Tempe dan Darah Tinggi

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila

Meja sidang ujian untuk program pascasarjana ternyata banyak memberikan inspirasi untuk menulis. Seperti biasanya pagi menjelang siang ujian sidang dimulai, dibuka oleh ketua sidang yang biasanya sekaligus sebagai pembimbing utama. Pagi itu menjadi tidak biasa karena ditemukan “sample error” yang menakjubkan dari promovendus yang diuji. Salah satu temuan dinyatakan bahwa ada dua variabel yang secara mutatis mutandis berhubungan; namun kenyataan perhitungan tidak terlalu signifikan. Begitu dicecar pertanyaan berkaitan dengan ini yang bersangkutan tampak kurang menguasai.

Terpaksa perumpamaan dilakukan dengan pertanyaan mana penyebab darah tinggi: daging apa tempe? Promovendus menjawab singkat “daging”. Namun begitu diberi contoh perlakuan, ternyata ditemukan tempe menjadi penyebab darah tinggi. Sebab kelompok perlakuan yang hanya diberi tempe saja pada hari ketiga semua berontak untuk minta diberi daging. Seperti halnya kelompok lain yang setiap hari diberi daging; sementara yang kelompok daging tidak pernah berontak minta tempe. Maka, ditemukan kesimpulan pemakan tempe terus menerus menjadikan darah tinggi. Lagi-lagi yang bersangkutan bingung; padahal penyebab utama bukan tempenya akan tetapi perlakuan keadilan yang mereka tuntut.

Biarkan ujian tesis dilanjutkan oleh penguji lain, kita mendalami maknawi dari perlakuan akan keadilan. Tampaknya konsep adil selama ini masih banyak dianut adalah “sama rata” atau “sama rasa”; padahal konsep itu jelas bertentangan dengan filosofi bangsa . Berkeadilan adalah lebih kepada porsi besaran partisipasi seseorang atau kelompok kepada sesuatu yang sudah disepakati. Efek dari sini adalah “keterbukaan” yang juga sering disalahartikan sebagai sesuatu yang fulgar; padahal seyogianya keterbukaan itu lebih kepada hal hal atau informasi yang diperuntukkan kepada siapa dan untuk apa, pada batasan mana.

Kekisruhan berpikir seperti ini menjalar kemana-mana. Akhirnya tuntutan berkeadilan, keterbukaan, dan apapun jenisnya yang lain, ternyata lebih kepada kepentingan tertentu untuk tujuan tertentu. Soal pembungkaman atau pemberian tafsir baru, bisa saja dilakukan manakala memiliki kekuasaan untuk itu. Atau juga dibalikpandangkan bahwa mereka yang membatasi keterbukaan yang seluas luasnya adalah menentang demokrasi; dengan kata lain paradigma berpikir ini, makin vulger berarti makin demokrasi. Kekisruhan berpikir beginilah yang kemudian menjadi kesesatan berpikir permanen.

Ada satu lagi yang sering ditawar dalam menegakkannya yaitu integritas; akhirnya karena ini diposisikan pada wilayah ontologi, akibat tafsir untuk epistemology dan aksiology tergantung kepada siapa yang menafsirkan, dan dalam posisi sebagai apa. Bisa jadi karena kita penggemar tempe, kita mengatakan yang suka daging penghianat. Atau sebaliknya karena suka daging, maka penyuka tempe adalah penghianat. Padahal jika pandai mengelolanya daging bersama tempe merupakan makanan lezat khas negeri kita.

Tampaknya semua yang menghargai proses; perlahan hilang dari negeri ini, semua diminta instan. Bahkan ada seorang teman peneliti merasa bingung harus berbuat apa karena baru saja menerima perintah dari lembaganya agar membuat laporan penelitian, sementara kontraknya belum ditandatangani. Uang juga belum cair, turun ke lapangan saja belum. Lalu laporan kemajuan penelitian yang mana harus dilaporkan? Apakah dia harus menipu atau berhalusinasi dulu seolah penelitian sudah di lapangan? Maka sampai detik ini dia masih pusing kepala hanya memikirkan harus berbuat apa. Rekan satu ini harus berhadapan dengan tempe; apakah nanti dia harus darah tingginya naik karena tempe. Ini persoalan baru tentunya.

Proses pendewasaan diri itu penting sekali, karena pendewasaan yang disertai oleh proses kematangan akan membuat kepribadian menjadi lebih stabil. Dengan kata lain: makin banyak seseorang mendapatkan tantangan dan makin banyak yang dapat diselesaikan, maka tingkat kematangan kepribadian akan berpeluang makin baik. Oleh karena itu, kepribadian begini akan berpikir dahulu sebelum bertindak, dan setelah bertindak tidak akan surut kebelakang karena semua sudah diperhitungkan. Selanjutnya kepribadian yang seperti ini akan menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun, mendahulukan selangkah pada orang tua, membimbing yang lebih muda, bergandeng tangan dengan yang sebaya  guna mencapai kemaslahatan bersama.

Tidak salah jika kita menyimak pesan orang tua dahulu: “Hidup adalah perjuangan!”, “Jika jatuh, berdirilah!”, “Jika kalah, coba lag!”, “Jika gagal, bangkit lag!”

Begitu terus sampai Tuhan memanggil kita untuk pulang. Itu berarti menempuh segala sesuatu itu dengan proses dan tahapan. Tidak ada yang dadakan jika kita ingin mendapatkan kematangan kepribadian, termasuk di dalamnya sikap dan pandangan hidup.

Selamat ngopi pagi!