal abal yang sekedar membuka layanan bisnis jual beli ijazah. Jangan heran jika ada sekitar 3.340 perguruan tinggi yang tidak terakreditasi.
Kasus OTT KPK terhadap Rektor Unila ini menjadi kenyataan pahit dalam dunia pendidikan kita. Maka Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Bandarlampung (EK-LMND B.Lampung) mendesak negara dalam hal ini kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbut-Ristek ) untuk hadir dan menjalankan kewajibannya mengurusi penyelenggaraan pendidikan nasional. Mulai persoalan sistem penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri hingga pembiayaan, infrastruktur, kurikulum, kelembagaan, dan metode pengajaran. Selama syarat-syarat kemajuan itu tidak dilaksanakan, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan terwujud.
EK-LMND Bandarlampung mendesak Mendikbut-Ristek untuk menciptakan regulasi-regulasi yang mendorong tercapainya amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 1 Setiap warga negara berhak mendapat Pendidikan dan mencabut regulasi proneolib yakni UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan Tinggi untuk mewujudkan pendidikan gratis dan demokratis.
Salam Persatuan Nasional!
Riski Oktara Putra
Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Kota Bandarlampung