Temanjak Sijin

Bagikan/Suka/Tweet:
Fadilasari*
Gerimis turun menjelang senja, membuat
aroma basah tanah semakin menyeruak. Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk
barat. Di tengah kebun karet yang berderet rapat, perempuan dengan baju basah
itu masih duduk bersimpuh. Mata sembabnya masih menatap lurus ke pusara yang
dipenuhi dengan bunga-bunga harum aneka warna. Di sampingnya duduk sang suami,
yang berusaha terus menguatkan perempuan itu.
Oh anakku, desahnya dalam hati. Jalan
hidup telah kau pilih. Kini hidup yang kau pilih adalah keabadian.
Hatinya masih terasa berat meninggalkan
pusara anak laki-lakinya.  Seorang anak yang sudah memberikan sinyal
kehidupan selama dua bulan sembilan hari. Waktu yang teramat singkat untuk
mensyukuri sebuah kesempurnaan, dengan memiliki dua anak, perempuan dan laki-laki.
Anak bujangnya itu lalu hidup dalam kematian.  Hidup dalam arti
sebenarnya. Suasana kebun karet yang biasa riuh dengan suara daun bergesek,
kicau burung atau tupai yang bercanda, lenyap. Senyap. Dirinya makin berat
untuk beranjak pergi.
Tidak ada penanda waktu khusus ketika
Temanjak lahir.. Denting jarum jam bergerak biasa. Tangisnya begitu lantang dan
membawa keceriaan bagi ibunya yang baru saja terbebas dari sakit melahirkan.
“Saya bukan tidak bisa menangkap pertanda. Meski samar biasanya pertanda yang selalu
dihubungkan dengan hal-hal khusus, yang bisa saya baca. Itu suatu hal lumrah,”
tutur Fahrani, nama perempuan yang sedang berduka itu, kepada kerabat dan
tetangganya yang tengah meriung di beranda rumah panggung mereka.
Meski masih letih dan lantak oleh
kesedihan, Fahrani terus berusaha meladeni pertanyaan orang-orang yang
bertandang. Anehnya pertanyaan itu membuatnya sejenak melupakan kesedihan
ditinggal putranya. Pertanyaan para kerabat berkisar penyebab kematian anaknya,
penyakit apa yang diderita, bagaimana dokter menangani hingga berapa biaya
selama dirawat di rumah sakit. Obrolan itu terus mengalir hingga larut malam,
dengan diselingi nasehat sabar dan harus berpasrah dari para kerabat.
“Sudahlah. Itu cobaan dari Tuhan.
Dibalik musibah ini ada rahasia Tuhan yang hendak ditunjukan kepada keluarga
kalian. Mungkin kalian belum diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk mengurus,
mendidik, dan membesarkan anak laki-laki. Cukuplah saat ini mengurus anak
perempuan saja. Sudah jangan bersedih dan jangan cengeng,” kata Yusni, seorang
tetangga dekat.
Yusni memang dikenal pandai menentramkan
hati. Kabarnya, dia banyak belajar dari berbagai guru mengaji di berbagai
tempat. Dia juga keluaran pesantren. Selama ini Fahrani memang kerap mengadu
padanya bila sedang menghadapi ujian hidup. Tapi saat ini, ucapan wanita
 setengah baya itu membuat Fahrani seperti terperosok ke dasar kesedihan
yang dalam. Yusni masih terus menyerocos. Tega betul Yusni.
“Maaf, apa tante Yusni pernah
kehilangan?

Pertanyaan balik Fahrani itu membuat
Yusni terdiam. Riungan itu menjadi hening. Sepi. Yusni, yang mendapat
pertanyaan tiba-tiba juga terdiam. Dia merasakan ada ketersinggungan atas
nasihat panjangnya.
“Belum,” jawab Yusni memecah kesenyapan.

 Dia memang belum pernah mengalami kehilangan. Seluruh keluarganya masih utuh.
Terlebih dia memang belum dikaruniai anak meski telah belasan tahun menikah.
Dan pertanyaan Fahrani, justru membuatnya tersadar betapa naif dirinya
menasihati orang yang sudah pernah merasakan arti memiliki lalu kehilangan. Yusni
belum pernah merasakan dua hal itu. Dia tidak pernah berada dalam posisi
seperti Fahrani bahwa semua orang adalah salah.

Apalagi dokter yang telah merawat. Bagi
Fahrani, dokter merupakan makhluk Tuhan yang paling bersalah di muka bumi ini,
karena tidak mampu menyelamatkan nyawa anaknya, meski sudah dijejali dengan
obat-obat paten. Entah berapa kali Fahrani diminta menandatangani kesediaan
membayar obat yang harganya jutaan rupiah. Ada yang bisa dibayar belakangan,
ada pula yang harus dibayar dan beli cash dari rumah sakit.
Saat pertama masuk ke rumah sakit, kata
Fahrani lagi, petugas dan dokter langsung menyodori suaminya satu lembar
pernyataan kesanggupan membayar uang muka biaya perawatan di ruang ICU.
“Anak bapak harus dirawat di ICU. Dia
terkena infeksi berat di rongga pernapasan. dikhawatirkan infeksinya sudah
sampai ke otak. Untuk dirawat di ruang tersebut bapak harus membayar uang muka
empat juta rupiah agar bisa mendapat tindakan medis. Tanpa uang itu, kami tidak
bisa melakukan tindakan apa pun,” kata Fahrani menirukan petugas rumah sakit.
Surat
pernyataan itu hanya berlaku dua hari. Mereka diwajibkan membayar uang
perawatan setiap dua hari sekali. Era industrialisasi dan kapitalisme agaknya
telah merambah ke dunia pengobatan. Belum lagi sikap para perawat dan dokter
yang tidak ramah.
Semakin berkisah soal pelayanan rumah
sakit, membuat Fahrani makin terpuruk dalam kesedihan. Hingga ujung-ujungnya
menyalahkan diri dan semua tindakan atau apa saja yang tidak ada hubungannya
dengan urusan kematian seseorang. Mulai dari  baju, lemari, tempat tidur
hingga bedak bayi yang selalu bertabur.
***
Fahrani tampak sedang sibuk melipat
semua baju, celana, bedong, selimut, kaos tangan, dan kaos kaki. Air matanya
menetes satu-satu. Ia ingin mengenyahkan semua perabotan yang hanya
mengingatkan pada luka ditinggal Temanjak. Botol-botol obat yang sudah kosong,
minyak telon, sabun mandi, shampo, dibuangnya jauh-jauh. Dadanya semakin sesak
ketika tangannya meraih sebuah tas kulit berwarna hitam. Di keluarkannya sebuah
akta kelahiran, kartu imunisasi, dua lembar foto hasil rontgen, dan sejumlah
kartu berobat.
Semasa Temanjak hidup, Fahrani memang
rajin membawanya berobat dari dokter spesialis satu ke dokter spesialis lain.
Fahrani merobek semua kertas-kertas yang kini tak lagi berarti apa-apa itu.
Fahrani ingin menghapus kedukaan dengan menghilangkan semua kenangan manis yang
berujung kesedihan itu.
Layaknya masyarakat suku Lampung,
kelahiran anak laki-laki sangat membahagiakan. Laki-laki adalah pemimpin dan
panutan dalam keluarga. Bahkan bukan hanya bagi adik-adik dan kakak
perempuannya, seorang anak laki-laki adalah pemimpin bagi para keponakan, dari
adik dan kakak perempuan orang tuanya. Bagi para keponakan ini,  seorang
paman
disebut kelama ataukelamo. Namun
kehebatan seorang kelama tentu
tidak sama dengan sekedar paman, dia punya otoritas yang sangat besar, sehingga
dalam adat Lampung dikenal istilah Kelama penoktokgalah
(kelama pemotong leher).
Begitulah, seorang anak kali-laki adalah
pewaris. Bahkan dalam kebiasaan adat Lampung semua harta orang tua akan
diwariskan pada anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan, bila dapat jatah dari
orang tuanya, tidak disebut harta waris, tapi hanya sekedar “hibah”. Besarnya
warisan dari orang tua tersebut karena seorang laki-laki kelak akan menghidupi
anak dan istrinya.
“Mungkin kami salah memberinya nama
Temanjak Sijin. Tapi, pertanda itu terlambat kubaca,” kata Fahrani
 membatin sambil masih terus melipat pakaian Temanjak. Semua perabotan itu
akan diberikan pada tetangga jauhnya yang juga punya bayi seusia Temanjak.
Seperti orang-orang kebanyakan yang selalu bercerita soal pertanda menjelang
kematian orang terdekatnya, mereka biasa mengatakan setelah peristiwa itu
benar-benar terjadi.
Nama Temanjak Sijin adalah pemberian ayah
Fahrani, kakek Temanjak, seorang tokoh adat di kampung itu. Dalam adat Lampung
seorang anak baik laki-laki maupun perempuan diberi nama adat alias gelar yang
dalam bahasa Lampung disebut adok, selain
namanya sehari-hari. Semua keluarga dekat maupun keluarga jauh wajib memanggil
dengan adok tersebut.
Bila ada keluarga yang memanggilnya dengan nama (bukan adok), maka dianggap orang tidak tahu adat bahkan dicap tidak tahu
etika. Begitulah, betapa pentingnya sebuah gelar bagi masyarakat Lampung.
Selain adok, seorang anak
tentunya memiliki nama formal. Dalam budaya Lampung, itu disebut “nama
sekolah”, yang maksudnya nama yang akan digunakannya saat mendaftar sekolah.
Temanjak memiliki “nama sekolah” Alvin Rafa Semenguk, pemberian kedua orang
tuanya. Semenguk adalah salah satu marga di kalangan masyarakat Lampung Way
Kanan.
Nama Temanjak Sijin mengandung arti
berdiri sendiri. Temanjak Sijin berarti seorang yang mampu hidup mandiri tanpa
harus merepotkan orang lain. Sang kakek terinspirasi dengan jalan hidup anak
sulungnya, Fahrani, yang sejak dulu hidup sangat mandiri. Saat kuliah Fahrani
sudah bekerja sehingga dia mampu membayar uang kuliah sendiri bahkan membantu
biaya sekolah adik-adiknya.
Ketika Fahrani menikah, ternyata dia
menemukan sosok laki-laki yang juga sangat mandiri. Sejak kecil suaminya sudah
menghidupi diri dan tinggal jauh dari orang tua. Sang kakek berharap, Temanjak,
cucunya itu akan menjadi orang yang mandiri pula, seperti kedua orang tuanya.
Fahrani dan suaminya pun setuju dengan gelar itu. Mereka berharap Temanjak akan
menjadi sosok perintis dalam segala hal. Berani mengambil sikap dan berani
berbeda di dunia yang serba beragam.  Jiwanya merdeka. Langkahnya cepat
dan tak mudah menyerah.
Tak disangka harapan keluarga besarnya
benar-benar terwujud meski dalam bentuk yang tidak pernah terbayangkan.
Temanjak benar-benar telah membuktikan jati dirinya. Dia menjadi yang pertama
untuk hidup dalam kesendirian di padang kebun karet milik keluarga itu.
Temanjak sudah benar-benar mandiri, bahkan tak lagi butuh asuhan sayang orang
tuanya. Sampai ketika tubuh Temanjak dikafani di hadapan Fahrani, dia merasakan
tubuh anak laki-lakinya itu tidak dingin membeku. Temanjak seperti masih hidup.
Dia seolah hanya terlelap seperti biasa, setelah menangis semalaman karena
sakit yang dideritanya.
Temanjak oh Temanjak… Alang gelukmu
mulang….
Balak harop di niku, rupana niku mak
muni
(Temanjak oh Temanjak, alangkah cepat mu
berpulang
Besar harapan padamu, rupanya kamu hidup
tak lama)