TERASLAMPUNG.COM — Presiden Jokowi, Gubernur Lampung, serta para bupati dan walikota di Provinsi boleh saja gencar mengimbau pentingnya kegotong-royongan seluruh elemen masyarakat dalam menghadapi pandemi virus corona. Protokol Kesehatan untuk penanggulangan dan pencegahan virus corona atau Covid-19 pun diterbitkan pemerintah. Warga yang baru baru bepergian ke luar daerah yang diduga jadi penyebaran virus corona diimbau untuk segera memeriksakan diri ke rumah sakit atau puskesmas.
Fakta di lapangan, untuk mendapatkan informasi tentang cara mempraktikkan protokol kesehatan terkait virus corona tidaklah mudah. Bahkan, lembaga pemerintah seperti RSU Abdul Moeloek (RSUAM) pun menarik ongkos kepada warga yang sekadar mau berkonsultasi soal prosedur periksa kesehatan terkait virus corona.
Pengalaman pahit itulah yang dialami Andri Meri Yusdiantoro, staf ahli anggota DPR RI, saat menyambanyi RSUAM sehabis ia bebergian dari Kuningan, Jawa Barat.
Kedatangan Andri di RSUAM pada 20 Maret 2020 adalah untuk berkonsultasi tentang prosedur pemeriksaan virus corona. Hal untuk memenuhi protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah karena ia baru saja pulang dari Kuningan,Jawa Barat, untuk menjemput anaknyang di sebuah pondok pesantren.
Andri mengaku bukan soal bayarnya yang membuat dia sebagai warga yang cemas itu bingung, tapi soal prosedur yang bertele-tele. Yang mengherankan, kata Andri, hanya konsultasi atau bertanya-tanya soal prosedur memeriksakan diri, ia diminta membayar.
“Saya mau tanya bagaimana caranya agar saya bisa diperiksa karena saya baru menjenguk anak saya di pondok pesantren Jawa Barat. Dan di pondok anak saya itu ada santri yang berasal dari Depok. Ketika saya pulang ke Lampung, saya sekaluarga melakukan isolasi mandiri di di rumah. Nah, karena masih khawatir saya pun ingin konsultasi ke rumah sakit di Lampung yang memang menangani masalah virus corona,” kata Andri, Senin (23/3/2020).
Berikut keluhan Andri Meri Yusdiantoro yang diunggah di akun Facebook miliknya:
Mempertanyakan Pelayanan RSUAM Lampung Untuk Prosedur Penanganan COVID-19
Karena ingin mengikuti protokol pemerintah tentang Penanganan COVID-19, salah satunya apabila telah bepergian keluar kota ke wilayah yang mengalami wabah Corona utk memeriksakan diri ke pelayan RS yang telah ditunjuk pemerintah dan atas saran temen temen.
Pada tanggal 20 Maret 2020 saya menjemput anak di Kuningan Jawa Barat, dimana seluruh santri harus dipulangkan ke orangtuanya segera dari Karantina Tahfidz Al Qur’an oleh pengasuh pondok setelah disarankan oleh Pemkab setempat. Kebijakan itu terasa mengagetkan.
Menurut cerita santri dewasa, salah satu santri asal Depok mengalami sakit, yang kemudian di-tracking oleh Dinkes Depok dan Dinkes Kuningan beserta Koramil untuk mengecek keberadaan santri tersebut di pondok. Kemudian membawa santri tersebut ke RS setempat dan dijemput orangtua santri pulang ke Depok.
Sudah 3 hari sejak pulang dari Kuningan, kami sekeluarga mengisolasi diri di rumah.
Hari ini Senin 23 Maret 2020, saya beserta keluarga ke Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek di Bandar Lampung utk konsultasi prosedur pemeriksaan Corona sekitar pukul 09.30 tiba dipelataran parkir pelayanan medical check up, lalu bertanya pada tukang parkir dimana posko pelayanan corona, dan dijawabnya “ada dibelakang atau langsung ke IGD, silahkan parkir ke balakang”.
Setelah parkir, (keluarga saya minta utk di mobil saja) saya bertanya kepada salah seorang sekuriti di mana posko konsultasi terkait virus corona, petugas keamanan RSUAM terlihat bingung. Lalu saya menegaskan kepada petugas untik ke IGD saja.
Sampai di IGD, saya ditanya petugas keamanan saya mau ke mana. Saya jawab bahwa saya mau konsultasi masalah Corona. Kemudian petugas keamanan tersebut mengarahkan saya untuk langsung menemui dokter di dalam ruang IGD. Sesampai di IGD saya kembali ditanya keperluan apa. Lalu saya jelaskan maksud saya. Saya kemudian disarankan untuk ke Poli Paru-Paru.
(Sambil berjalan ke POLI Paru-Paru saya menggumam dalam hati: RS rujukan Corona kok seperti ini? Tidak seperti yg banyak dibincangkan dan diberitakan media massa).
Sesampai di Poli Paru-Paru, saya kembali menyampaikan maksud saya kepada petugas (seorang perempuan), yaitu untuk berkonsultasi tentang bagaimana caranya saya periksa kesehatan memenuhi prosedur protokol kesehatan terkait virus corona. Saya sampaikan hal ini saya lakukan karena saya baru pulang dari menjemput anak saya yang mondok di Kuningan Jawa Barat.
Saya kaget ketika petugas bertanya soal pembayaran.
“Bapak mau bayar pakai apa?” tanya petugas tersebut.
Saya tegaskan bahwa saya mau konsultasi tentang prosedur pengecekan virus corona itu bagaimana.Si petugas kemudian menekan tombol di salah satu mesin yang ada di ruang tersebut, lalu menyerahkan struk agar saya ke loket 7.
Di Loket 7, saya dipersilakan oleh petugas dengan meminta struk. Di situ saya kembali bertanya tentang prosedur pengecekan virus corona karena saya baru saja pulang dari wilayah Jawa Barat.
“Lihat KTP-nya…” ujar petugas tersebut. Saya serahkan KTP.
Sambil menginput data, petugas itu menyampaikan beberapa pertanyataan kepada saya, termasuk nomor HP saya.
Kepada petugas tersebut saya kembali bertanya soal prosedur pemeriksaan virus corona untuk memenuhi kewajiban saya taat pada protokol kesehatan yang keluarkan pemerintah.
“Iya, didaftarin dulu kalau mau konsultasi,” jawab petugas di Loket 7 itu.
Setelah selesai petugas mengarahkan saya agar ke meja pojok sebelah Loket 7.
Di meja itu ada petugas wanita dengan menggunakan pakaian alat pelindung diri (APD) warna putih.
Kepada petugas tersebut saya ulangi lagi maksud kedatangan saya. Lagi lagi jawabannya di luar perkiraan saya.
“Iya dicatat dulu, apa keluhan bapak?”
Saya lalu berpikir akan mengikuti apa maunya petugas petugas ini.
Saya jawab “saya batuk”,
Petugas : “batuknya kering atau berdahak?”
Saya : “berdahak”
Petugas : “sudah berapa lama?”
Saya : “seminggu”
Petugas : “bapak demam?”
Saya : “tidak”
Petugas lalu mengambil alat pengecek suhu tubuh dan mengarahkan ke wajah saya dan melihat angka dialat sambil berucap pelan 33 dan mencatat di kertas.
Petugas : “pernah mengukur berat badan sebelum sebelumnya ?”
Saya : “sudah, 63 kg”
Petugas mencatat dan tiba tiba menyodorkan kertas lalu berkata,”Silakan bayar di kasir.”
“Bayar pakai BPJS bisa ?” tanya saya.
“Tidak bisa. Kenapa tadi tidak bilang di situ (Loket 7)? Memang pakai BPJS apa?” tanya petugas tersebut.
“BPJS Ketenagakerjaan,” jawab saya.
Si petugas langsung berdiri dan memanggil temannya di Loket 7. Mereka terlihat sedang berdiskusi. Tak kama kemudian petugas tersebut kembali menemui saya.
Katanya,”Kalau bapak mau mengecek apakah bapak kena atau tidak kena virus corona bapak tidak bisa pakai kartu BPJS. Kalau bapak sudah kena virus corona baru biayanya ditanggung negara.”
Lalu kami terlibat perdabatan. Saya kembali tegaskan kepada petugas tersebut bahwa sejak awal bahwa saya mau bertanya dan berkonsultasi masalah Corona. Yang terjadi saya malah disuruh mendaftar, lalu dicatat data saya, kemudian saya disuruh membayar.
Akhirnya petugas bilang,”Bapak mau bayar apa nggak?”
Saya jawab: “Saya tidak mau bayar. Karena saya hanya bertanya soal prosedur seperti apa untuk pemeriksaan corona dan berkas apa yang harus saya siapkan. Kok malah jadi seperti ini?”
Petugas itu pun kemudian pergi mengampiri temannya sambil membawa berkas terkait data yang saya serahkan tadi.
“Ini. Nggak bayar, nggak jadi,” katanya kepada kawannya, saat menyerahkan berkas.
Saya pun kemudian pulang dan mengkarantina keluarga lagi.
Anjuran pemerintah dan saran teman-teman sudah saya ikuti tapi kenyataan pelayanan jauh dari harapan. RSUAM Provinsi Lampung seharusnya membekali kepada petugas sekuriti, perawat dan petugas lainnya di RS tentang fasilitas pencegahan COVID-19, karena merekalah yang akan ditanya dulu oleh orang orang yang akan memeriksa atau mencari info tentang corona dan sebagainya.
Hanya kepada Allah SWT memohon lindungan dan kesehatan untuk keluarga saya.Aamiin.