Feaby Handana
Menjelang berakhir masa jabatannya sebagai Bupati Lampung Utara, Budi Utomo mendapat ‘kado’ pahit dari BPK perwakilan Lampung. Kadonya berupa opini Wajar dengan Pengecualian atau WDP terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah/LKPD Kabupaten Lampung Utara tahun anggaran 2022.
Perolehan opini WDP kali ini merupakan kali keempat secara beruntun. Ya, sejak tahun 2019-2022, LKPD Lampung Utara tak pernah naik kelas. Opini Wajar tanpa Pengecualian atau WTP yang menjadi puncak dari opini BPK seolah tak pernah mampu mereka gapai dalam kurun waktu tersebut.
Memang, opini WDP ini sejatinya tidak jelek-jelek amat karena masih menempati urutan kedua teratas setelah opini WTP. Namun, untuk ukuran Lampung Utara, predikat ini jelas cukup sulit untuk dapat diterima. Setidaknya terdapat sejumlah alasan mendasar mengapa Lampung Utara seharusnya mampu dan dianggap layak untuk mendapat predikat WTP.
Alasan pertama, apalagi kalau bukan karena faktor usia mereka. Ya, sejak dibentuk pada 15 Juni 1946, Lampung Utara merupakan satu dari tiga kabupaten tertua di Lampung. Dengan usia yang tahun ini menyentuh usia 77 tahun, sudah selayaknya Lampung Utara dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Lampung. Faktanya, yang terjadi malah sebaliknya. Jangankan menjadi contoh, sekadar bersaing dengan kabupaten ‘pecahan’ mereka pun mereka tidak mampu. Baik dari segi pembangunan maupun dari segi laporan keuangan, semuanya terasa kalah jauh.
Alasan kedua dan tak kalah penting ialah karena Lampung Utara saat ini dipimpin oleh mantan birokrat kawakan dalam hal keuangan. Urusan keuangan jelas bukanlah barang baru bagi kepala daerah saat ini. Sebab, sebelum dipinang menjadi calon wakil bupati, yang bersangkutan terakhir menjabat sebagai Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Lampung Utara. Dengan rekam jejak tersebut maka tak salah rasanya jika publik mengharapkan opini yang lebih baik dari saat ini. Sayangnya, kenyataan tidak seindah harapan.
Jangankan meraih predikat WTP, Lampung Utara malah betah dengan opini WDP selama empat tahun terakhir. Padahal, di era pemimpin sebelumnya, Lampung Utara sempat meraih predikat itu meskipun belakangan aroma tidak sedap seputar predikat itu menguap ke permukaan.
Predikat WTP sendiri bukanlah berarti bahwa urusan keuangan suatu pemerintah daerah itu bebas dari masalah. Sebab, predikat ini diberikan semata-mata karena BPK menganggap jika laporan keuangan dari suatu pemerintah daerah tidak terdapat kejanggalan. Berbeda dengan predikat-predikat di bawahnya seperti WDP, dan disclaimer atau tidak ada opini. Predikat-predikat itu diberikan karena terdapat kejanggalan dalam laporan keuangan yang diperiksa oleh BPK.
Kalau tidak percaya, tengok saja LKPD Lampung Utara selama empat tahun belakangan ini. Selalu saja ada kejanggalan yang ditemukan dalam LKPD mereka. Jumlahnya pun cukup besar. Bahkan, di tahun ini, jumlahnya menjadi yang terbesar selama empat tahun terakhir. Nilainya mencapai Rp6-an miliar. Adapun rincian temuan lainnya di tahun-tahun sebelumnya adalah Rp3,9 miliar di tahun 2019, Rp2,3 miliar di tahun 2020, dan sekitar Rp4-an miliar pada tahun 2021.
Yang lebih mengherankan lagi adalah perangkat daerah yang menjadi ‘langganan’ dari temuan BPK. Para penghuninya masih yang itu-itu saja dari tahun ke tahun. Artinya, temuan-temuan BPK selama ini tak mampu menggugah kesadaran mereka untuk segera memperbaiki segala kesalahan yang ada. Kalau sudah begitu, tak salah rasanya jika kita semua beranggapan bahwa jangan-jangan kejanggalan itu memanglah hal yang disengaja.
Sejatinya hal tersebut bisa saja dihindari. Sepanjang, pengawasan dari pimpinan perangkat daerah dilakukan dengan baik. Dengan pengawasan ketat, tentunya kesalahan akut seperti ini tak lagi terjadi. Di samping itu, ketegasan seorang kepala daerah sangat diperlukan dalam persoalan ini. Sanksi-sanksi tegas hendaknya diberlakukan bagi para ‘pelanggar’ di dalamnya.
Pencopotan jabatan atau kalau perlu melimpahkan persoalan ini pada aparat penegak hukum merupakan solusi yang bijaksana untuk dilakukan. Dengan demikian, uang-uang yang dipersoalkan dan wajib dikembalikan dapat segera kembali ke kas daerah.
Sepanjang hal itu belum dilakukan, yakin saja, persoalan yang sama akan kembali terulang. Padahal, uang yang dipersoalkan itu merupakan uang rakyat. Harus jelas pertanggungjawabannya. Waktu yang tersisa hendaknya dimanfaatkan dengan baik bagi Bupati Budi Utomo untuk membenahi ini semua. Jika tidak, publik tak akan segan melabelinya sebagai pemimpin yang ‘gagal’. Pun demikian sebaliknya.***
* Jurnalis Teraslampung.com