Ketua KPK Taufiqurahman Ruki |
JAKARTA, Teraslampung.com–Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurahman Ruki menyatakan, karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menolak rencana dan usulan Undang-Undang KPK, maka DPR sebagai salah pihak dalam rangka pembuatan Undang-Undang itu tidak bisa memaksakan keinginannya.
Ruki mengaku karena menolak adanya revisi UU KPK, Presiden Jokowi tidak mau membahasnya dengan DPR.
“Meski begitu, KPK akan tetap memberikan masukan kepada DPR dalam rangka penyusunan (revisi) itu kemudian, tetapi ia menegaskan, tentu sangat tidak mungkin KPK mengusulkan pasal-pasal yang bisa melemahkan dirinya sendiri.embahas,” jawab Taufiqurahman Ruki kepada wartawan seusai mengikuti rapat terbatas, di kantor Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/6) sore.
Menurut Ruki, dirinya sudah pernah menanyakan usulan revisi UU KPK. ” “Presiden bilang akan ditangguhkan sampai nanti sinkronisasi Undang-Undang KUHP dan KUHAP,” kata Ruki.
SP3 untuk KPK
Ketua KPK itu tidak menjelaskan mengenai 5 (lima) poin yang jadi fokus dalam revisi UU KPK. Namun soal adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), Taufiqurahman Ruki menjelaskan, bahwa saat hal itu saat ini belum dibutuhkan oleh KPK.
Menurut Ruki justru dengan tidak adanya kewenangan melakukan SP3, KPK dipaksa untuk bekerja lebih proper.
“Artinya, kita tidak boleh sampai di pengadilan dinyatakan bahwa tidak cukup bukti.Itu kita tetap, jadi kita tanpa SP3 betul-betul untuk kerja dengan proper. Itu sangat positif untuk kita,” ungkap Ruki seraya meyebutkan, dari perpespektif hukum di pasal KUHP 78 atau 79 tentang gugurnya hak untuk menunut hukuman, itu apabila tersangkanya meninggal dunia, apabila perkaranya kadaluarsa maka kalau itu terjadi terpaksa perkaranya harus dihentikan,” kata dia.
Menurut Ruki, hal-hal seperti yang harus dijelaskan sedikit di dalam Undang-Undang tetapi kalau perkara-perkara yang lain, kurang bukti atau segala macam, tidak boleh.
“Tidak boleh sama sekali KPK diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan,” tegasnya.