Suwidi Tono
Hari-hari ini berseliweran opini di medsos tentang Kompas terkait publikasi hasil riset Litbangnya. Saya terpaksa ikut menjawab karena banyak yang bertanya lewat japri.
Saya mengenal Pemimpin Redaksi Harian Kompas sekarang, Ninuk Pambudy sejak 1984, saat yang bersangkutan mengawali karir wartawan di Harian Kompas dan sesekali berjumpa di lapangan sebagai sesama pengais informasi.
Saya juga kenal baik dan bersahabat dengan suaminya, Rachmat Pambudy, sejak sama-sama mengelola pers mahasiswa bersama Tommy (Tommy Suryopratomo, eks-Pemred Kompas, sekarang di Metro TV) dan Andriyono Kilat Adhi (mantan atase pertanian Uni Eropa, sekarang dosen IPB) di sebuah fakultas IPB, 1982-1983, sampai sekarang.
Saya respek terhadap keduanya bukan karena pertemanan melainkan karena integritasnya yang tak lekang oleh zaman. Untuk menilai karakter dan kapasitas seseorang, Anda bisa gampang melacak rekam jejak aktivitas dan karyanya, misalnya lewat Google. Janganlah buta huruf literasi untuk menilai seseorang, apalagi yang sudah malang-melintang dan firm di profesinya sedari belia.
Apakah ada tulisan-tulisan Ninuk Mardiana Pambudy dan sepak terjangnya terpengaruh posisi ayahnya, Moerdiono (Menteri Sekretaris Negara era Soeharto) atau posisi suaminya? Seturut saya mengikuti karya jurnalistiknya di Kompas sejak puluhan tahun silam sampai sekarang, saya tak mendapati keberpihakan pada kepentingan tertentu.
Lagi pula seorang Pemimpin Redaksi bukanlah penentu segala-galanya dalam organisasi pers yang modern, demokratis, beranggotakan wartawan-wartawan cerdas, berintegritas, dan mempunyai spirit vocatio.
Demikian pula Rachmat Pambudy yang menjadi pengurus HKTI (sejak 15 tahun silam) dan dia bukanlah pengurus Gerindra, sehingga tidaklah tepat dikaitkan dengan hasil riset ini. Dia pernah menjadi staf ahli Menteri Pertanian Bungaran Saragih di era Presiden Megawati.
Hasil riset Litbang Kompas yang independen (otonom) namun ditafsir beberapa pihak sebagai tidak “menyenangkan” itu mestinya disikapi elegan, tidak secara sembrono dihubungkan pada pribadi atau kepentingan tertentu. Sebaliknya lebih bijak dengan mencermati:
(1) penjelasan metodologi yang secara terbuka dan lengkap juga disajikan Kompas. Dari sini dapat diuji kesahihan dan margin of error-nya.
(2) membaca data riset memerlukan pengetahuan yang cukup sedari metodologi, penggalan waktu riset, sampai ekstrapolasi (perkiraan hasil akhir).
(3) menjadi pembelajaran bagi kubu kedua belah pihak untuk merancang strategi menuju hari H yang tinggal hitungan hari.
(4) menjadi second opinion terhadap hasil riset lembaga survei lainnya.
Untuk media sekelas Kompas yang telah berumur 54 tahun (berdiri 1965), punya banyak grup usaha dengan karyawan puluhan ribu, tentulah naif jika mempertaruhkan kredibilitasnya hanya untuk Pilpres bersiklus 5 tahunan atau rezim paling lama 10 tahun. Media berintegritas tinggi punya prinsip: “how to winning the public trust” (bagaimana memenangkan kepercayaan pembaca) sepanjang zaman. Tentunya dengan mengedepankan: akurasi, independen, berimbang, dan kejujuran intelektual.***
*Suwidi Tono adalah seorang jurnalis dan alumni IPB. Saat ini ia mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI di Dapil Jawa Barat