Tenaga Kerja Indonesia: Antara Kezaliman dan Kelaziman (3)

Solidaritas Satinah di Viotoria Park Hong Kong dengan memplaster mulut, 30 Maret 2014. (Foto: dok Buruh Migran Indonesia).
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Gatot Arifianto*

Sarbumusi tercatat sebagai serikat buruh terakhir yang bertahan menolak kebijakan PHK di Chevron Riau, di saat serikat buruh lainnya di perusahaan tersebut menyerah. “Kita bangga ketika Sarbumusi sebagai sebuah konfederasi baru-baru ini gagah dan istiqamah dalam memperjuangkan PHK sepihak dilakukan oleh Cevron Indonesia yang akan mem-PKH ratusan karyawannya,” ujar Irham.

Solusi dalam Harakah

Sejumlah kezaliman di Indonesia hingga kini masih merajalela. Selain kezaliman terhadap sumber daya alam yang tidak selaras dengan Pasal 33 UUD 45 alias inkosisten dengan kesepakatan konstitusi. Kezaliman lain juga terjadi terhadap buruh, nelayan dan petani yang tak lelah lasah. Miquaq sola ulu sola lette dalam peribahasa Mandar, Sulawesi Barat, yang berarti bekerja kepala bersama kaki. Orang yang terus-terusan bekerja (membanting tulang) mencari nafkah tak kenal berhenti. Orang Sunda menyebut sebagai “Suku dijieun hulu, hulu dijikeun suku (kaki dibuat kepala, kepala dibuat kaki). Itu adalah gambaran orang yang bekerja keras membanting tulang untuk mencari nafkah sampai tak mengenal waktu dan tak mengenal lelah.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pada pengukuhan DPP K Sarbumusi NU masa khidmat 2016-2021, Jumat (23/9/2016) mengatakan para buruh merupakan pilar ekonomi. Banyak dari mereka yang menabung, dapat uang sedikit ditabung dan jarang mengajukan utang.

“Lantas siapa yang menikmati tabungan mereka? Para konglomerat itulah yang memakai uang dari bank. Itu kenapa saya sebut mereka pilar ekonomi Indonesia. Karena itu, harkat dan martabat buruh harus diperjuangkan dengan advokasi dan jalan marhamah (perasaan sayang),” papar alumni Pesantren Lirboyo itu.

Agar negara aman, maka pekerja harus sejahtera. Karena itu, imbuh Jumhur, buruh harus pula memperjuangkan agar bunga bank turun. Harapannya, pengusaha bisa memberikan kesejahteraan pekerja. Itu yang dinamakan berjuang dengan cerdas.

“Bunga tinggi bank di Indonesia seperti rentenir merugikan, karena keuntungan banyak diambil bank, bukan perusahaan peminjam modal,” kata Jumhur.

Fungsi pengawasan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan  yang memperbolehkan outsorcing hanya pada lima bidang kerja serta ada syarat perlindungan bagi pekerja kontrak harus diperkuat. Karena justru pada pelaksanaannya, penyelewengan seringkali terjadi.

“Bila alasan pemerintah kurang pengawas, Tripartit bisa dilibatkan dalam pengawasan agar efektif,” ujar Sukitman.

Selain itu, pemerintah harus mendorong para pengusaha untuk mau membuka ruang dialog dengan pekerja yang diwakili oleh serikat pekerjanya. Pengusaha dan serikat pekerja harus membudayakan hubungan industrial berbasis kemitraan sosial dan saling menghargai perannya masing-masing.

“Dan pengusaha tidak boleh anti serikat pekerja. Serta tidak boleh ada intimidasi dalam bentuk apapun kepada pengurus serikat pekerja ketika menjalani organisasi serikat pekerjanya,” ujar Mirah didampingi Sekretaris Jenderal Sabda Pranawa Djati.

Sampai hari ini, amanat dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan belum dituangkan dalam bentuk PP. Sehingga setiap perusahaan menafsirkan sendiri-sendiri apa yang menjadi fasilitas kesejateraan bagi pekerja diperusahaan. Berkaitan dengan itu, DPP K Sarbumusi NU menuntut tiga hal pada pemerintah.

“Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk memperbaiki kondisi dan kehidupan yang layak bagi buruh seluruh Indonesia. Kedua, Presiden Republik Indonesia untuk segera mengeluarkan PP tentang Fasilitas Kesejahteraan Bagi Buruh. Ketiga, Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia untuk meningkatkan Pengawasan dan menegakan aturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Presiden DPP K Sarbumusi Syaiful Bahri Anshori, di Jakarta, Jumat (7/10).

Peribahasa Bugis menyatakan: “Nakebulu-bulupa kayo nakerakkaqpa tambolang”. Artinya, tunggulah burung bangau berbulu dan tumbuh jari-jemarinya. Peribahasa ini berisi nasihat bahwa masing-masing orang mempunyai nasib sendiri-sendiri, keberuntungan yang tidak sama, perjalanan hidup berbeda satu sama lain.

Dalam kehidupan, manusia bertingkat-tingkat. Ada yang kaya dan miskin. Tapi piye carane(tapi bagaimana caranya), kata Kiai Said lagi, buruh happy majikan happy, yang kaya baik dengan yang miskin, dan yang miskin jadi bahagia. Gaji yang wajar akan membuat buruh senang dan pengusaha senang.

Islam memberi peringatan keras kepada para majikan yang menzalimi pembantu atau pegawainya: “Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari dan Ibnu Majah ).

“Kita berharap buruh senang ada pabrik. Pabrik senang ada orang yang kerja. Konglomerat sayang sama buruh, buruh hormat sama konglomerat. Harmonis yang terbangun itu yang perlu diupayakan. Bukan umatku kata Nabi Muhammad, kalau yang besar tidak sayang pada yang kecil, yang kecil tidak hormat pada yang besar,” ujar Kiai Said lagi.

Hubungan kerja yang pancasilais, menurut budayawan Umar Kayam adalah hubungan kerja yang tepa selira, sing buruh nrima sing  majikan ora sia-sia (yang buruh menerima apa adanya, yang majikan tidak sewenang-wenang).

Tapi di negeri yang seringkali inkonsisten dengan konstitusi disepakati, dimana kezaliman seolah jadi kelaziman, suara buruh memang harus terus dijaga untuk muhasabah ‘alalhukkam (mengoreksi penguasa). Boleh seperti Gus Dur yang mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia bersama Muchtar Pakpahan di masa orde baru yang melarang keberadaan SP/SB selain Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Atau seperti Semaun dan Sneevliet yang progesif, menyuarakan kondisi layak di dunia kerja melalui gerakan-gerakan kampanye kesadaran di lingkungan pabrik dalam serikat buruh perkereta-apian atau Vereeniging van Spooor-en Tramweg Personeelin Nederlandsch Indie (VSTP) yang didirikan 1908.

Jika kau tak sanggup lagi bertanya, ujar Wiji Thukul, kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan. Kezaliman tak akan lagi menjadi kelaziman jika ada pergerakan dan perlawanan dalam kesatuan yang dalam peribahasa Bali disebut: rengat-rengat tendas penyu (retak-retak kepala penyu). Kepala penyu walaupun kelihatan seperti retak-retak,  tetapi satu juga. Maknanya, agar orang senantiasa bersatu di dalam menghadapi lawan atau tantangan. Seberapa pun besarnya musuh yang datang jika seluruhnya bersatu pasti akan teratasi dengan segera. Sejarah Nusantara mencatat: petani dan buruh di tahun 1800 berhasil memaksa pemerintah kolonial membubarkan kezaliman serikat dagang Belanda, Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).

Termasuk ketika KH Hasyim Asy’ari bersama KH Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatut Tujjar (1918) untuk melawan penghisapan dan pemiskinan buruh oleh pabrik gula Cukir yang berada di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Selebihnya, tak perlu lagi menunggu Gus Dur, yang santai tapi piawai memperjuangkan sejumlah persoalan buruh. Dari membuat kebijakan proburuh hingga menyelamatkan beberapa nyawa Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Indonesia butuh harakah nyata seperti telah mereka lakukan.***

* Gatot Arifianto, bergiat di Gerakan Pemuda Ansor, Gusdurian, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan program filantropi edukasi Bimbingan Belajar Pasca Ujian Nasional (BPUN).